Isu soal penutupan/pengokupasian rel mengemuka ke media pada Sabtu (19/2). Isu ini diangkat Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) yang mengecam penutupan, bahkan pengokupasian rel, dengan dalih pelebaran jalan atau pembangunan jembatan layang, mengingat hal itu bertentangan dengan rencana induk perkeretaapian nasional yang justru ingin menghidupkan kembali jalur mati. MTI juga menuding Direktorat Jenderal Perkeretaapian, sebagai pemilik prasarana jalan rel, tidak menjaga aset tanahnya. Padahal, sulit membebaskan lahan jika ingin kembali membangun rel.
Ketua Forum Perkeretaapian MTI, Djoko Setijowarno mencontohkan kasus di Surabaya, dimana pembangunan fondasi jalan layang hampir ‘menggusur’ jalur trem, untungnya Daerah Operasi VIII PT Kereta Api Indonesia menghentikan pembangunan itu. Djoko juga mengingatkan, pelebaran jalan Yogyakarta-Muntilan-Magelang telah menggusur lahan rel. Demikian pula, ruas antara Semarang-Demak.
Selain Djoko ikut pula berbicara Ketua Umum Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Aditya Dwi Laksana, yang mengingatkan bahwa panjang rel terus mengalami penyusutan, dari 8.900 kilometer kini menjadi 4.700 kilometer. Ia juga mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap sektor perkeretaapian. Bahkan pengurus IRPS, Anzikriadi menilai komitmen pemerintah terhadap sektor perkeretaapian memang rendah. Ia membandingkan dengan sejumlah negara lain yang menginvestasikan dana cukup besar bagi sektor perkeretaapian, seperti China dan Amerika.
Isu ini dilansir Kompas, dan harian ini menjadi satu-satunya media yang melansir isu tersebut. Berdasarkan rekam jejak monitoring pemberitaan media, MTI tercatat memiliki perhatian yang cukup besar terhadap sektor perkeretaapian dan cukup kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah di sektor ini. Dan bukan sekali ini MTI mengeluarkan sorotan negatif atas kebijakan pemerintah yang dinilai menganaktirikan sektor perkeretaapian dengan lebih memprioritaskan pembangunan jalan raya.
Sekadar mengingatkan pada pekan terakhir bulan Januari lalu MTI menyoroti masalah dana IMO, dan persoalan anggaran sarana dan prasarana KA kembali diangkat pada awal bulan Februari. Mengingat sektor perkeretaapian sedang mendapat banyak sorotan akhir-akhir ini terkait sejumlah insiden dan kecelakaan yang terjadi, maka isu sejenis bisa kembali muncul ke depan.
Persoalan ini sebaiknya tidak diselesaikan hanya dengan memberikan respon yang bersifat normatif, namun hendaknya juga diikuti dengan langkah yang lebih substansial berupa tindakan nyata keberpihakan pemerintah terhadap sektor perkeretaapian. Untuk itu koordinasi lintas sektoral menjadi penting mengingat persoalan ini melibatkan sejumlah pemangku kepentingan terkait, sehingga tercipta kesamaan pemahaman dan kebijakan yang sinergis. (JAB)