Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 Rio De Janeiro, Brasil (KTT Rio+20) baru saja usai. Perhelatan yang akrab dengan sebutan  KTT Bumi tersebut menyetujui konsep Green Economy (ekonomi hijau atau ekonomi ramah lingkungan) sebagai solusi pembangunan berkelanjutan dan penurunan angka kemiskinan.  Pada KTT yang dihadiri  192 wakil  negara itu,  para kepala pemerintahan (termasuk Presiden SBY) mendeklarasikan dokumen baru pembangunan berkelanjutan bertajuk  The Future We Want sebagai penyempurnaan  dokumen lama  Our Common Future yang diluncurkan pada KTT Bumi  1992. Presiden SBY bahkan diberi sesi khusus untuk menyampaikan pidato tentang isu lingkungan.

Deklarasi KTT Rio+20 sejalan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% dari tingkat business-as-usual pada  2020 lewat  upaya sendiri dan 41% dengan bantuan luar. 

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) perlu menyatakan posisi dalam program pengurangan emisi GRK dan isu lingkungan. Hal ini juga perlu didukung dengan data terkini tentang populasi kendaraan bermotor, terutama yang terkonsentrasi di kota-kota besar serta data tentang tingkat emisi gas buang kendaraan bermotor di masing-masing kota/daerah. Berdasarkan data tersebut, Kementerian Perhubungan dapat membuat "peringkat"  emisi gas buang kendaraan bermotor masing-masing kota di Indonesia.

Isu ini dapat dikaitkan dengan program  konversi bahan bakar kendaraan dari bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG). Kemenhub mendukung penuh program konversi BBM ke BBG.

Oleh karena itu, masyarakat harus yakin bahwa  kali ini program konversi BBM ke BBG untuk kendaraan akan sukses. Program serupa  yang dijalankan sejak 1980-an selalu terhenti karena tidak ada penanggung jawabnya. Melalui Perpres yang baru, pemerintah menunjuk Pertamina  untuk memimpin program konversi, sehingga  pertanggungjawabannya  jelas.


Pasokan gas untuk program konversi BBG kali ini lebih terjamin. Kementerian ESDM menyatakan,  pasokan gas untuk BBG tahun ini untuk Jawa-Bali  mencapai 32,8 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/mmscfd). Pasokan ini terbagi dua untuk Jakarta sebesar 26,1 mmscfd dan Jawa Timur 6,7 mmscfd. Pasokan untuk Jakarta dan sekitarnya berasal dari Pertamina EP sebesar 5,1 mmscfd, PT PGN (Persero) 7 mmscfd, Medco E&P Indonesia 2 mmscfd, PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) 3 mmscfd, CNOOC South East Sumatra 2 mmscfd, ConocoPhilips Blok Koridor 5 mmscfd, dan Bina Bangun Wibawa Mukti. Sedangkan  pasokan untuk Jawa Timur disediakan cadangan gas  50 mmscfd oleh PT Kangean Energy mulai Mei 2012. Pasokan akan terus bertambah, disesuaikan dengan besaran kebutuhan.

Kementerian Perhubungan akan ikut memastikan apakah benar  pemerintah   akan menanggung pembangunan infrastruktur BBG dengan dana   Rp 2,1 triliun  untuk membangun 54 stasiun pengisian compressed natural gas (CNG) dan 108 stasiun pengisian liquefied gas for vehicle (LGV) di wilayah Jawa dan Bali. Dalam APBN 2012, pemerintah sebenarnya sudah menganggarkan dana sebesar Rp 200 miliar. Tetapi karena dana tersebut hanya cukup untuk membangun tiga SPBG baru, pemerintah meminta tambahan dana dalam APBN-P 2012. Dalam APBN-P 2012, pemerintah menganggarkan dana  Rp 964 miliar untuk konversi ke BBG. Dana tersebut masing-masing Rp 300 miliar untuk biaya pengawasan BBM bersubsidi, Rp 200 miliar untuk SPBG, sisanya untuk pengadaaan converter kit  dan pembangunan bengkel. Tahun ini, pemerintah akan menyediakan converter kit CNG sebanyak 11 ribu unit dan LGV 14 ribu unit, di mana harga per unitnya berkisar Rp 15 juta. Kementerian ESDM menyatakan, berdasarkan alokasi anggaran pemerintah, kendaraan terkonversi bisa mencapai 14 ribu unit. Jumlah itu akan ditambah 10 ribu unit lagi. Saat ini gas dan layanan SPBG yang ada sudah bisa mencapai 41 ribu unit kendaraan.

Selain isu konversi BBM ke BBG, Kementerian Perhubungan juga perlu mengangkat soal program pengembangan mobil listrik. Wacana pentingnya pemberian insentif bagi produsen/prinsipal/agen tunggal pemegang merek (ATPM)  yang mengembangkan mobil listrik atau mobil hybrid perlu digulirkan. Berdasarkan wacana yang digulirkan Menko Perekonomian, Menkeu, dan Menperin, pemberian insentif fiskal dan insentif lainnya hanya akan diberikan kepada produsen/prinsipal/ATPM yang memproduksi mobil di Indonesia dengan kandungan lokal tertentu. Kemenhub perlu mendukung wacana tersebut. Dapat ditegaskan bahwa kebijakan itu akan memberikan nilai tambah tinggi bagi perekonomian nasional, karena dengan membuat pabrik di Indonesia, berarti akan menyerap banyak tenaga kerja. Dengan mensyaratkan kandungan lokal yang maksimal, industri mobil listrik juga bakal menumbuhkan industri komponen dan industri ikutan lainnya di dalam negeri.

Di samping itu, perlu juga diinformasikan kelebihan-kelebihan mobil listrik/hybrid dibanding mobil konvensional, termasuk kelemahan-kelemahannya. Isu ini dapat dikaitkan dengan kebijakan penanganan kemacetan lalu lintas yang semakin kompleks. Untuk selanjutnya, Kemenhub dapat menyampaikan kepada masyarakat segala informasi jika ada usulan/hasil kajian yang sekiranya penting terkait program pengembangan mobil listrik. (JAB)