Kecelakaan yang terjadi secara beruntun dalam beberapa waktu terakhir mengundang respon negatif dari sejumlah kalangan. Tanggapan negatif tersebut masih berlanjut hingga pekan ini meski intensitasnya tidak sebanyak pekan sebelumnya. Kali ini sorotan lebih mengarah pada program roadmap to zero accident yang dinilai hanya sebatas wacana.

Tercatat dua media melansir isu ini, yakni Jurnal Nasional (Sabtu, 5/2) dan Media Indonesia (Kamis, 10/2). Jurnal Nasional melansir editorial yang menilai kecelakaan transportasi tidak hanya terkait dengan persoalan anggaran, namun juga terkait tata perundang-undangan, birokrasi, kelembagaan, dan minimnya sarana dan prasarana.

Jurnal Nasional menilai tragedi yang terus terjadi membuktikan belum ada kesungguhan menjalankan paket Undang-Undang Transportasi khususnya amanat UU No 23/2007 tentang perkeretaapian. Meski sudah diamanatkan roadmap to zero accident namun belum ada aksi nyata. Untuk itu harian ini mendorong Kemenhub lebih konkret pada implementasi sistem manajemen keselamatan transportasi.

Sementara Media Indonesia mengangkat isu ini dengan mengutip pernyataan dua opinion leader dari pengamat dan anggota dewan, yakni:
1. Sekretaris Masyarakat Pemerhati Pelayaran, Pelabuhan, dan Lingkungan Maritim (Mappel), Maman Permana.
2. Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS, Abdul Hakim.

Maman berpendapat dua insiden kebakaran yang menimpa kapal ro-ro, KM Laut Teduh II pada 28 Januari lalu dan kapal ro-ro KM Selvia pada Selasa (8/2) menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal menghadirkan keselamatan transportasi bagi masyarakat. Program roadmap to zero accident yang dicanangkan pemerintah hanya sebatas semboyan dan tidak ada langkah konkret. Maman menilai, baik pemerintah sebagai regulator maupun pengusaha sebagai operator, tidak konsisten dalam menegakkan aturan terkait keselamatan transportasi.

Tidak berbeda jauh dengan Maman, Hakim menilai, terjadinya dua peristiwa itu dalam kurun waktu kurang dari dua minggu menunjukkan adanya ketidakkonsistenan pemerintah dalam menerapkan UU No 17/2008 tentang Pelayaran. Hakim menyatakan pihaknya sudah turun ke lapangan untuk melihat dua kasus itu dan menemukan adanya penanganan berbeda antara Pelabuhan Merak dan Tanjung Priok. Kondisi kelembagaan syahbandar di kedua lokasi itu berbeda.

Untuk itu pihaknya mendesak Kemenhub untuk segera mereformasi kelembagaan tersebut agar dapat menjalankan wewenangnya sesuai amanat UU Pelayaran. Reformasi kelembagaan itu sendiri menurut Hakim seharusnya sudah diselesaikan pada 2009. Namun hingga kini pemerintah baru melaksanakan di empat pelabuhan.

Masih terkait respon atas insiden di sektor transportasi, Seputar Indonesia juga tercatat melansir pemberitaan serupa dengan mengutip pernyataan pengamat dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna. Ia menyoroti sikap yang ditunjukkan baik pemerintah maupun PT KA yang saling menuding dan cenderung lepas tangan atas insiden yang terjadi sehingga menjadi tidak jelas bagaimana penyelesaiannya. Dan pada akhirnya merugikan banyak pihak, khususnya para pengguna jasa transportasi yang menjadi korban.

Yayat menilai kecelakaan transportasi yang berulang tersebut disebabkan lemahnya faktor pemantauan dan pengawasan pemerintah. Namun, sepertinya tidak terlihat adanya upaya pemerintah untuk memperbaiki hal tersebut. Ia berpendapat Yang harusnya diperbaiki setelah terjadi kecelakaan transportasi adalah kinerja dan standar operasional.

Poin penting yang disampaikan opinion leader dan media terkait insiden yang terjadi adalah perlunya langkah konkret yang harus segera diambil pemerintah, baik menyangkut masalah anggaran, pengawasan, serta tindak lanjut atas hasil kajian dan rekomendasi yang diberikan KNKT. (JAB)