Langkah PT KA menaikkan tarif bagi KA kelas ekonomi pada 8 Desember yang disusul dengan keputusan pemerintah membatalkan kenaikan tarif tersebut dan kembali menunda penaikan tarif hingga batas waktu yang belum ditentukan mengundang respon negatif sejumlah kalangan. Sentimen negatif yang muncul bisa dibedakan dalam dua kategori, yang pertama, menolak kenaikan tarif sedang yang kedua, mengkritisi penundaan kenaikan tarif.

Penolakan terhadap kenaikan tarif disuarakan oleh konsumen dan pengamat. Terdapat dua poin penting yang menjadi dasar penolakan, yakni:
1. Kenaikan tarif dinilai tidak rasional karena tidak dibarengi dengan dikeluarkannya standar pelayanan minimum (SPM) kereta api. Argumen ini disampaikan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan konsumen yang tergabung dalam KRL Mania.

2. Belum adanya kesepakatan atau kesamaan persepsi atas PSO, diantara pemerintah, (dalam hal ini Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, dan Kemenhub) sementara disisi lain persoalan PSO ini yang dijadikan alasan kenaikan tarif. Argumen ini diutarakan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).

Untuk itu Kementerian Perhubungan diminta segera menetapkan standar pelayanan minimal yang diamanatkan dalam undang-undang dan membangun persamaan persepsi tentang PSO terlebih dulu. Sementara opinion leader yang menyuarakan penolakan adalah:
1. Pengurus harian YLKI, Tulus Abadi
2. Koordinator KRL Mania, Agus Imansyah
3. Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit

Soal belum adanya SPM ini juga yang menjadi dasar keberatan peneliti perkeretaapian dari LIPI, Taufik Hidayat dan Ketua Forum Masyarakat Perkeretaapian dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno atas kenaikan tarif yang mengemuka di media pekan sebelumnya.

Di sisi lain keputusan pemerintah untuk membatalkan kenaikan tarif kereta ekonomi setelah sempat berlaku selama satu hari dan kembali menunda penaikan tarif, tidak dengan serta merta menyurutkan atau menghentikan respon negatif, sebaliknya kritik tetap mengemuka. Bahkan bisa dikatakan kritik semakin meluas, terutama dari segi materi yang menyangkut kebijakan pemerintah secara umum.

Sebagian dari kritik tersebut mempertanyakan langkah konkret yang akan diambil pemerintah sebagai tindak lanjut dari keputusan penundaan tersebut, apakah berupa penambahan subsidi, pembelian kereta baru, atau langkah yang lainnya. Tercatat dua opinion leader memberikan pernyataan dari sudut pandang ini, yakni:
1. Ahli transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno
2. Pemerhati transportasi, Rudy Thehamihardja

Bahkan keputusan pemerintah tersebut dinilai sebagai bagian dari pencitraan apabila tidak ada tindakan radikal yang diambil pemerintah dalam beberapa bulan kedepan guna meningkatkan kereta ekonomi.

Selain itu keputusan penundaan tarif tersebut juga dinilai menunjukkan lemahnya koordinasi pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Kritik ini diutarakan oleh tiga opinion leader, yakni:
1. Pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago
2. Anggota Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo
3. Anggota Komisi V DPR HM Bakrie

Andrinof menilai lemahnya perencanaan pemerintah menjadi penyebab kebijakan yang belum matang tersebut telanjur diputuskan, sehingga menghasilkan sikap plin-plan. Sementara Sudaryatmo berpendapat pembatalan penaikan tarif KA ekonomi secara mendadak mencerminkan buruknya proses manajemen kebijakan publik pemerintah. Menurut dia, pembatalan tersebut membuat masyarakat Indonesia semakin kesulitan mendapatkan pelayanan perkeretaapian yang nyaman dan aman dalam 5 atau 10 tahun ke depan karena kuatnya tekanan politik.

Sementara HM Bakrie menilai dibatalkannya kenaikan tarif KA kelas ekonomi oleh pemerintah memperlihatkan tidak adanya ketelitian PT KAI dalam mengkaji dampak dari kenaikan tarif tersebut. Kejadian ini juga semakin memperlihatkan buruknya koordinasi antara Kemenhub dengan PT KAI.

Tidak berbeda jauh dengan kedua opinion leader tersebut, peneliti perkeretaapian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Taufik Hidayat juga menilai keputusan penundaan tersebut sebagai sikap pemerintah yang tidak matang dalam merencanakan pembangunan transportasi massal.

Taufik berpendapat jika memiliki rencana matang, seharusnya ketika diumumkan penundaan tarif, maka secara bersamaan diumumkan kenaikan dana subsidi atau public service obligation (PSO). Taufik juga bersikeras supaya kenaikan tarif ditunda selama standar pelayanan minimum belum diberlakukan. Namun tanpa tambahan dana subsidi, mustahil bisa terwujud pelayanan yang optimal.

Kritik atas adanya kepentingan politis dan pencitraan dalam kebijakan pembatalan kenaikan tarif KA ekonomi juga dilontarkan pengamat transportasi, Darmaningtyas. Bahkan menurutnya tarik-menarik kepentingan antara ekonomi (PT KA) dan politik (pemerintah) akan terus terjadi karena keduanya mempunyai titik pandang yang berbeda.

Sementara pendapat agak berbeda disampaikan pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio yang berpendapat rencana menaikkan tarif KA ekonomi melanggar Undang-undang No. 23/2007 tentang Perkeretaapian. Menurutnya, jika subsidi yang diberikan pemerintah lebih rendah dari perhitungan yang dibuat PT KAI, berarti tidak boleh ada kenaikan tarif oleh operator. Namun, sesuai UU, pemerintah harus memberikan tambahan subsidi atau PT KAI mengurangi frekuensi perjalanan agar dana subsidi mencukupi.

Dari berbagai respon yang muncul, secara garis besar sorotan negatif mengarah pada persoalan substansi dan masalah koordinasi. Isu ini menunjukkan koordinasi memegang peran kunci dalam urusan kebijakan yang bersifat lintas sektoral.

Mencermati dinamika isu yang berkembang selama sepekan terakhir, maka kedepan isu soal kenaikan tarif KA ekonomi ini akan berkurang. Meskipun demikian sentimen negatif masih dimungkinkan untuk kembali muncul terutama jika terdapat faktor pemicu, seperti misalnya gangguan atau kerusakan sarana dan prasarana perkeretaapian. (JAB)