Jika tidak ada aral melintang, Presiden SBY pada akhir April ini akan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang konversi bahan bakar kendaraan dari bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG). Beleid tersebut akan diterbitkan bersamaan dengan peraturan dan pencanangan  program  hemat energi.

Perpres tersebut akan memperjelas tugas dan tanggung jawab tiap kementerian, sehingga program konversi BBM ke BBG bisa diimplementasikan. Kementerian ESDM bertugas menyediakan pasokan gas untuk BBG beserta infrastruktur gas. Sedangkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) diberi tugas membangun bengkel kendaraan dan menyediakan alat konversi (converter kit). Adapun Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bertanggung menyusun persyaratan teknis untuk kendaraan berbahan bakar gas yang layak jalan. Setelah perpres terbit, Pertamina bisa menandatangani perjanjian jual beli gas (PJBG) dengan pemasok gas tersebut.

Kementerian Perhubungan memberi dukungan penuh terhadap program tersebut. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya penyusunan persyaratan teknis untuk kendaraan berbahan bakar gas yang layak jalan, sebagaimana digariskan dalam Perpres tersebut.

Kemenhub optimis bahwa  kali ini program konversi BBM ke BBG untuk kendaraan akan sukses. Program serupa  yang dijalankan sejak 1980-an selalu terhenti karena tidak ada penanggung jawabnya. Melalui perpres yang baru, pemerintah akan menunjuk  Pertamina  untuk memimpin program konversi, sehingga  pertanggung jawabannya jelas. Dengan adanya  Perpres konversi BBG tersebut, pemerintah akan tetap menjalankan konversi BBG walaupun nantinya ada kenaikan harga atau pembatasan konsumsi BBM bersubsidi.

Pasokan gas untuk program konversi BBG kali ini lebih terjamin. Kementerian ESDM menyatakan,  pasokan gas untuk BBG tahun ini untuk Jawa-Bali  mencapai 32,8 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/mmscfd). Pasokan ini terbagi dua untuk Jakarta sebesar 26,1 mmscfd dan Jawa Timur 6,7 mmscfd. Pasokan untuk Jakarta dan sekitarnya berasal dari Pertamina EP sebesar 5,1 mmscfd, PT PGN (Persero) 7 mmscfd, Medco E&P Indonesia 2 mmscfd, PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) 3 mmscfd, CNOOC South East Sumatra 2 mmscfd, ConocoPhilips Blok Koridor 5 mmscfd, dan Bina Bangun Wibawa Mukti. Sedangkan  pasokan untuk Jawa Timur disediakan cadangan gas  50 mmscfd oleh PT Kangean Energy mulai Mei 2012. Pasokan disesuaikan dengan besaran kebutuhan.

Pemerintah   akan menanggung pembangunan infrastruktur BBG dengan dana  sebesar Rp 2,1 triliun. Dana tersebut akan digunakan untuk membangun 54 stasiun pengisian compressed natural gas (CNG) dan 108 stasiun pengisian liquefied gas for vehicle (LGV) di wilayah Jawa dan Bali. Dalam APBN 2012, pemerintah sebenarnya sudah menganggarkan dana sebesar Rp 200 miliar. Tetapi karena dana tersebut hanya cukup untuk membangun tiga SPBG baru, pemerintah meminta tambahan dana dalam APBN-P 2012. Dalam APBN-P 2012, pemerintah menganggarkan dana  Rp 964 miliar untuk konversi ke BBG. Dana tersebut masing-masing Rp 300 miliar untuk biaya pengawasan BBM bersubsidi, Rp 200 miliar untuk SPBG,  sisanya untuk pengadaaan converter kit  dan pembangunan bengkel. Tahun ini, pemerintah akan menyediakan converter kit CNG sebanyak 11 ribu unit dan LGV 14 ribu unit, di mana harga per unitnya berkisar Rp 15 juta.

Program konversi energi dari BBM ke BBG mutlak harus dilakukan agar masyarakat Indonesia terhindar dari “paceklik” BBM, agar APBN bisa tetap sehat, dan agar perekonomian  nasional selamat. Program konversi BBM ke BBG juga harus sukses demi ketersediaan energi bagi generasi mendatang  serta demi lingkungan yang bersih dan sehat.  

Selama ini,  program konversi  BBM ke BBG terhambat akibat  minimnya partisipasi investor swasta. Mereka tidak mau berinvestasi  karena harga BBG tidak mencapai skala keekonomian dan tidak profitable. Akibat rendahnya harga BBG, Pertamina juga enggan mendanai pembangunan SPBG.  Pengembangan BBG akan lebih mudah jika harganya  direvisi. Harga yang ekonomis akan mendorong minat pengusaha menanamkan modalnya untuk membangun  infrastruktur BBG. Namun,  untuk pengembangan awal, penambahan infrastruktur ditanggung  pemerintah. Untuk itu, Kemenhub perlu memberikan dukungan terhadap  rencana penaikan   harga  BBG dari  Rp 3.100 per liter setara premium (lsp) menjadi Rp 4.100 per lsp sebagaimana dikehendaki  Pertamina  dan pelaku usaha.

Data-data faktual tentang  benefit yang bisa diperoleh bangsa Indonesia dari program penghematan  energi di sektor transportasi, data hasil kajian/riset Kemenhub tentang langkah apa saja yang bisa dilakukan untuk menghemat  energi di sektor transportasi, serta nilai rupiah dari hasil penghematan energi di sektor transportasi dapat disampaikan kepada masyarakat untuk lebih meyakinkan.

Selanjutnya, terkait dengan kelanjutan rencana pemberian  insentif bagi angkutan umum yang bersedia melakukan migrasi ke BBG, berdasarkan informasi selama ini,  untuk tahap awal sebanyak 325 ribu unit angkutan umum atau 50% dari total angkutan umum di Indonesia siap melakukan program migrasi tersebut dengan insetif per angkutan umum Rp 15 juta atau total dana yang akan dialokasikan untuk keperluan itu sekitar Rp 4,87 triliun. (JAB)