Seperti analisa yang dipaparkan pekan lalu, penolakan kalangan pelaku usaha atas rencana pemerintah merevisi UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran kembali muncul pekan ini. Media berbasis ekonomi, Bisnis Indonesia kembali menjadi satu-satunya media yang melansir isu ini.

Spokesperson dari INSA masih aktif menyuarakan penolakan, selain itu sejumlah opinion leader diluar INSA juga tercatat menyatakan keberatan atas rencana revisi tersebut. Sementara isu yang bergulir pekan ini juga diwarnai sejumlah argumen baru yang dijadikan alasan atas penolakan revisi tersebut.

Seperti argumen soal hilangnya potensi penerimaan pajak penghasilan (PPh) badan sebesar 1,2% jika revisi atas UU Pelayaran dilakukan. Hal ini mengingat kapal asing yang berganti bendera merah putih memberi kontribusi kepada negara melalui PPh badan 1,2% dan pajak ABK. Pendapat ini disampaikan Ketua Bidang Pengembangan Industri Maritim INSA Ibnu Wibowo.

Sementara itu penolakan juga disampaikan Ketua Komite Tetap Perhubungan Laut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Carmelita Hartoto, yang berpendapat agar masalah cabotage yang dinilai mengancam lifting minyak tidak terlalu dibesar-besarkan. Menurutnya pemerintah dan operator pelayaran hanya perlu mencarikan solusi agar kapal kelompok C di sektor offshore bisa memenuhi regulasi UU Pelayaran tanpa merevisi ketentuan yang sudah ada.

Di sisi lain Indonesian Cabotage Advocation Forum (INCAFO) melalui koordinatornya, Idris Sikumbang, menghimbau pemerintah untuk menempuh kebijakan nasionalisasi kapal asing dengan membentuk usaha patungan daripada melakukan revisi UU Pelayaran. Hal ini mengingat pemerintah sudah memberikan waktu yang cukup kepada seluruh kapal berbendera asing di Indonesia untuk beralih menggunakan bendera Merah Putih. Sehingga jika sampai pada tenggat yang diberikan pemerintah pada 7 Mei 2011 mendatang masih ada kapal yang berbendara asing, maka harus dinasionalisasi.

Usulan ini mendapat respon positif dari Anggota Komisi V DPR Abdul Hakim yang menyatakan nasionalisasi kapal atau peralatan terapung offshore dapat dijadikan pilihan setelah dispensasi yang diberikan pemerintan tidak dimanfaatkan kontraktor migas untuk menggunakan bendera Merah Putih. Abdul Hakim juga menyatakan penolakan terhadap usulan revisi UU Pelayaran dan meminta pemerintah mencari jalan lain guna menyelamatkan lifting minyak yang diklaim dapat terancam karena cabotage. Ia juga mengaku hingga kini belum ada draf rancangan revisi UU Pelayaran yang diajukan pemerintah ke DPR.

Sementara Sekretaris Masyarakat Pemerhati Pelayaran, Pelabuhan, dan Lingkungan Maritim (Mappel) Maman Permana memberikan tanggapan berbeda. Ia menilai usulan nasionalisasi kapal asing setelah 7 Mei 2011 termasuk upaya penegakan hukum yang berpotensi melanggar hukum mengingat UU Pelayaran tidak memuat satu pasal pun tentang nasionalisasi. Untuk itu, pihaknya lebih memilih agar pemerintah menegakkan UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.

Sementara itu Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan INSA, Paulis A Djohan menyoroti sikap pemerintah yang dinilai menutup mata atas aset dan kemampuan orang Indonesia dalam mengoperasikan kapal seismik. Ia mengatakan BPPT, LIPI maupun PPGL ESDM seharusnya dikembangkan pemerintah untuk mengoperasikan peralatan seismik 3D di atas kapal.

Mencermati dinamika isu yang berkembang, sejauh ini hanya Bisnis Indonesia yang konsisten menyoroti isu ini, namun kedepan tidak tertutup kemungkinan media yang lain terutama media berbasis ekonomi juga ikut melansir isu ini, mengingat penolakan semakin meluas dan tak hanya berasal dari satu lembaga. Selain itu yang juga perlu dicermati adalah respon negatif yang diberikan jajaran anggota dewan. Disisi lain kalangan pelaku usaha yang selama ini menyuarakan penolakan dimungkinkan untuk memperluas desakan dengan memberikan feeding isu pada media. (JAB)