14 Oct 2009
18237 View
Masih Banyak Hambatan Bus warna paduan biru muda dan tua ini bergerak perlahan meninggalkan terminal Mangkang Semarang dengan membawa lima orang penumpang. Para penumpang itu terlihat sangat menikmati, berada di bus yang dilengkapi dengan air conditioner (AC) yang cukup dingin. Maklum cuaca Semarang siang itu cukup terik. Sang sopir mengendarai bus dengan tenang. Sementara itu kondektur wanita yang mengenakan seragam biru muda, senada dengan badan bus mulai mengeluarkan karcis. Penumpang umum diberi karcis warna hijau, tarifnya Rp 3500. Sedangkan untuk pelajar/mahasiswa diberi karcis warna putih, tarifnya Rp 2000. Tiba di shelter jalan Walisongo naik lagi dua orang penumpang, seorang ibu dengan anaknya yang masih berusia 9 tahun. Dengan sigap dua orang kondektur menyorongkan besi yang ada di dalam bus ke shelter. Besi itu berfungsi sebagai jembatan karena jarak antara bus dengan shelter cukup jauh antara 20-30 centimeter. ‘’Busnya enak bu, adem,’’ komentar sang anak kepada ibunya setelah berada di dalam bus. Bus kembali bergerak. Saat tiba di shelter jalan Siliwangi, bus tidak berhenti karena di shelter tersebut tidak tampak penumpang dan dari dalam bus tidak ada penumpang yang akan turun. Di shelter Jend.Sudirman bus kembali berhenti karena ada 3 orang calon penumpang. Tapi bus tidak berhenti pas di depan pintu shelter melainkan agak maju ke depan. Penumpang yang ada di dalam shelter bergerak menuju bus yang berhentinya melewati shelter, tapi oleh kondektur di beri tanda untuk tetap berada di dalam shelter. Bus pun kemudian mundur, dan baru berhenti pas posisi pintu bus sejajar dengan pintu shelter. Mengapa demikian? Rupanya hal itu untuk menghindari tumbukan seandainya adanya kendaraan lain dibelakangnya. Maklum siang itu kendaraan cukup padat dan bus itu tidak memiliki jalur khusus melainkan berada di jalur yang juga digunakan oleh bus, angkota, taxi dan kendaraan pribadi lainnya. Itulah gambaran Bus Rapit Transit (BRT) Semarang yang operasionalnya belum genap tiga minggu. Bertindak sebagai operator BRT Semarang, adalah PT Trans Semarang yang merupakan konsorisum dari Perum Damri, PO Minas dan PO Ratakencana, yang dikomandani oleh Tutk Kurniawan. PT Trans Semarang saat ini mengelola 20 buah bus yang keseluruhannya merupakan bantuan dari Departemen Perhubungan untuk Pemerintah Kota Semarang. Oleh Pemkot Semarang bus itu kemudian di sewakan kepada PT Trans Semarang untuk dioperasikan sebagai angkutan masal di kota Semarang dengan sewa Rp 55 juta setiap bulannya. 6 Koridor Saat ini, Trans Semarang baru melayani Koridor 1 dari 6 koridor yang direncanakan oleh Dishubkominfo Kodya Semarang. Koridor 1 ini berawal di terminal Mangkang dan berakhir di terminal Penggaron. Dari terminal Mangkang-Panggaron yang jauhnya sekitar 27 kilometer dan sebaliknya, terdapat 53 shelter. Setelah itu akan dikembangkan kordior-koridor lainnya. Koridor 2 akan melayani terminal Terboyo ke sub terminal Pudak Payung, dan Koridor 3 melayani terminal Terboyo-UNDIP Tembalang yang pembangunannya akan dilakukan pada tahun 2010-2012. Koridor 4 melayani Pelabuhan Tanjung Mas – Permahan Banyumanik dan Koridor 5 yang melayani terminal Penggaron terminal Terboyo, dan akan dikerjakan pada tahun 2012-2015. Sedangkan Koridor 6 yang melayani Bandara A.Yani sampai terminal Terboyo akan dibangun pada tahun 2020. "Jika 6 koridor itu sudah berjalan sebagaimana yang diharapkan, nantinya seluruh kotamadya Semarang akan dapat terlayani oleh Trans Semarang. Untuk masuk atau keluar dari kota semarang, nantinya akan menggunakan angkota atau bus-bus feeder (pengumpan), "jelas Bambang Kuntarso Kabdhub Udara dan Laut Diskominfo Kodya Semarang. Jika kelak 6 koridor BRT Semarang ini sudah berjalan sebagaimana yang diharapkan, sejumlah titik akan terhubung dengan moda angkutan lainnya, seperti moda angkutan udara di bandara Ahmad Yani dan moda angkutan laut di Tanjung Mas. Saat ini intermoda baru terdapat di kota Yogyakarta, yaitu di Bandara Adi Sucipto yang tergabung dengan stasiun kereta api Maguwo dan terminal Trans Yogyakarta. Shelter Tidak Mendukung Sayangnya keberadaan BRT Semarang ini tidak di dukung dengan shelter yang memadai. Shelter-shelter yang merupakan bantuan Pemprov Jawa Tengah ini sangat kecil dan sempit. Kalau ada 15 calon penumpang saja di shelter tersebut, dipastikan akan saling berdesak-desakan. Bukan itu saja, lokasi shelter juga sangat tidak strategis. Shelter tidak berada di titik-titik keramaian, atau tempat dimana angkota atau bus-bus kota lainnya yang dharapkan kelak bertindak sebagai feeder bisa menaikkan dan menurunkan penumpang. Keberadaan shelter ini yang banyak di keluhkan oleh penumpang. Apalagi jarak satu shelter dengan shelter lainnya cukup jauh, rata-rata 1 kilometer, bahkan ada yang jaraknya lebih dari 3 kilometer. ‘’Lha kalau saya naik Trans Semarang, saya harus balik lagi atau meneruskan dengan angkota, karena tempat kerja saya dengan shelter BRT cukup jauh,’’ kata Purwaningsih memberi alasan mengapa tidak mau naik BRT. Bahkan ada beberapa shelter yang lebih sering kosongnya. Karenanya Trans Semarang sering tidak berhenti karena memang tidak ada penumpang yang akan diangkut atau diturunkan. Shelter-shelter yang tersediapun tidak dilengkapi dengan kursi tunggu penumpang, akibatnya penumpang harus berdiri menunggu kedatangan BRT. Shelter-shelter yang tidak tepat dan strategis dari segi lokasi, diakui oleh Bambang Kuntarso yang pernah menjabat sebagai Subbag hukum Dishubkominfo. ‘’Shelter memang jadi masalah. Oleh karenanya, kami bersama-sama dengan Pemda Propinsi Jateng dan PT Trans Semarang sedang melakukan evaluasi mengenai letak shater,’’ katanya. Ditanya Transnewsdesk apakah dalam penempatan shakter-shelter itu tidak dikoordinasikan lebih dulu dengan pihak Dishubinfo maupun PT Trans Semarang sebagai operator, Bambang mengaku pihaknya tidak dilibatkan. Ironisnya, penempatan shelter yang seharusnya menjadi kewenangan penuh pemda, justru di intervensi oleh pihak-pihak lain, bahkan oleh instansi di pemda itu sendiri. Sebagai contoh, ada lokasi startegis yang sangat tepat untuk shelter BRT. Tapi ditempat itu masih ada halte lama yang pembangunannya ‘disponsori’ oleh salah satu perusahaan swasta. Ketika akan di bongkar, pihak Dispenda menolak karena mereka terikat kontrak dengan pihak ketiga sebagai pemasang sponsor. Kalau dibongkar sebelum kontrak habis, pemda bisa digugat. Ada juga sejumlah titik yang sangat tepat untuk dibangun shelter. Namun karena lokasinya sangat berdekatan dengan tempat ibadah, dan pengurus tempat ibadah setempat keberataan karena terkait dengan keamanan, akhirnya lokasi shelter pun bergeser, ke tempat yang sangat tidak startegis. Hal ini tentunya sangat merugikan untuk BRT. Apalagi ada kecenderungan masyarakat di Semarang lebih ingin praktisnya saja, yaitu begitu keluar gang atau jalan, langsung naik kendaraan dan tidak mau cape-cape meski untuk menuju shelter BRT hanya perlu jalan antara 50-100 meter saja. "Bagaimana orang-orang mau naik BRT, kalau bisa naik tapi nggak bisa turun. Atau sebaliknya, bisa turun di tempat yang tepat , tapi untuk naik harus jalan kaki ratusan meter dulu,’’ kata Direktur PT Trans Semarang, Tutuk Kurniawan. Salah satu contoh, penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke Solo, tidak bisa berhenti di perempatan jalan itu, melainkan harus berhenti di Makro yang jaraknya sangat jauh. Hal ini tentunya sangat menyulitkan penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke daerah lain. Keberadaan shelter ini juga yang sempat memicu terjadinya keributan antara penumpang dengan pengemudi. Ceritanya seorang penumpang akan turun, karena di situ tidak ada shelter, pengemudi bus menolak berhenti. Penumpang marah dan mengancam akan memecahkan kaca pintu bus. Pengemudi pun mengalah dan menurunkan penumpang, meski tidak di shelter. "Rupanya penumpang menganggap BRT sama dengan angkota atau bus umum yang bisa menurunkan dan menaikkan di sembarang tempat,’’ kata Bambang. Karenanya untuk mengingatkan penumpang bahwa BRT tidak bisa berhenti atau menurunkan penumpang di sembarang tempat, maka di setiap bus pun ditempeli pengumuman bahwa: naik/tutun penumpang harus di halte yang sudah disediakan (dilarang berhenti di sembarang tempat) Peristiwa lain, banyak calon penumpang yang melambai-lambaikan tangannya menyetop BRT, padahal disitu tidak ada shelter. Sudah tentu permintaan itu tidak dilayani dan BRT terus melaju dan baru berhenti di shelter yang tersedia. Oleh karenanya, Tutuk mendesak pemerintah propinsi dan kodya Semarang untuk secepatnya melakukan perubahan sejumlah shelter dan menambahkan shelter di tempat-tempat yang strategis Tarif Dengan fasilitas yang nyaman karena bus ber AC, bangku yang bersih dan tersusun rapi, serta terjaminnya keselamatan karena di bus tersebut tersedia alat pemukul kaca bilamana tiba-tiba bus kebakaran, tarif Rp 3.500 untuk umum dan Rp 2.000 untuk pelajar/mahasiswa bisa dikatakan murah. Apalagi untuk jarak terminal Mangkang – Penggaron yang oleh bus umum dikenakan tarif Rp 7000. Namun masyarakat Semarang menilai tarif tersebut masih dirasakan mahal. Apalagi untuk penumpang yang menggunakan jalur-jalur pendek. Karena untuk jalur-jalur pendek, penumpang cukup mengeluarkan uang Rp 1.500 – 2000 saja meskipun harus berdiri dan berdesak-desakan di bus kota atau angkota. "Saya sendiri terkadang tidak paham, mengapa masyarakat Semarang lebih memilih kendaraan dengan ongkos murah meski harus berdesak-desakan, dibandingkan dengan membayar ongkos sedikit lebih mahal, namun enak, tenang dan nyaman karena busnya dilengkapi dengan pendingin,’’ tukas Bambang. Dwi Sulistyowati salah seorang karyawan rumah sakit di Semarang mengaku, mahalnya tarif BRT dibandingkan dengan angkota atau bus umum menjadi persoalan tersendiri, disamping shelter yang tidak strategis. ‘’Bagi kami para pekerja yang lebih menekannya kenyamanan, tarif Rp 3.500 tidak masalah. Tapi bagi masyarakat yang berpenghasilan tidak tetap mungkin jadi persoalan tersendiri,’’ ujarnya. Disisi lain, tarif BRT yang hanya Rp 3.500 untuk penumpang umum dan Rp 2000 untuk pelajar/mahasiswa jadi persoalan tersendiri, karena dianggap menyaingi tarif bus kota dan angkota, yang pada akhirnya mengurangi pendapatan para sopir. Beberapa hari setelah BRT dioperasikan, demo oleh sopir-sopir angkota dan bus umumpun tak terelakkan. Mereka ramai-ramai banting harga hanya menjadi Rp 2000, untuk tarif jauh sekalipun. Namun akhirnya mereka sadar bahwa usahanya itu hanya akan merugikan mereka sendiri, dan akhirnya kembali pada tarif semula. Untuk diketahui tarif bus B31 maksimal tarifnya Rp 3.250 sedangkan MPO jurusan Karang Ayu – Panggaron tarifnya Rp 7000 dan bus Damri AC Rp 3.500. Mengingat strategi banting harga tidak mempan bahkan cenderung merugikan dirinya sendiri, bus dan angkota kemudian melakukan strategi lain, yakni dengan melanggar rute yang telah ditetapkan, misalnya dengan masuk ke komplek-komplek perumahan.’’Alasannya bagian dari services,’’ jelas Tutuk yang mengaku sangat dirugikan dengan ulah sopir bus dan angkota, karena BRT sendiri hanya boleh mengambil penumpang di shelter yang telah ditetapkan. Konsorsium masih rugi Berbagai persoalan seperti lokasi shelter yang tidak stretgis, upaya bus dan angkota setempat melakukan perang tarif, dan masih kurangnya kesadaran masyarakat Semarang akan pentingnya kendaraan yang mengedepankan keselamatan, keamanan dan kenyamaman yang membuat konsorsium Trans Semarang masih merugi. Berbagai situasi dan kondisi itulah yang mengakibatkan jumlah penumpang yang diangkut BRT setiap rit-nya masih sangat rendah, masih dibawah 30 persen untuk rata-rata setiap rit-nya. Walhasil konsorsiumpun harus nombok. Belum 15 hari beroperasi, kami sudah mengalami kerugian sekitar Rp 115 juta. Belum lagi, konsorsium harus membayar sewa kepada Pemda sebesar Rp 55 juta untuk 20 bus yang dioperasikan oleh Trans Semarang. ‘’Lha terus untuk bayar sewa bus uangnya dari mana, wong selama 2 minggu beroperasi saja ruginya sudah mencapai Rp 115 juta,’’ ujar Tutuk. Bagaimana mungkin e-ticketing dapat diterapkan jika shelter yang ada masih seperti itu. Padahal untuk proses e-ticketing membutuhkan tambahan orang di shelter yang artinya harus ada tambahan biaya. Belum lagi desakan masyarakat agar di masing-masih shelter memiliki bangku tunggu, yang tentunya hal ini pun menjadi beban lagi. Untuk 53 shelter yang ada, diperkirakan membutuhkan dana tidak kurang dari Rp 100 juta. Saat ini rata-rapa penumpang yang diangkut setiap harinya hanya 300 orang untuk satu bus atau sekitar 6000 penumpang untuk 20 bus yang dioperasikan. Dengan operasi 25 hari kerja, dalam satu bulan jumlah penumpang yang diangkut hanya 150.000 orang. Dengan tarif Rp 3500 untuk umum dan Rp 2000 untuk pelajar/mahasiswa, jumlah pemasukannya hanya sekitar Rp 300 juta. Padahal biaya operasi untuk bahan bakar dan gaji karyawan sudah lebih dari itu. ‘’Selama 2 minggu beroperasi, rata-rata kerugian kami sebesar Rp 10 juta setiap harinya untuk 20 bus,’’ papar Tutuk. Karenanya Tutuk berharap penundaan sewa BRT yang diopersikan olehnya. Dan pemerintah memberikan subsidi atas kerugian yang diderita konsorisum, mengingat konsorsium belum memperoleh keuntungan. Pihaknya optimis bahwa BRT akan menangguk keuntungan dimasa yang akan datang, dengan catatan dilakukan sejumlah perubahan lokasi shelter serta penambahan shelter di sejumlah lokasi, penambahan rute-rute baru yang gemuk, serta adanya bantuan tambahan bus dari pemerintah untuk memaksimalkan operasional. Jika usulan ini dipenuhi dan BRT sudah mulai menangguk keuntungan, pihaknya berjanji akan menambah 10 bus baru untuk dioperasikan. Maklum, saat ini konsorisum belum mengucurkan modal. Karena infrastruktur seperti jalan sudah tersedia, shelter dibangun oleh Pemprov Jateng dan bus disediakan oleh Departemen Perhubungan. Konsorsium saat ini baru mengeluarkan biaya untuk beli bahan bakar, gaji dan seragam pegawai. (TIM)
-
Pusat Data dan Teknologi Informasi