(Canberra, 7/2/2013) Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan dan Menteri Infrastruktur dan Transportasi Australia, Antony Albanese menandatangani Persetujuan Pelayanan Angkutan Udara (Air Service Agreement) Indonesia - Australia, Kamis 7 Januari 2013 bertempat di Gedung Parlemen Australia, Canberra, Australia.
Selain Persetujuan Pelayanan Angkutan Udara, kedua menteri transportasi juga menandatangi Annex II dari Memorandum of Understanding yaitu Arrangement Between The Minisry of Transportation of the Republic of Indonesia and the Department of Infrastrcture and Transport of Australia on Transport Security Cooperation. Persetujuan Hubungan Udara Indonesia - Australia merupakan landasan hukum dalam pelaksanaan perjanjian hubungan antara kedua negara yang dituangkan dalam perjanjian teknis yang mengatur secara rinci kapasitas hak angkut, frekuensi dan tipe pesawat maskapai penerbangan masing-masing negara. Persetujuan Pelayanan Angkutan Udara Indonesia pertama kali ditandatangani tanggal 7 Maret 1969.
"Telah banyak perkembangan di angkutan udara antara Indonesia dan Australia, jumlah penumpang terus semakin meningkat, oleh karena itu Persetujuan Pelayanan Udara sangat perlu direvisi oleh kedua negara" demikian dijelaskan Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan seusai penandatanganan persetujuan pelayanan angkutan udara.
"Saya mengharapkan agar maskapai penerbangan nasional Indonesia memanfaatkan pertumbuhan angkutan udara Indonesia Australia dengan sebaik-baiknya, karena masih banyak permintaan dari beberapa kota di Australia" ditambahkan Mangindaan.
Lingkup Persetujuan Pelayanan Angkutan Udara (Air Services Agreement) antara lain mencakup penunjukan, pemberian izin dan pembatalan perusahaan penerbangan, hak angkut, pengakuan sertifikat, penerapan standar keselamatan, keamanan penerbangan, penerapan tarif, kapasitas, peluang melakukan usahakan penerapan hukum persaingan usaha.
"Perbedaan ASA tahun 1969 dan yang baru saja ditandatangani adalah ASA yang baru format baru yang ditetapkan ICAO ( Internatinal Civil Aviation), dimasukkannya pengertian wilayah teritori Indonesia berdasarkan UNCLOS 82 serta beberapa pengaturan lain seperti penerapan tarif yang sebelumnya bersifat dual agreement menjadi dual disagreement" demikian dijelaskan Mangindaan saat ditanya wartawan seusai penandatanganan.
Berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU) Hubungan Udara Indonesia - Australia, yang ditandatangani 15 Juli 2011 lalu, kedua negara sepakat untuk meningkatkan kapasitas hak angkut perunggu tiap jurusan dari/ke Sidney, Melbourne (termasuk Avalon), Brisbane dan Perth. Persetujuan tersebut membebaskan batasan kapasitas, frekuensi dan tipe pesawat dari/ke poin lainnya di Asutralia selain Sidney, Melbourne (termasuk Avalon), Brisbane dan Perth.
Persetujuan tersebut juga menyepakati tambahan 2.500 kursi/Minggu pada tiap tujuan Sidney, Melbourne (termasuk Avalon), Brisbane dan Perth. Dengan demikian maskapai penerbangan kedua negara dapat mengangkut sampai 27.500 penumpang setiap minggu untuk tujuan Sydney, Perth, Brisbane dan Melbourne.
Sementara untuk dari dan ke kota lain selain keempat kota tersebut, tidak terdapat pembatasan kapasitas, frekuensi dan tipe pesawat. Guna mendorong penerbangan kargo, Pemerintah Indonesia juga membuka peluang bagi perusahaan penerbangan Nasional Indonesia dan perusahaan penerbangan Australia dengan membuka poin Jakarta, Medan, Surabaya, Denpasar dan Makassar ke semua point di Australia tanpa batasan frekuensi dan kapasitas.
Dalam MoU tersebut, disepakati pula untuk memberikan peluang kepada perusahaan penerbangan kedua negara dalam melakukan kerjasama antar perusahaan penerbangan dengan lebih fleksibel, terutama apabila bertindak sebagai marketingnya carrier.
"Persetujuan hubungan udara yang ditandatangani Indonesia dan Australia sebagai keuntungan nyata dari hubungan baik antara Indonesia dan Australia" demikian disampaikan Anthony Albanese, Menteri Infrastruktur dan Transportasi Australia.
Peningkatan kerjasama dengan salah satu negara tetangga terpenting Australia yang ditandai dengan adanya peningkatan pergerakan jumlah penumpang antara kedua negara di tahun 2012 yang melebihi 2 juta orang, meningkat dua kali lipat hanya dalam kurun waktu 3 tahun, Menteri Anthony Albanese menegaskan.
LION AIR SANGGUPI ISI RUTE INDONESIA-AUSTRALIA
Sementara itu di tempat terpisah, Rusdi Kirana, Direktur Utama Lion Air sudah menyatakan kesanggupannya untuk menerbangi rute Kupang, Indonesia –Darwin, Australia. Rusdi Kirana juga langsung menyanggupi permintaan Nadjib Riphat, Duta Besar RI di Australia untuk menerbangi rute Adelaide-Denpasar. "Pihak Kedutaan Besar Indonesia banyak menerima permintaan penerbangan langsung dari beberapa kota di Australia ke Denpasar, khususnya dari sberbagai kalangan di Adelaide, saya melihat ini peluang yang sangat bagus untuk maskapai penerbangan Indonesia" dijelaskan Nadjib Riphat.
Saat ini kapasitas angkut yang sudah digunakan Indonesia sebanyak 12.000 kursi dan pihak Australia sudah menggunakan sebanyak 17.100 kursi/minggu. Rute dan maskapai yang menerbangi Indonesia - Australia adalah PT. Garuda Indonesia Dengan rute Denpasar-Perth, Denpasar-Sidney, Denpasar-Melbourne, Jakarta - Sidney dan Denpasar - Melbourne. Indonesia Air Asia melayani rute Denpasar-Perth. Sementara di pihak Australia melalui maskapai Qantas menerbangi rute Sidney - Jakarta, Qantas code share dengan Jetstar melayani rute Sidney - Denpasar, Melbourne - Denpasar dan Perth - Denpasar. Selanjutnya maskapai Virgin Australia melayani rute Adelaide - Denpasar.
INDONESIA-AUSTRALIA JUGA TANDATANGANI PENINGKATAN KEAMANAN PENERBANGAN DAN PELAYARAN
Sementara itu di bidang kerjasama Keamanan Transportasi, Pesetujuan yang ditandatangani kedua Menteri mencakup Kerjasama Keamanan Penerbangan dan Kerjasama Keamanan Transportasi Laut/Pelayaran. Persetujuan tersebut dimaksudkan untuk membantu Indonesia dalam pembangunan sistem keamanan transportasi dalam menghadapi tindak terorisme maupun pencegahan gangguan keamanan transportasi bagi industri transportasi.
"Sebagai negara tetangga terdekat, dengan kepentingan yang sama dan jaringan transportasi yang saling terhubung, Indonesia dan Australia memiliki kepentingan bersama dalam mengembangkan sistem transportasi yang aman dari tindakan-tindakan teroris dan melawan hukum" demikian dikatakan Menteri Anthony Albanese. Menteri Anthony Albanese juga menegaskan bahwa dengan ditandatanganinya Annex II MOU tersebut akan terus dilanjutkan kerjasama dibidang keselamatan yang telah sukses dilaksanakan sejak tahun 2007 yaitu Program Indonesia Transport Safety Assistance Package (ITSAP)
Kerjasama di bidang keamanan transportasi antara Indonesia dan Australia dimulai sejak tahun 2004 melalui pembukaan Office of Transport Security (OTS) di Jakarta dengan fokus kerjasama di bidang keamanan transportasi laut dan udara. OTS merupakan bagian dari Department of Infrasructure and Transportation Australia.
Kerjasama Keamanan Penerbangan Indonesia - Australia yang masuk dalam lingkup proyek Australia Aviation Security Project tahap I dan II melaksanakan Program peningkatan kapasitas pegawai di Direktorat Jendersl Perhubungan Udaram PT. Angkasa Pura I dan PT. Angkasa Pura II dengan fokus di Bandara Soekarno - Hatta dan Bandara Nurah Rai. Sementara Kerjasama keamanan transportasi Laut Indonesia - Australia dilaksanakan melalui Program the Indonesia - Australia Maritime Security Project (IAMS) dengan fokus pada 4 (empat) pelabuhan utama di Indonesia untuk meningkatkan kapasitas pegawai Ditjen Perhubungan Laut dalam penerapan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code.
Paket Bantuan Keselamatan Transportasi dari Pemerintah Australia (ITSAF) dilaksanakan sejak 2007, dengan total bantuan senilai $ 38,,4 juta Australia. Tujuan proyek ITSAP Ini adalah kerjasama untuk peningkatan keselamatan transportasi di Indonesia melalui Program peningkatan kemampuan manajemen keselamatan transportasi di penerbangan dan angkutan laut. Bantuan teknis dilakukan oleh Civil Aviation Safety Authority (CASABLANCA), Australian Transport Safety Bureau ( ATSB) dan Australian Maritime Safety Authority (IMSA). Selain peningkatan kapasitas sumber daya manusia, Program ITSAF juga membantu Ditjen Hubla dalam penyusunan standar kapal yaitu Non Conventional Vessel Standar (NCVS) dan dengan Ditjen Perhubungan Udara menyusun buku pedoman bagi Tropical Mountainous Terrain Flying OperationTraining. (BSE)