Rencana revisi atas satu pasal dalam UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran hingga kini masih mengundang penolakan. Bila sejauh ini kalangan pelaku usaha pelayaran nasional menjadi pihak yang lantang menolak, maka pekan ini suara penolakan berasal dari jajaran anggota dewan dan pengamat.
Rakyat Merdeka melansir penolakan anggota dewan pada Selasa (25/1) dengan mengutip pernyataan Ketua Kelompok Komisi (Kapoksi) Fraksi PPP Epyardi Asda. Dasar penolakan yang diungkapkan Epyardi bukan dikarenakan keberatan atas materi atau substansi yang terdapat dalam pasal yang akan diubah melainkan pada proses atau mekanisme atas usulan perubahan yang hanya menyangkut satu pasal. Sebab menurutnya revisi hendaknya dilakukan pada pasal yang saling berkaitan, dan bukan sebaliknya seperti yang diusulkan pemerintah yang dinilai sepenggal-sepenggal dan tidak komprehensif.
Untuk itu Epyardi menyatakan akan melobi anggota Komisi V dan Kapoksi lainnya untuk menolak revisi UU Pelayaran jika yang akan direvisi hanya Pasal 341 tersebut. Poin penting yang menurut Epyardi juga perlu disoroti dari UU tersebut adalah soal posisi operator dan regulator pelabuhan yang selama ini dipegang Pelindo mengingat perubahan yang dilakukan pemerintah.
Pendapat Epyardi ini senada dengan pernyataan yang diungkapkan Wakil Ketua Badan Musyawarah (Bamus) DPR, Pramono Anung sebelumnya, Kamis (20/1) yang menyatakan, ada sejumlah ketentuan lain dalam UU Pelayaran yang juga harus diperjelas dan dikritisi. Misalnya tentang keberadaan operator dan regulator yang saat ini masih rancu.
Selain mengutip pendapat anggota dewan, Rakyat Merdeka juga melansir pernyataan pengamat, yakni Direktur Eksekutif Indonesia Maritim Institute (IMI), Y Paonganan. Ia berpendapat dasar pemikiran yang melandasi keputusan pemerintah untuk melakukan revisi dinilai hanya akan menguntungkan pihak asing.
Sementara Bisnis Indonesia pada Kamis (27/1) juga melansir pemberitaan dengan nada yang hampir sama. Harian ini menyoroti sikap DPR yang tidak mendukung adanya revisi terhadap UU Pelayaran. Bisnis Indonesia mengutip sejumlah anggota dewan, seperti:
1. Anggota Komisi V DPR, Yosep Nasoy
2. Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKS, Abdul Hakim
Selain kedua anggota Komisi V DPR diatas yang menyuarakan penolakan, Bisnis Indonesia juga mengutip pernyataan anggota dewan yang cenderung bersikap normatif, yakni:
1. Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Demokrat, Michael Watimena
Sikap tersebut wajar mengingat Ia berasal dari partai pemerintah.
Respon negatif yang diberikan anggota dewan tersebut mengacu pada naskah akademik yang disiapkan pemerintah, yang dinilai akan mempermudah pengadaan kapal asing dan mengeliminasi asas cabotage.
Yosep Nasoy berpendapat naskah akademik pemerintah terlalu mengusik asas cabotage, padahal kebijakan nasional itu dilaksanakan dalam rangka pemberdayaan industri pelayaran. Ia berpendapat asas cabotage seharusnya menjadi harga mati karena Indonesia sudah meratifikasinya.
Sementara itu, mengacu pada kesimpulan naskah akademik yang menyatakan guna menjaga ketersediaan kapal asing untuk melayani industri migas, maka pemberlakuan asas cabotage dicabut untuk kapal-kapal tertentu, Abdul Hakim menilai usulan revisi UU Pelayaran yang diajukan pemerintah bertentangan dengan pasal 8 UU Pelayaran dan menunjukkan adanya kecenderungan pemerintah untuk melindungi kapal-kapal asing di Indonesia. Karena itu, dasar argumen pemerintah untuk mengusulkan revisi dinilai sangat lemah.
Hakim juga menyatakan FPKS secara tegas menolak usulan revisi Pasal 341 UU Pelayaran yang diajukan pemerintah kepada DPR karena dinilai kontraproduktif dengan tujuan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi dan cenderung melindungi kepentingan bisnis asing di Indonesia.
Selain anggota dewan, Bisnis Indonesia juga mengutip pernyataan sejumlah pengamat yang juga menyatakan keberatan atas rencana revisi tersebut, seperti:
1. Dosen Hukum Maritim Universitas Indonesia, Candra Motik
2. Kordinator Indonesian Cabotage Advocation Forum (INCAFO), Idris Sikumbang
Candra Motik berpendapat pemerintah seharusnya tidak merevisi UU Pelayaran dalam rangka menyelamatkan kontrak beberapa kapal asing, tetapi menegakkan aturan yang kini belum genap berusia 3 tahun. Senada dengan Candra, Idris Sikumbang menilai pasal 341a yg diusulkan sangat cacat hukum karena keberlangsungan kapal asing diperkenankan sampai dengan berakhirnya masa kontrak.
Bisnis Indonesia juga melansir pernyataan juru bicara INSA, yang sejak awal menyatakan ketidaksetujuan atas usulan revisi karena menilai masih ada opsi lain yang bisa ditempuh pemerintah untuk menyelamatkan lifting tanpa merevisi aturan. Ketua Umum INSA Johnson W Sujtiplo mengatakan revisi UU Pelayaran sama artinya dengan UU tunduk kepada kontrak, tentunya kontrak kapal offshore, padahal seharusnya kontrak itu tunduk pada UU.
Untuk itu INSA mengusulkan agar pemerintah melihat kebijakan negara lain dalam memperlakukan kapal-kapal atau peralatan offshore sebagai pembanding. Seperti Malaysia misalnya, yang menerapkan kebijakan domestic shipping license, Filipina dengan kebijakan marine permit, atau Venezuela yang memberikan kebijakan interim flag atau bendera sementara.
Rakyat Merdeka tercatat kembali mengangkat isu ini pada Jumat (28/1), dengan melansir pernyataan Ketua IMI, Y Paonganan. Ia menegaskan IMI menolak rencana revisi UU Pelayaran dan mendesak pemerintah konsisten dengan cara memberikan tekanan kepada perusahaan eksplorasi minyak untuk mewajibkan para penyewa kapal agar dalam aktivitasnya menggunakan bendera Indonesia.
Dari sejumlah opinion leader khususnya anggota dewan, yang dikutip Bisnis Indonesia dan Rakyat Merdeka, dapat diketahui dua poin penting yang menjadi alasan penolakan, pertama berkaitan dengan substansi isu, sedang yang kedua lebih mengkritisi proses revisi yang hanya menyangkut satu pasal. Alasan pertama sebangun dengan dasar penolakan yang disuarakan kalangan pelaku usaha, sementara alasan keduanya menjadi semacam penegasan atas apa yang menjadi kekhawatiran pengusaha selama ini. Bahwa usulan revisi atas satu pasal pada akhirnya akan membuka peluang bagi revisi atas pasal-pasal lain.
Respon negatif yang ditunjukkan sebagian anggota dewan, baik yang berasal dari partai oposisi maupun partai koalisi, sedikit banyak bisa menggambarkan proses dan dinamika yang akan terjadi di parlemen. Meskipun DPR didominasi oleh partai pemerintah (Demokrat), namun jika melihat komposisi suara penolakan yang muncul, maka bisa dipastikan dinamika yang terjadi akan cenderung berliku. (JAB)