Berita tentang polemik pembelian pesawat dari China oleh Merpati telah menjadi berita yang terkait dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang paling banyak dimuat di media massa nasional sepanjang pekan lalu. Dominasi berita tentang polemik pembelian pesawat oleh Merpati di media massa nasional mencapai 30% dari total berita tentang Kemenhub dan yang terkait dengan Kemenhub yang muncul sepanjang pekan lalu.

Maskapai penerbangan pelat merah, PT Merpati Nusantara Airlines (PT MNA), memborong 40 pesawat jet 100 seater tipe ARJ21-700 dari pabrikan asal China, AVIC International Holding Corporation dan Commercial Aircraft Corporation of China Ltd. (COMAC). Dengan asumsi  harga  pesawat  US$ 30 juta per unit, total kebutuhan dana untuk pembelian pesawat itu sekitar US$ 1,2 miliar.  Harga pembelian  pesawat tersebut  lebih murah 15% dibanding pesawat sejenis dari pabrikan Embraer (Brasil) atau Bombardier (Kanada), apalagi Boeing (AS) dan Airbus (Prancis/Jerman). Padahal, Merpati masih memiliki total utang sekitar Rp 5,4 triliun. Rinciannya, utang senilai Rp 3,4 triliun dalam bentuk SLA (subsidiary loan agreement) dari pemerintah yang bisa dihitung sebagai aset karena SLA untuk pembelian pesawat yang nantinya menjadi milik PT MNA, dan Rp 2 triliun berupa utang kepada sejumlah BUMN dan para lessor (perusahaan penyewaan) pesawat.

Direktur Utama PT MNA Sardjono Jhony Tjitrokusumo mengungkapkan, pembelian 40 pesawat jet ARJ 21-700 ini baru tahap penandatangan memorandum of understanding (MoU) dengan pabrikan AVIC dan COMAC dan juga PT Dirgantara Indonesia (PT DI) dalam ajang Singapore Airshow 2012 pada 14 Februari 2012. Penandatangan MoU akan ditingkatkan menjadi kontrak pembelian pada tiga bulan ke depan setelah ada kepastian pembiayaan dari lessor. Jika terealisasi, pesawat-pesawat  itu akan datang pada periode 2013-2018. PT DI akan menggarap  40% pembuatan komponen pesawat tersebut.

Meski didukung Menteri BUMN Dahlan Iskan, keputusan Merpati membeli pesawat China  bisa memicu suara miring di masyarakat. Penyebabnya,  pertama,  produk  buatan China  telanjur dianggap memiliki kualitas kurang bagus, dan kedua karena Merpati masih memiliki utang yang cukup besar.

Persepsi bahwa pesawat buatan China kualitasnya meragukan tentu bisa mengancam kelangsungan bisnis Merpati. Di sisi lain, anggapan itu juga akan menjadikan Kementerian Perhubungan (Kemenhub)  sebagai “sasaran tembak”,  mampukah Kemenhub  menjamin pesawat-pesawat China itu layak terbang?

Untuk itu, Kemenhub perlu secara aktif menginformasikan bahwa kualifikasi dan standar pembuatan  pesawat  di seluruh dunia berlaku umum. Pabrikan pesawat China seperti  AVIC International Holding Corporation dan Commercial Aircraft Corporation of China Ltd (COMAC) tentu juga menerapkan standar dan kualifikasi yang digunakan negara-negara maju. Rekam jejak (track record) AVIC International Holding Corporation dan Commercial Aircraft Corporation of China Ltd. (COMAC) juga perlu diinformasikan kepada masyarakat. Selain itu, perlu disosialisasikan bahwa Kemenhub memberlakukan standardisasi dan kontrol yang ketat atas kelaikan pesawat yang beroperasi di Indonesia. Dengan demikian,  pesawat “abal-abal” tak bakalan bisa beroperasi di Indonesia.

Kemenhub perlu memastikan apa saja pertimbangan manajemen Merpati membeli pesawat dari China. Manajemen Merpati mengungkapkan, Merpati bersedia membeli pesawat-pesawat buatan China tersebut karena selain terbukti sangat baik kinerjanya, pabrikan China itu pun mau menyerahkan 40% pembuatan komponen pesawatnya ke PT Dirgantara Indonesia (PT DI). Pembiayaan pesawat itu juga melalui skema financial lease sehingga tidak mempengaruhi upaya Merpati melunasi utang-utangnya. Selain itu,  meski dirakit di China, mesin pesawat tersebut adalah buatan Eropa dan AS. Hal lain yang jadi pertimbangan, Merpati sudah melakukan penjajakan pembelian dengan pabrikan lain, tapi  hanya pabrikan China tersebut yang bersedia menerima skim 40% pembuatan komponan logam pesawatnya  di PT DI. Kecuali itu, jika memilih pesawat Boeing atau Airbus seperti yang dilakukan banyak maskapai nasional,  Merpati harus antri cukup lama, kemungkinan baru pada tahun 2020 pesanan Merpati bisa dipenuhi. Padahal, untuk bisa kembali berjaya, Merpati harus segera menambah pesawat yang dioperasikannya. Sedianya, pesawat itu akan datang pada periode 2013-2018, yakni empat pesawat pada tahun 2013, delapan pesawat pada tahun 2014, dan sisanya datang hingga akhir tahun 2018.

Dengan  menyerahkan 40% pembuatan komponen pesawatnya ke  PT  DI,  berarti  program pembelian pesawat China oleh Merpati akan turut membantu PT DI dan membangkitkan industri pesawat terbang di dalam negeri. Skim tersebut bisa ditiru maskapai penerbangan lain. (JAB)