(Semarang, 26/05/2010) Waktu masih menunjukkan pukul 08.30 WIB ketika tim www.dephub.go.id  tiba di tujuan. Gedung yang lapang dengan suasana tenang langsung dapat dirasakan oleh tim begitu memasuki pintu gerbang di Jl. Singosari No. 2A , Semarang. Di atas lahan seluas 8 hektare itulah Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang (PIP Semarang) berdiri dengan gagahnya. Tidak begitu banyak orang yang terlihat berlalu lalang pada jam itu seperti kampus pada umumnya. Nampaknya para mahasiswa atau yang lazim disebut taruna dan taruni telah berada di dalam kelas mengikuti proses belajar. Tim website langsung menuju kantor Direktur PIP Semarang Bambang Purnomo dan disambut dengan hangat oleh beliau yang juga didampingi beberapa pengajar.

Sekolah pelayaran yang berdiri sejak tahun 1951 itu semula bernama Sekolah Pelayaran Semarang (SPS). Adanya peningkatan yang meliputi aspek program pendidikan, tenaga pengajar, lulusan, tenaga penunjang, sarana dan prasarana maka sejak tahun 1951 terjadi perubahan pelembagaan hingga menjadi Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang pada tahun 1999 berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Np. KM.81 Tahun 1999 Tanggal 12 Oktober 1999 tentang Organisasi dan Tata Kerja PIP. Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang melaksanakan program diklat kepelautan dan kepelabuhan Diploma IV yang merupakan jenjang pendidikan profesional dan menghasilkan lulusan program yang berhak diberikan profesional Sarjana Sains Terapan disingkat S.Si.T.

PIP Semarang merupakan salah satu UPT Badan Pendidikan dan Pelatihan Perhubungan yakni diklat vokasi di bidang pelayaran yang memiliki 3 program studi yaitu Nautika, Teknika, Ketatalaksanaan Angkutan Kepelabuhan (Port and Shipping Management). Hal itu berorientasi pada upaya penyiapan kader pelayaran niaga dan mengacu pada ketentuan konvensi internasional ESTW 1995 yang telah disetujui secara internasional. Secara nasional, PIP semarang sedang diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).

Pada awal perjumpaan, Bambang menyatakan saat ini PIP Semarang baru memiliki kemampuan menyerap 300 siswa per tahun yang disesuaikan dengan  sarana dan prasarana, kelas, dormitory, dan lainnya. Padahal menurutnya dengan secara global masih terdapat kekurangan tenaga perwira pelaut sebanyak 3400-an perwira di tahun 2008. Tahun 2012 kekurangan perwira secara global diperkirakan menembus angka 83.900 orang. Bambang menjelaskan kekurangan tenaga perwira ini juga terjadi di skala nasional apalagi dengan penerapan azas cabotage yang tentunya menuntut penambahan perwira sejalan dengan pengembangan armada kapal.

Walaupun memiliki kapasitas terbatas, PIP Semarang tetap berusaha meningkatkan animo masyarakat agar termotivasi berkarir di bidang maritim menjadi dua kali lipatnya. Penyuluhan dan kampanye melalui dinas pemerintah kota terus dilakukan PIP Semarang untuk mendorong keinginan berkarir di bidang maritim dan mensosialisasikan keberadaan PIP Semarang kepada kaum muda khususnya siswa SMU. Kampanye lain yang dilakukan yaitu dengan pembinaan sejak usia dini melalui open house bagi murid TK, perhelatan alumni PIP Semarang, dan menggunakan media seperti leaflet, brosur, dan selebaran lainnya. Daerah sosialisasi meliputi skala nasional khususnya wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya.

Dengan biaya yang bisa dibilang sangat terjangkau dibandingkan dengan perguruan tinggi lainnya dan kesempatan kerja yang sangat luas, sekolah pelayaran ini seharusnya menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum muda untuk menapaki karir sebagai perwira pelaut. Biaya SPP selama satu semester sebesar Rp 120 ribu. 

Bambang mengakui keinginan masyarakat memang masih rendah untuk menapaki karir bidang maritim. Hal ini disebabkan masyarakat beranggapan berkarir sebagai pelaut berisiko tinggi dan masyarakat belum memiliki mind set berkarir di bidang maritim.  Bambang menyatakan banyak taruna taruni justru tidak memiliki kultur keluarga pelaut. “ Man kind is curious. Manusia itu serba ingin tahu dan adaptif. Justru menjadi kebanggaan tersendiri ketika mereka yang tinggal jauh di puncak gunung dididik untuk menjadi pelaut. Ibaratnya membuat bebek bisa terbang dan burung bisa berenang. Nah, itulah tanggung jawab pendidikan,” Bambang menjelaskan.

Dani Setyogati, taruna tingkat I program Teknika mengungkapkan bahwa dirinya bukan berasal dari keluarga pelaut dan mendapat informasi tentang PIP Semarang sendiri. “ Saya dapat informasi dari internet ketika lulus SMA . Pas lulus SMA masih mencari institusi pendidikan dan menemukan artikel kebutuhan tenaga pelaut. Lalu cari tentang pendidikannya,” ungkap taruna asal Bandung ini.

Berdasarkan data yang diperoleh www.dephub.go.id,  jumlah taruna taruni PIP Semarang yang diterima selama 3 tahun terakhir memang mengalami peningkatan. Jumlah siswa yang diterima tahun 2009 sebanyak 305 siswa dari sebelumnya sebanyak 286 siswa (tahun 2008) dan  268 siswa (tahun 2007). Setiap tahunnya PIP Semarang mampu menghasilkan lulusan rata-rata 200 sampai 250 perwira pelaut. Sebanyak 40% taruna taruni berasal dari Jawa Tengah.

ALUMNI YANG DICARI


Tingginya permintaan dunia kerja pada tenaga perwira pelaut membuat para lulusan PIP Semarang memiliki penawaran yang strategis dari berbagai perusahaan. Bambang menyebutkan perusahaan berskala internasional seperti NYK Jepang, Anthony Veder Belanda, Full American Line, EXXON Mobil Perancis juga “memburu” para taruna semester akhir dengan pemberian beasiswa dan pelayaran di kapal besar setelah lulus. Alasan tersebut mendorong para taruna berburu dolar ke luar negeri setelah lulus. “ Lulusan yang baru berlayar begitu masuk bergaji US$ 1500 per bulan dan 3 bulan kemudian meningkat US$ 2000 per bulannya,” Bambang memaparkan. Apalagi tahun ini terdapat DPS (Dynamic Positioning System). Kalau memiliki DPS, seorang master DP memiliki penghasilan antara US$ 12.000-30.000 per bulan untuk off shore di pengeboran.

Hal ini menjadikan para perwira alumni PIP Semarang lebih memilih berlayar ke luar negeri  dibandingkan perusahaan domestik karena dinilai mampu memberikan insentif dengan layak dan memadai sesuai risiko yang dihadapi. “ Shipping is the most regulated industry, padat modal, teknologi, dan risiko. Kalau tidak dimanage secara profesional mereka (perusahaan domestik) akan kalah dan para perwira lebih memilih perusahaan luar negeri dengan alasan itu selain jiwa muda masih ingin berpetualang,” Bambang menjelaskan.

Bambang menjelaskan crash program  (program percepatan) juga dilakukan untuk mengejar kekurangan tenaga perwira maritim. “ Dari SLTA non diploma langsung diciptakan menjadi perwira dalam kurun waktu 2,5 sampai 3 tahun. 3 semester (1,5 tahun) di darat dan 1 tahun lagi praktek di laut, “ Bambang memaparkan.

Bambang menambahkan percepatan tersebut tidak menjadi masalah dalam kurikulum Perguruan Tinggi terdapat 5 kompetensi tertentu. “Yang distandarkan oleh industri adalah learning to do supaya able to do. Tapi selebihnya kan kelompok kompetensi berkemampuan berkehidupan bermasyarakat, pengembangan kepribadian yaitu  able to be, able to think, able to learn, able to do, baru  able to live together,” papar Bambang.  Meskipun crash program diterapkan, pembangunan karakter tidak bisa dilupakan karena nantinya para pelaut bekerja dengan masyarakat multi etnis dengan orientasi keunggulan dan profesionalitas. 

Salah satu taruna jurusan Nautika Semester VIII bernama Andreas Serbandang mengakui setelah lulus ingin langsung berlayar  ke luar negeri sekitar 3 hingga 4 tahun kemudian meningkatkan ijazah. “Rencana untuk menjadi berkarir di domestik misalnya menjadi PNS masih jauh atau malah tidak ada,” kata taruna yang motivasi awal masuk PIP ingin langsung bekerja.

Nurul Hasanah, taruni program Nautika semester VIII memiliki tujuan yang berbeda setelah lulus dari PIP. “ Saya cita-citanya ingin berlayar terus jadi PNS. Kalau berlayar maunya di dalam negeri dulu tetapi tetap ingin berlayar ke luar negeri,” kata taruni yang semula disarankan oleh pamannya masuk PIP.

SEKOLAH BERASRAMA IDENTIK DENGAN KEKERASAN?

Sekolah asrama seperti PIP Semarang kerap diidentikkan dengan tindak kekerasan baik sesama taruna di kampus yang sama maupun antar siswa di kampus berbeda. Sekolah berasrama yang lebih banyak siswa pria dibandingkan wanita(misalnya di PIP jumlah taruni hanya 25% ) kerap dituding sebagai penyebabnya. Apalagi santer terdengar bahwa taruna PIP Semarang juga sempat bentrok dengan taruna Akademi Kepolisisan (Akpol) yang sama – sama berada di wilayah Semarang. Benarkah demikian?

“Saat ini hubungan taruna PIP Semarang dengan taruna Akpol cukup baik. Misalnya siswa PIP dengan siswa di Akpol mengadakan pertandingan olahraga seperti badminton open. Hubungan dengan komunitas juga baik dengan mengadakan bakti sosial. Kalaupun jika nantinya ada benturan sesama siswa antar sekolah juga siswa kedua belah pihak punya hukuman yang sama hingga dikeluarkan,” tegas Bambang.

Salah seorang pengasuh dan pengajar PIP Semarang menyatakan pengawasan melekat juga dilakukan bagi para taruna taruni PIP Semarang dengan adanya para binsotar (pengasuh) di tiap dormitory dari jam 4 sore hingga jam 6 pagi yang merupakan waktu usai pelajaran. Selain itu, jadwal kegiatan para taruna taruni telah disusun cukup padat selama berada dalam asrama. Pada dormitory taruna taruni juga dipasang PHST (Perintah Harian Sifat Tetap) yang  memuat kegiatan taruna mulai dari bangun tidur jam 4 pagi sampai istirahat jam 10 malam.

Dari pengamatan tim penulis ketika melakukan campus tour, papan peringatan pelaranagan melakukan tindak kekerasan dipajang di daerah yang sering dilalui taruna taruni. Papan tersebut lengkap dengan foto dan nama 5 orang taruna yang drop out karena melakukan pemukulan. Hal ini bertujuan agar para siswa tidak melakukan kesalahan yang sama para seniornya.  (lihat foto)

Ade Chandra, taruna tingkat I program Nautika mengakui belum pernah mendapat kekerasan dari para senior maupun terlibat perkelahian.  “ Biasanya jika ada yang berkelahi, hal pendorongnya iseng saja kepada junior atau masalah kecil dibesar-besarkan,” Ade menjelaskan ketika ditemui diatas Kapal Latih Bimasakti.

Senada dengan Ade, Ivan Darmawan yang merupakan taruna program Nautika Semester VII menyatakan bahwa para senior banyak membantu para junior untuk menyesuaikan diri di kampus. “Sewaktu menjadi junior juga tidak ada kekerasan,” ujar taruna yang berasal dari Klaten itu

Bambang mengakui bahwa sikap agresif siswa yang mendorong tindak kekerasan umumnya mencontoh lingkungan di sekelilingnya. “ Contoh jelek itu serta merta dicontoh 200% tapi contoh baik itu 50% itu lama dicontohnya. Karena tidak ada afeksi, atribut tadi membuat kaku,” paparnya.  Mendidik para taruna untuk menjadi tangguh namun tetap memiliki sisi lembut diakui bukan hal yang mudah. “ Karena itu kita butuh pembinaan peningkatan kerohanian dan psikolog,” Bambang menambahkan. 

Dalam memasuki lingkungan kerja baik di darat maupun laut membutuhkan profesionalitas dan kemampuan beradaptasi tanpa adanya kekerasan. Jadi untuk apa harus melakukan kekerasan jika tidak terpakai di lingkungan profesional? (TIM)