Pemprov DKI Jakarta berniat memberlakukan pembatasan volume kendaraan pribadi di jalan berdasarkan pelat nomor ganjil dan genap mulai Maret 2013. Aturan tersebut bertujuan mengurangi kemacetan di kota Jakarta yang sudah akut.
Jika disetujui DPRD DKI, aturan itu akan diterapkan pada setiap hari kerja pada pukul 06.00 - 20.00 WIB. Kebijakan ini akan berlaku pada fase wilayah yang dilalui Bus Rapid Transit (BRT) atau Bus Trans Jakarta dan Koridor Utama di dalam Lingkar Dalam Kota.
Pemprov DKI yakin, selain akan mampu mengurangi kemacetan, aturan tersebut akan efektif mengurangi konsumsi BBM, terutama BBM bersubsidi, di kota Jakarta dan sekitarnya. Alasannya, masyarakat pemilik kendaraan pribadi, terutama yang punya satu atau beberapa mobil dengan pelat nomor sama (ganjil/genap, salah satu), akan pindah ke angkutan umum. Terlebih, aturan ini pun juga akan diterapkan bagi sepeda motor.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) perlu mendukung program ini dengan ikut menyosialisasikan atau mewacanakan hal ini. Sosialisasi mengenai wacana ini dapat dilakukan dengan menjelaskan manfaat yang akan diperoleh jika program pembatasan volume kendaraan pribadi berdasarkan pelat nomor ganjil dan genap diberlakukan. Dari sisi ekonomi, berapa miliar atau triliun rupiah yang bisa dihemat jika program tersebut diberlakukan, baik akibat kemacetan yang berkurang maupun dari penghematan konsumsi BBM, terutama BBM bersubsidi? Bagaimana pula dari sisi non-ekonomi (seperti kesehatan akibat berkurangnya stress, dan dampak terhadap lingkungan akibat menurunnya emisi gas buang, dll). Berapa persen kemacetan bisa dikurangi? Berapa juta liter BBM yang bisa dihemat per hari, per minggu, atau per bulannya? Bagaimana kalkulasi dan asumsi-asumsinya?
Namun demikian, program tersebut tidak akan berhasil jika tidak diterapkan secara komprehensif dengan diikuti program lainnya, seperti penambahan jumlah bus Transjakarta, penambahan koridor busway, penambahan feeder, penegakan hukum (law enforcement), dan sterilisasi jalur busway. Jika angkutan umum tidak ditambah dan kualitas pelayanannya tidak meningkat, pemilik kendaraan pribadi tetap tidak akan mau menggunakan angkutan umum. Law enforcement oleh Polri juga mutlak diperlukan. Hal ini dikarenakan pembatasan volume kendaraan pribadi berdasarkan pelat nomor ganjil dan genap bisa memicu praktik pemalsuan pelat nomor.
Pemerintah pusat selama ini sering mewacanakan berbagai program pembatasan bagi mobil pribadi untuk mengurangi konsumsi BBM bersubsidi, dari mulai pembatasan berdasarkan kapasitas mesin (cc), tahun pembuatan, pajak progresif, pelat nomor, hingga pembatasan pasokan premium dan solar di SPBU kawasan elite. Tapi sampai sekarang, wacana itu belum terlihat hasilnya. Untuk itu, perlu bahwa dalam implementasi kebijakan di lapangan, Pemerintah Daerah (pemda) menjadi ujung tombak karena kewenangannya memang ada di pemda. Pemerintah pusat sendiri terus mendorong daerah untuk menerapkan kebijakan yang pro publik di sektor transportasi. (JAB)