Pemerintah berencana  membatasi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis  premium, menyusul batalnya penaikan harga pada awal April lalu. Berdasarkan wacana yang saat ini muncul,  pembatasan akan dilakukan melalui pelarangan terhadap mobil  pribadi berkapasitas mesin (cc) tertentu untuk mengonsumsi premium. 

Setidaknya ada dua opsi yang disiapkan pemerintah. Pertama,   larangan mengonsumsi premium akan diberlakukan terhadap mobil   pribadi ber-cc 1.500  ke atas. Kedua,  larangan mengonsumsi premium akan diberlakukan terhadap mobil   pribadi ber-cc  2.000 ke atas.  Aturan itu akan diberlakukan Mei mendatang. Setelah itu, larangan  serupa akan diberlakukan terhadap konsumsi solar.

Aturan pengendalian konsumsi premium yang akan diterbitkan  ini merupakan turunan dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis BBM Tertentu. Perpres ini  hanya merinci siapa saja yang berhak menggunakan BBM bersubsidi, namun tidak  melarang jenis kendaraan tertentu untuk mengonsumsi premium.

Pembatasan konsumsi premium mutlak diperlukan. Jika tidak, volume konsumsi BBM bersubsidi tahun ini bisa menembus 47 juta kilo liter (kl), jauh melampaui kuota sebanyak 40 juta kl. Saat ini, 53% BBM bersubsidi dikonsumsi mobil pribadi dan 40% oleh sepeda motor. Sedangkan  Jawa-Bali mengkonsumsi 65% BBM bersubsidi secara nasional.

Yang saat ini memicu perdebatan adalah mobil pribadi ber-cc berapa yang layak dikenai larangan mengonsumsi premium, apakah mobil ber-cc di atas  1.500 atau di atas 2.000. Dan apakah ada korelasi langsung antara mobil mewah dan mobil ber-cc besar? Perlu dijelaskan mengenai pengenaan aturan tersebut kepada mobil-mobil yang ada.

Namun perlu diperhatikan bahwa rencana  pembatasan konsumsi premium terhadap mobil pribadi berdasarkan cc tertentu juga banyak dikritik sejumlah kalangan, baik kalangan agen tunggal pemegang merek (ATPM), kalangan pengamat otomotif, maupun kalangan pemilik  mobil. Menurut mereka, aturan itu tidak  fair, sebab banyak mobil mewah justru ber-cc kecil. Sebaliknya, tak sedikit mobil ber-cc besar  adalah mobil lama yang sangat dibutuhkan  masyarakat kelas menengah ke bawah. 

Saat ini muncul usulan agar pembatasan konsumsi premium dilakukan berdasarkan teknologi mobil atau  tahun pembuatan mobil. Berdasarkan usulan tersebut, larangan penggunaan premium berdasarkan teknologi  mobil (tahun pembuatan) akan lebih efektif dan fair karena dilakukan secara alamiah, di mana pabrikan-pabrikan otomotif memang menganjurkan  mobil-mobil keluaran baru menggunakan  bensin beroktan  tinggi di atas  oktan 91 (setingkat pertamax). Jika menggunakan bensin beroktan rendah (oktan 88), mesin mobil keluaran baru akan cepat rusak dan boros, karena pembakarannya tidak sempurna. Wacana ini perlu mendapatkan perhatian dan tindak lanjut penerapannya.

Kementerian Perhubungan sebaiknya juga merespons kesiapan Pertamina.  Sebagai  ujung tombak di lapangan, Pertamina  menyatakan bahwa  membatasi pemakaian BBM bersubsidi bagi kendaraan pribadi membutuhkan waktu 2-3 bulan untuk persiapan. Jika aturannya diterbitkan Mei, Pertamina   baru bisa mengimplementasikannya pada  Juli-Agustus. Padahal, pemerintah menghendaki pembatasan dilakukan mulai Mei nanti.  Perlu usulan yang solutif mengenai hal ini terutama terkait dengan dampak yang akan timbul jika Menhub/Dirjen Pertamina  tidak siap menjalankan kebijakan itu sesuai jadwal. Program konversi bahan bakar kendaraan dari BBM ke bahan bakar gas (BBG) mungkin dapat dikaitkan dengan usul tersebut. (JAB)