(Wakatobi, November 2010) Dibandingkan tiga pusat penyelaman dunia ternama seperti Karibia dan Laut Merah, Wakatobi memiliki jumlah spesies terumbu karang dan hewan laut yang berkali lipat lebih banyak. Sedikitnya ada 942 spesies ikan dan 750 spesies terumbu karang—dari total 850 terumbu karang yang ada di Indonesia—terkandung di wilayah kabupaten di Sulawesi Tenggara ini. Namun, minimnya sarana transportasi masih menjadikan Wakatobi sebagai surga indah dunia yang ”tersembunyi”.
Berada pada koordinat 5.00°–6.25° LS dan 123.34°–124.64° BT di selatan garis khatulistiwa, wilayah yang terkenal dengan sebutan Kepulauan Tukang Besi ini resmi berdiri sendiri sebagai wilayah administratif di Provinsi Sulawesi Tenggara pada 18 Desember 2003. Berarti, tak lama lagi wilayah yang sebelumnya adalah bagian dari Kabupaten Buton tersebut akan merayakan hari jadinya yang ke-7.
Meski memiliki 142 pulau yang tersebar di area seluas total 1,39 juta hektare, penduduk Wakatobi yang saat ini mencapai 100.563 jiwa hanya menghuni tujuh pulau di antaranya. Empat dari tujuh pulau berpenghuni itu merupakan pulau utama yang mendasri pembentukan nama Wakatobi. Keempat pulau itu adalah Wangi-wangi yang didaulat sebagai ibu kota kabupaten, Kaledupa, Tomia dan Binongko.
Wakatobi dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2003, dengan jumlah penduduk saat itu sebanyak 91.497 jiwa yang tersebar di delapan wilayah kecamatan (Binongko, Kaledupa, Liya, Timu, Togo, Tomia, Wangi-Wangi, Wangi-Wangi Selatan) dan 61 desa/kelurahan. Tercatat, luas wilayah daratan di kabupaten ini mencapai 823 kilometer per segi dan luas wilayah perairan sekitar 18.377 kilometer per segi. Tak hanya berstatus sebagai sebuah wilayah administratif, Wakatobi yang memiliki keanekaragaman hayati laut dengan skala dan kondisi karang yang menempati salah satu posisi prioritas tertinggi dari konservasi laut di Indonesia, juga dinobatkan Menteri Kehutanan sebagai Taman Nasional pada tahun 1996.
”Dibandingkan tiga pusat penyelaman dunia yang sangat terkenal seperti Karibia atau Laut Merah, Wakatobi yang terdiri dari 97 persen wilayah laut dan 3 persen darat, jauh lebih kaya. Di Karibia hanya ada 15 spesies terumbu karang, sementara Laut Merah hanya 300 spesies. Tetapi Wakatobi punya 750 spesies dari total 850 terumbu karang di Indonesia, ditambah 942 spesies ikan,” papar Bupati Wakatobi Hugua, ketika ditemui tim redaksi TransNews, awal November 2010.
Dunia internasional, menurut Hugua, telah mengenal akrab Wakatobi terbentuknya pemerintahan kabupaten yang mandiri. Wakatobi yang 97 persen wilayahnya merupakan perairan ini menjadi salah satu surga bawah laut dunia yang masiuk dalam daftar wajib dikunjungi, terutama oleh para penyuka wisata bawah laut. Tak heran, hal itu mengingat Wakatobi memiliki sekurangnya 100 titik penyelaman utama yang sangat menakjubkan dengan panorama berbeda yang tersebar pada area seluas 90.000 hektare dari total 118 ribu hektare terumbu karang yang ada.
Di Pulau Wangi-Wangi misalnya, terdapat 18 titik penyelaman utama yang dapat dijelajahi para pecinta panorama bawah laut. Titik-titik selam itu antara lain Kapotadive, Wahadive I-III, Patuno Gate, Patunodive, Arokadive, Karang Gurita, Tanjung Kapota, Kapota Gate, Kptkr 1-3, Wanci Gate, Wandokadive, Oogudive, Biradive, serta Sombudive. Kemudian di Kaledupa atau yang juga dikenal dengan nama Pulau Hoga, tersebar 25 titik penyelaman incaran. Antara lain Buoy 1-5, Pak Kasim, Baby Batish, Inner Pinnacle, Outer Pinnacle, Ridge 1-2, Coral garden, Aquarium, Blue Hole, North Wall 1-2, Sampela Buoy 1-2, Kaledupa Buoy 1- 2, Kaledupa Double, Turkey Beach, Conchta, Zoo, dan Barracuda.
Sementara Pulau Tomia, memiliki lebih banyak titik penyelaman utama yang jumlahnya mencapai 48 titik, di mana sebagian besar titik telah mendunia. Mereka adalah RR&R, Teluk Maya, Traiblazzer, Tanjung Lintea, Pockets, Fan 36 East, Fan 36 West, Spiral Corner, Magnitica, Comuoopia, Batfish Wall, Fan Garden, Starship, Gallery, Pinkys Wall, Black Forest, Lorenzos Delight, Pastel, Inka Palette, Brians Choice, Channel, Tanjung Balok, Dunia Baru, Waitii Ridge, Table Coral City, Teluk Waitii, Kolo Soha Beach, Roma, Marimabuk, Gunung Waha, Ali Reef, Bel Valley, Waha Top, Kulati, Blade, Coral Hill, Pintu Timur, Mermaid, Fish Wall, Cavern Wall, Ndaa Light House, Ndaa Drop Off, Ndaa Selatan, House Reef, Anano, Rundumadive, serta Kr dive.
”Kalau di Binongko, ada sembilan titik utama penyelaman. Yaitu Koromahadive 1 dan 2, Cowodive, Kentioledive, serta Koko dive 1 hingga Koko dive 5. Tetapi, secara keseluruhan, alam Wakatobi sangat layak untuk dinikmati dari titik manapun,” jelas Hugua.
Atas dasar itulah, hingga saat ini, para turis-turis asing yang berasal dari pelbagai penjuru dunia itu secara rutin dan bergelombang mendatangi Wakatobi. Mereka bahkan rela ”antre” antara 6 bulan hingga satu tahun lamanya dan mengeluarkan biaya tinggi hanya untuk mengeksplorasi kekayaan alam Wakatobi selama 7 hari. Para turi asing itu begitu ikhlas merogoh kocek dalam-dalam untuk menebus sensasi di pusat segitiga karang dunia ini.
”Kalau dikonversi ke rupiah, tarif yang dipasang agen wisata mereka mencapai antara 35-40 juta per orang untuk 7 hari kunjungan. Sedangkan masa tunggu paling cepat dalam waiting list adalah 6 bulan. Kalau normalnya, rata-rata baru bisa berangkat setahun setelah mendaftar,” rinci Hugua. Dari sekian banyak turis mancanegara yang datang, sebutnya, pengunjung terbanyak adalah warga negara-negara Eropa seperti Belanda maupun Inggris.
Bagaimana dengan turis domestik? Hugua menyayangkan, hingga saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang belum familiar dengan nama Wakatobi. Kebanyakan masyarakat Indonesia masih sebatas mengenal Bunaken di Manado ataupun Raja Ampat di Papua sebagai objek wisata bawah laut. Dia menyadari bahwa minimnya sosialisasi turut berkontribusi terhadap ”keterasingan” Wakatobi di negara sendiri.
”Dari total wisatawan yang masuk, jumlah turis domestik yang datang ke sini tak mencapai setengahnya. Itu pun tidak seluruhnya datang untuk mengeksplorasi alam laut Wakatobi secara total. Berbeda dengan wisatawan asing, yang memang benar-benar datang dengan ketertarikan utama untuk melakukan penyelaman,” ujar Hugua.
Namun belakangan, seiring dengan maraknya publikasi yang dilakukan media massa terutama televisi dan gencarnya sosialisasi yang dilakukan pemerintah daerah, ketenaran Wakatobi kian terangkat ke permukaan. Pola kunjungan pun perlahan meningkat. Kebanyakan wisatawan lokal yang datang saat ini tidak lagi sebatas menikmati keindahan alam di atas permukaan laut yang berisi pemandangan alam darat yang asri, maupun pesisir pantai berair jernih yang bertabur pasir putih nan jernih. Meski tidak menyelam, aktivitas snorkling alias menerawang terumbu karang dan biota laut dari permukaan air dengan berbekal kacamata renang dan alat bantu pernapasan tanpa tabung oksigen yang dilakukan pengunjung lokal sudah mulai banyak.
Peran Besar Sarana Transportasi
Hugua menyebutkan, sektor pariwisata adalah salah satu sumber PAD terbesar wilayahnya. Jumlah wisatawan yang datang ke Wakatobi saat ini sudah mencapai angka10 ribu hingga 12 ribu per tahun. Jumlah itu telah mengalami peningkatan drastis semenjak dioperasikannya Bandar Udara Matahora di Pulau Wangi-Wangi pada 2009 silam. Kendati baru berusia setahun, Bandara Matahora telah mampu mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor wisata hingga 21 persen dari tahun sebelumnya yang rata-rata hanya berkisar 14 persen, menjadi 35 persen dari.
Sebelum Bandara Matahora yang berstatus terbuka untuk umum dioperasikan, jumlah wisatawan yang datang ke Wakatobi hanya berkisar 3.000-an orang per tahun. Sebelumnya, turis datang menggunakan kapal wisata pribadi maupun pesawat charter melalui bandara khusus milik salah satu resort yang dikelola asing di Tomia. Pada jalur reguler saat itu, transportasi udara yang tersedia baru mencapai wilayah tetangga seperti Kendari maupun Bau Bau. Sehingga untuk akses langsung ke Wakatobi hanya dapat dicapai melalui jalur laut dengan menggunakan kapal-kapal kayu berkecepatan rendah dari Pelabuhan Bau Bau yang berjarak sekitar 88 mil maupun Pelabuhan Kendari yang berjarak 129 mil dengan waktu tempuh antara 8-14 jam pelayaran.
”Selain kapal-kapal kayu itu, ada kapal Pelni yang singgah ke Wakatobi sekali dalam sebulan, datang dan pergi. Kapal ini melayani rute Surabaya-Papua (pp),” jelas Hugua. Waktu tempuh melalui jalur laut yang relatif lama ini yang membuat minimnya minat wisawatan lokal berlibur ke Wakatobi, sementara waktu yang mereka punya terbatas. Tetapi sekarang, wisawatan bisa mengakses langsung pulau ini melalui jalur udara yang jauh lebih cepat dari mana saja. Namun, saat ini baru satu maskapai yang membuka penerbangan langsung ke Wakatobi, yaitu Express Air, dengan frekuensi rata-rata dua kali sehari.
Berdasarkan catatan TransNews, penerbangan langsung dari Jakarta menuju Wakatobi ditempuh dalam waktu total sekitar 5 jam dengan dua kali transit, yaitu di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar dan Bandara Bau-Bau. Penerbangan dari Jakarta (Soekarno-Hatta) menuju Makassar ditempuh selama 2 jam 10 menit. Kemudian dari Makassar menuju Bau-Bau, ditempuh selama 45 menit, dan dari Bau-Bau ke Wakatobi selama 25 menit. Untuk membawa penumpang dari Jakarta ke Makassar, Express Air menggunakan pesawat pesawat jenis Boeing 737-300 yang berkapasitas 130-an penumpang. Sedangkan dari Makassar menuju Bau-Bau dan Wakatobi, penerbangan diteruskan dengan menggunakan pesawat berbadan kecil jenis Dornier 328 yang berkapasitas 30-an penumpang. Hal itu mengingat Bandara Matahora yang memiliki landasan pacu sepanjang 1400 meter belum diizinkan untuk didarati pesawat berbadan lebar.
Saat ini Pemkab Wakatobi tengah melakukan penambahan landasan pacu sepanjang 600 meter lagi agar bisa didarati pesawat lebih besar sehingga kian membuka keterisoliran wilayah. Ditargetkan, akhir 2010 ini runway Matahora dibangun secara swadaya oleh Pemkab Wakatobi itu sudah mencapai 2000 meter, sehingga pesawat sekelas ATR 72-500 bisa mendarat. ”Untuk jangka panjang, kami menargetkan Matahora punya runway hingga 3000 meter. Itu karena kami optimistis Wakatobi di masa mendatang akan dan harus menjadi ikon wisata baru Indonesia yang akan menjadi idola wisatawan baik mancanegara maupun lokal. Dengan pengembangan bandara ini, kami menargetkan 25 ribu kunjungan wisawatan pada 2012,” ungkap Hugua.
Tidak hanya Bandara, lanjut dia, Pemkab Wakatobi juga mengupayakan untuk menambah fasilitas infrastruktur transportasi darat dan laut. ”Untuk darat, kami sedang melakukan peningkatan terhadap akses jalan. Kami akui, saat ini fasilitas transportasi darat masih minim. Angkutan umum reguler masih sangat sedikit sekali, sehingga masyarakat masih mengandalkan kendaraan pribadi. Sementara wisatawan, mengandalkan kendaraan sewaan,” ujar Hugua.
Sementara untuk laut, dengan membangun pelabuhan feri berkapasitas besar untuk mengurangi beban Pelabuhan Laut Pelabuhan Pangulu Belo Mandati milik Pemerintah Pusat yang dikelola Unit Satuan Kerja Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. ”Resort-resort juga kita dongkrak untuk tumbuh,” imbuhnya.
Sebelum Matahora berdiri, Pelabuhan Pangulu Belo Mandati yang juga berada di Pulau Wangi-Wangi menjadi gerbang utama keterhubungan Wakatobi dengan dunia luar, baik dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI) maupun Kawasan Barat Indonesia (KBI). Namun, sejalan dengan perubahan masa, daya tampung Pangulu Belo Mandati yang hanya dilengkapi dermaga sepanjang 70 meter itu tak lagi mencukupi.
Terlepas dari keberadaan Matahora, bagi daerah yang dikelilingi laut seperti Wakatobi, keberadaan pelabuhan laut menjadi sangat vital. Karena untuk menghubungkan wilayah satu dengan daerah lain menjadi sebuah keharusan. Posisi Pelabuhan Pangulu Belo Mandati juga menjadi titik penghubung antara pulau-pulau kecil yang ada di Kepulauan Tukang Besi itu.
”Kami berharap ada pengembangan yang dilakukan terhadap Pelabuhan Pangulu Belo Mandati. Minimal bisa dua kali lipat lebih panjang, menjadi 140 meter,” ungkap La Ode Sungkuarso, kepala Satuan Kerja Pelabuhan Wakatobi (Pangulu Belo Mandati) yang menginduk pada Kantor Pelabuhan Bau Bau. Tak hanya dermaga, fasilitas pendukung lain sepertinya juga sangat dibutuhkan pelabuhan ini. Salah satunya adalah terminal penumpang. Sebagaimana terpantau TransNews, di pelabuhan tersebut memang terdapat sejumlah bangunan dengan kondisi yang jauh dari standar kelaikan untuk dikatakan sebagai bagian dari fasilitas pelabuhan.
La Ode menambahkan, untuk kegiatan operasional pengawasan keselamatan pelayaran dan patroli laut, pihaknya sama sekali tak memiliki sarana yang cukup. Tak jarang dia dan sejumlah staf harus menyewa kapal masyarakat dengan uang pribadi untuk memeriksa kapal yang dicurigai dan berlabuh di tengah laut. ”Kalau untuk berpatroli keliling wilayah, kami hanya punya doa, berharap semoga tidak terjadi apa-apa. Dulu kami pernah punya satu radio, tetapi sudah hilang dicuri. Saat ini, tidak ada fasilitas pendukung operasional yang kami punya selain meja dan kursi di kantor ini. Kami juga tidak bisa mengandalkan fasilitas Kanpel Bau-Bau, karena di sana juga minim fasilitas. Satu-satunya kapal patroli yang ada pun rusak,” pungkasnya.
Dengan keterbatasan tersebut, La Ode mengaku kerap kewalahan ketika Wakatobi kebanjiran pengunjung asing yang membawa kapal pribadi. Seperti ketika hajatan besar sekelas Sail Banda 2010 lalu digelar, sedikitnya 80 unit kapal asing berlabuh di perairan Wakatobi. ”Tapi kami tidak bisa melakukan apa-apa. Untungnya tidak ada hal negatif yang terjadi,” lanjut dia.
Hugua juga mengungkapkan hal senada perihal kondisi Pangulu Belo Mandati. Dia sangat mengharapkan dukungan Pemerintah Pusat dan para wakil rakyat di Senayan untuk mengembangkan infrastruktur utama Wakatobi tersebut. ”Karena Pangulu Belo itu aset pusat. Kami mengharapkan dukungan maksimal dari Pemerintah Pusat juga para wakil rakyat di gedung DPR terhadap visi kami untuk mengembangkan Wakatobi baik sebagai wilayah administratif maupun Taman Nasional yang mengandalkan eco-wisata. Kami ingin Wakatobi jadi cagar biosfir dunia. Tanpa dukungan semua pihak, itu tidak mungkin kami lakukan,” cetusnya. (TIM)