06 Aug 2020
16726 View
JAKARTA – Penumpukan penumpang Kereta Rel Listrik di
sejumlah stasiun pada jam-jam padat, di hari kerja pada
Senin pagi dan Jumat Sore, masih terjadi. Belum juga mampu terurai oleh
serangkaian kebijakan mulai pembatasan usia (pekerja muda) dan pengaturan jam
kerja jadi dua shift, serta kebijakan instasi pemerintah dan BUMN yang
menetapkan di atas 50 tahun di minta WFH (work
from home), selama pandemi Corona Virus 2019 (Covid-19) masih berlangsung.Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) berupaya mencari
solusi dalam menghadapi masalah yang
timbul dampak dari penerapan kebiasaan baru pada moda transportasi umum. Terkait
pengaturan kapasitas penumpang yang berdampak pada penumpukan penumpang Kereta
Rel Listrik (KRL) di sejumlah stasiun.Sejauh ini Pemerintah telah menggulirkan kebijakan untuk
menangani permasalahan tersebut, dengan menyediakan bus gratis setiap Jum'at
sore dan Senin Pagi yang telah dilakukan sejak Mei 2020. Selang tiga bulan setelah
dilakukan evaluasi-evaluasi, maka dipandang perlu kebijakan yang lebih
komprehensif agar terwujud solusi yang berkelanjutan terhadap permasalahan
tersebut.Kepala BPTJ, Polana B. Pramesti menjelaskan dari evaluasi yang
melibatkan berbagai pihak diantaranya para pakar/pemerhati transportasi telah
berhasil memetakan karakteristik pengguna KRL."Hasil pemetaan ini menjadi landasan kami dalam menyusun
kebijakan yang lebih menyeluruh dan tentunya juga mempertimbangkan
kemungkinan pandemi masih berlangsung lama," jelas Polana di Bogor, Senin
(3/8/2020) lalu. Kebijakan yang diambil menurut Polana pada prinsipnya harus
mampu menjamin ketersediaan layanan transportasi dengan tetap menegakkan
protokol kesehatan, menjangkau keseluruhan segmen masyarakat serta berdampak
positif pada aspek keberlanjutan layanan transportasi.Kebijakan Transportasasi Harus Bisa
Mengakomodir Kondisi dan Kepentingan MasyarakatHasil pemetaan yang
dilakukan menunjukkan bahwa karakteristik masyarakat pengguna KRL cukup beragam
mulai dari kalangan status sosial ekonomi bawah hingga status sosial ekonomi
menengah. Mereka yang berasal dari status sosial ekonomi bawah memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap sarana transportasi KRL karena harga tiket
yang terjangkau bagi mereka.Sementara itu ternyata terdapat juga pengguna KRL dari kalangan
status sosial menengah yang mau dan mampu memanfaatkan layanan komuter selain
KRL dengan harga tiket yang lebih tinggi, asal sesuai dengan pelayanan yang
diberikan."Kebijakan yang diambil harus mampu mengakomodir kondisi
dan kepentingan mereka semua, sehingga pada masa pandemi ini jika terpaksa
melakukan aktivitas mereka dapat mengakses layanan transportasi umum yang
memadai dengan penerapan protokol kesehatan," urai Polana.Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka Pemerintah telah
memutuskan beberapa langkah dalam satu paket kebijakan. Diantaranya pengurangan
secara bertahap layanan bus gratis bagi pengguna KRL hingga Desember 2020. Bus
gratis akan tetap dipertahankan hingga akhir tahun 2020, namun keberadaanya
secara bertahap akan dikurangi."Langkah ini untuk mengakomodir kelompok masyarakat yang
sangat bergantung pada KRL karena kemampuan finansial yang terbatas, manakala
mereka tidak tertampung sarana KRL karena keharusan penegakan protokol
kesehatan. Pengurangan bus dilakukan dengan tetap mempertimbangkan dinamika
kondisi yang terjadi di setiap saat," urainya.Penyediaan dan peningkatan layanan bus JR Connexion di wilayah
Bogor dan sekitarnya, untuk mengakomodir kelompok pengguna KRL yang memiliki
kemampuan finansial lebih untuk memanfaatkan moda lain, bila mereka tidak
terakomodir KRL. Layanan bus JR Connexion merupakan layanan bus "jemput
bola" dengan titik pemberangkatan dari tempat yang berdekatan dengan
pemukiman calon penumpang menuju titik-titik tertentu di Jakarta."Sifat layanan bus ini adalah point to point, pada pagi hari (jam berangkat kantor) dari daerah
pemukiman menuju titik tertentu di Jakarta dan pada sore hari (jam pulang
kantor) dari titik tertentu di Jakarta menuju pemukiman yang menjadi tujuan
asal layanan tersebut," ujar Polana.Dalam dua minggu terakhir telah diluncurkan layanan baru JR Connexion di Sentul City (Kabupaten
Bogor) serta di Perumahan Taman Sari Persada (Kota Bogor). Peluncuran di Taman
Sari Persada ini merupakan yang pertama di Kota Bogor, yang akan berlanjut dengan
peluncuran JR Connexion di area pemukiman sekitar Stasiun Bogor pada hari ini.Saat ini masih terus berlangsung penjajakan untuk membuka
rute-rute baru JR Connexion di wilayah Kota Bogor. Penataan Angkot Terintegrasi
dengan Transjabodetabek. BPTJ saat ini tengah meminta kepada semua Pemerintah
Kota/Kabupaten di Jabodetabek tidak terkecuali Bogor untuk mengajukan skema
subdisi kepada Pemerintah Pusat guna penataan angkot di wilayah masing agar
dapat terintegrasi dengan layanan Transjabodetabek."Seperti halnya yang terjadi di Kota Bogor, sebenarnya saat
ini sudah terdapat layanan bus Transjabodetabek dari Terminal Bus Baranangsiang
dan Terminal Bubulak menuju terminal-terminal bus yang ada di DKI Jakarta dan
bahkan Bekasi," tuturnya.Jika Transjabodetabek ini dapat terintegrasi dengan baik
secara sistem dengan angkot yang ada di Kota Bogor maka akan dapat diandalkan
menjadi angkutan alternatif. Apalagi sebagai angkutan umum reguler berjadwal,
Transjabodetabek yang di Kota Bogor ini sangat memungkinkan untuk diberikan
subsidi sehingga tarifnya lebih terjangkau lagi. Ganjil Genap Penyeimbang
Penambahan Layanan Transportasi Umum lainDjoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan
Kemasyarakatan MTI Pusat, menjelaskan digulirkannya kebijakan Ganjil Genap
mulai 3 Agustus 2020 lalu, dibarengi dengan upaya menambah layanan transportasi
umum dengan menambah operasi bus regional (JR Connexion). “Pengendalian
aktivitas saat adaptasi kebiasan baru menjadi kruisial dan urgent,” tukasnya.Peran transportasi
dalam penyebaran Covid-19, adalah memindahkan orang (carrier) dengan virus dari satu tempat ke tempat lain.
Stasiun/terminal dan moda merupakan tempat berkumpul banyak orang secara
bersama-sama dalam ruang yang sama dalam waktu tertentu, sehingga terjadinya interaksi
fisik antara carrier dengan orang
lain. Jabodetabek
sebagai wilayah teraglomerasi dengan kondisi pergerakannya lebih kurang 88 juta
pergerakan/hari. Wilayah Jabodetabek dengan penduduk lebih dari 30 juta saling
memiliki ketergantungan aktivitas ekonomi antar wilayah yang tinggi, dikarenakan
hingga kini masih memiliki porsi lebih 20% pergerakan ekonomi nasional. Terkait
dengan aktivitas ekonomi yang tinggi, Djoko mengungkapkan, ada tantangan besar
di sektor transportasi pada masa adaptasi menuju kebiasaan baru (pasca
Penerapan PSBB Penuh). Yakni, penyelenggaraan transportasi berjalan dengan
meminimalisasi resiko penularan dan penyebaran covid-19, dengan tetap mematuhi
protokol kesehatan.Salah
satunya, kapasitas penumpang semua moda transportasi harus dikurangi agar dapat
menegakkan physical distancing (jaga
jarak). Dan ketika masyarakat Jabodetabek memilih kendaraan pribadi untuk menghindari
angkutan umum, jalanan akan macet, karena prasarana jalan tak mungkin menampung
lonjakan volume kendaraan.Kekhawatiran
warga menjauhi angkutan umum itu tidak hanya terjadi di kota-kota Indonesia, tetapi
di semua negara juga mengalaminya. Hanya bedanya, kota-kota di manca negara layanan
transportasi umum sudah bagus. Mudah meyakinkan warganya tetap menggunakan
angkutan umum dengan menyediakan layanan tambahan untuk perjalanan jarak pendek
(dari rumah ke stasiun dan dari stasiun ke kantor) dapat menggunakan sepeda dan
berjalan kaki. “Infrastruktut
jaringan bersepeda dan berjalan kaki dibuat semakin bagus dan nyaman, di
Indonesia baru ada beberapa Kota termasuk Jakarta tetapi belum didukung oleh peraturannya,”
jelas Djoko.Tingginya Prosentase Gaji
Untuk Aktivitas Bertransportasi, Sementara di negeri ini, penilaian Djoko, layanan
angkutan first mile dan last mile
belum terintegrasi dengan baik, sehingga
dibutuhkan adanya bentuk layanan transportasi umum lain. Pasalnya, dari riset
Bank Dunia rata-rata pengeluaran untuk transportasi berkisar 10-20% persen dari
pendapatan, tergantung strata penghasilannya. Lanjut
dia, guna memenuhi mobilitas warga dan target Rencana Induk Transportasi Jabodetabek
(RITJ), perlu diciptakan tiga bentuk layanan transportasi umum.Pertama,
buat kelompok berpenghasilan rendah (UMK) dan milenial muda berpendapatan
kurang dari Rp 10 juta per bulan, menurut Ketua Bidang Advokasi dan
Kemasyarakatan MTI Pusat itu perlu ditambahkan layanan Bus Jabodetabek Residential Connexion yang melayani
semua kawasan perumahan dengan tarif subsidi.Kedua,
layanan Bus Jabodetabek Residential
Connexion bersubsidi dapat diberikan bagi Kawasan perumahan kelas menengah
dengan tarif kisaran (Rp 10 ribu - Rp 15 ribu), subsidi minimal (BEP) Dan
ketiga, layanan Bus Jabodetabek Residential
Connexion tanpa subsidi (jasa angkutan bus sudah memperhitungkan margin) diberikan
pada perumahan kelas menengah ke atas dengan tarif kisaran Rp 20 ribu – Rp 25
ribu.Djoko
menegaskan, dengan tambahan layanan bus tersebut, operasional KRL di akhir
pekan dan hari libur tidak perlu mendapat subsidi (dihapuskan). Saran dia, anggaran
subsidinya dialihkan ke sebagian operasional JR Connexion. Pengoperasian layanan JR Connexion merupakan bagian dari program BPTJ dalam meningkatkan moda
share angkutan umum massal
sebagaimana tertuang dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ). Strategi
tersebut, ungkap pakar transportasi itu, diperlukan agar memenuhi target RITJ, sebagai
salah satu Indikator Kinerja Utama BPTJ adalah pencapaian moda share angkutan umum massal sebesar 60% pada tahun 2029. “Guna
mencapai target tersebut, layanan Bus Jabodetabek Residential Connexion (JR Conn) dengan rute point to point menjadi salah satu bentuk inovasi untuk melayani
penumpang dari kantong-kantong demand
seperti permukiman menuju pusat perkotaan,” ujar Djoko.Alangkah
lebih bermakna, saran dia lagi, jika
layanan Bus JR Connexion dilengkapi
dengan fasilitas tempat sepeda di dalam bus. Dari rumah menggunakan sepeda
menuju halte bus. Sepeda dinaikkan ke dalam bus. Setiba di tujuan, sepeda
diturunkan dan kembali dikayuh menuju tempat bekerja. Menurut
dia, Pemda Bodetabek perlu mendukung adanya layanan Bus JR Connexion di wilayahnya. Bahkan, Pemda berupaya untuk
mendapatkan bantuan Program Pembelian Layanan (Buy the Service/BTS) dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat
Kementerian Perhubungan untuk merevitalisasi layanan angkot di daerahnya. “Badan
Pengelola Transportasi Jabodetabek dapat menyelenggarakan program Buy the Service untuk pemda di wilayah
Bodetabek,” ujarnya.Dengan
Program BTS, prediksi dia, pengusaha angkutan umum di daerah dapat bangkit
kembali. Pengemudi sudah tidak dipusingkan dengan sistem setoran. Pengemudi
mendapat gaji tetap bulanan, tanpa dipengaruhi jumlah penumpang yang diangkut. “Pemda
DKI Jakarta dan Bodetabek dapat terus meningkatkan fasilitas pesepeda di semua
jaringan jalan untuk digunakan perjalanan jarak pendek,” tambahnya.Transportasi Umum yang
Sehat, Terpenting Jaga JarakPara ahli epidemiologi,
yang terpenting dilakukan moda transportasi, adalah jaga jarak menjadi faktor
yang paling signifikan dalam pencegahan penularan dan penyebaran covid-19. Namun
dalam penyelenggaraan transportasi perkotaan di wilayah megapolitan seperti
Jabodetabek, soal jaga jarak (physical
distancing) bukan urusan yang mudah.Penegakan
protokol kesehatan seperti cuci tangan, penggunaan masker, pemeriksaan suhu
tubuh, pembersihan sarana dan prasana transportasi secara rutin dengan
disinfektan relatif dapat dilaksanakan dengan baik. Paling sulit menegakkan
jaga jarak di dalam angkutan umum massal. “Diperlukan kebijakan komprehensif
antar instansi untuk mengurangi tingkat kepadatan lalu lintas di Jakarta,” ujar
nya mengakhiri.Pihak KCI Mengapresiasi
Kinerja BPTJ Menyiakan Bus JR Conn PT Kereta Commuter Indonesia (KCI)
senantiasa mengedepankan protokol kesehatan dalam memberikan layanan KRL
Jabodetabek. Saat ini PT KCI tetap mengikuti berbagai pembatasan dan protokol
yang ada terutama dari segi pembatasan penumpang, jaga jarak, dan kebersihan di
tengah volume pengguna KRL yang terus meningkat.Dalam catatan PT KCI sejak PSBB Transisi berlaku, jumlah pengguna
KRL, di era adaptasi kebiasaan baru, volume pengguna KRL sekitar 400.000 orang
per hari. Diakui oleh VP Corcomm KCI, Anne Purba, pola perjalanannya masih
terpusat pada jam-jam sibuk khusunya 06:00 - 08:00 pada pagi hari dan 17:00 -
19:00 di sore hari. Dengan konsentrasi pada jam - jam ini, kapasitas tiap
kereta sudah sangat maksimal mengingat adanya pembatasan jumlah pengguna yaitu
74 orang per kereta. “Antrean penumpang KRL di stasiun pun biasanya sudah mencapai
zona terluar di tiap-tiap stasiun yang menjadi titik keberangkatan pengguna,”
jelasnya.Untuk itu Anne menghimbau para pengguna untuk sebisa mungkin
menghindari bepergian dengan KRL di jam-jam sibuk ini. Jika harus bekerja, KCI
kembali mengajak semua pihak untuk mengikuti pembagian jam kerja secara
bertahap atau shift sesuai arahan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan
Covid-19 Nasional. “Agar para pengguna dapat terhindar dari antrean dan kepadatan yang
ada, dengan menghindari berpergian pada jam-jam sibuk. Pergerakan pengguna
secara keseluruhan juga akan lebih lancar karena terbagi secara merata dalam
beberapa jam,” jelasnya.Meskipun mulai kembali beraktivitas, Anne mengingatkan para
pemangku kepentingan khususnya operator / petugas KRL dan pengguna agar displin
mematuhi protokol kesehatan - terutama
yang tersulit menjaga jarak di masa pandemi ini sangat penting dalam mencegah
penularan Covid-19. “Pihak KCI sangat mengapresiasi kerja BPTJ dan Pemda, yang
berkenan menyiapkan layanan angkutan umum lain – bus JR Connexion guna menampung
/ mencegah luapan penumpang KRL di jam-jam padat penumpang,” ujarnya. (IS/AS)
-
Biro Komunikasi dan Informasi Publik