Isu soal pencemaran Laut Timor menunjukkan perkembangan baru pada pekan ini sejalan dengan munculnya desakan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) agar pemerintah mengkaji ulang konsesi eksplorasi yang dikuasai atau melibatkan perusahaan minyak asal Thailand, PTT Exploration and Production.

Sekjen Kiara M Riza Damanik di satu sisi mengkritik keengganan PTTEP Australasia untuk membayar ganti rugi atas tumpahan minyak yang mencemari Laut Timor yang dinilai sebagai bentuk rendahnya komitmen PTTEP terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan rakyat korban pencemaran. Di sisi lain Damanik juga menyoroti langkah pemerintah menunjuk anak perusahaan PTTEP sebagai pengelola dan mitra sejumlah konsesi eksplorasi minyak di Indonesia.

Mengacu pada hasil penyelidikan yang dilakukan Komisi Penyelidikan Montara Pemerintah Australia yang menyimpulkan bahwa tumpahan minyak tidak akan terjadi jika PTTEPAA menjalankan prosedur operasi standar, maka Damanik berpendapat seharusnya pemerintah mengkaji ulang konsesi eksplorasi yang melibatkan anak perusahaan PTTEP, terkait kompetensi dan profesionalitas PTTEP dalam mengelola blok minyak dan gas.

Pernyataan Riza Damanik dilansir Kompas pada Senin (27/12) dan harian ini tercatat sebagai satu-satunya media yang mengutip pernyataan Sekjen Kiara tersebut. Kompas juga menunjukkan perhatian yang cukup tinggi terhadap isu ini dibanding pekan sebelumnya dengan kembali mengulas isu ini keesokan harinya, Selasa (28/12) dengan meminta tanggapan jajaran anggota dewan atas tuntutan yang disuarakan Kiara.

Kompas melansir pernyataan dua anggota dewan dari partai Golkar dan PDIP. Anggota Komisi VII DPR dari Partai Golkar, SW Yudha menilai tuntutan agar pemerintah mengkaji ulang lima konsesi yang dikuasai atau melibatkan perusahaan minyak asal Thailand, PTTEP adalah relevan. Yudha berpendapat pembatalan konsesi bisa menjadi alternatif sanksi jika ganti rugi atas pencemaran tumpahan minyaknya di Laut Timor tidak dibayar. Ia juga menyatakan pemerintah harus memperhitungkan risiko berulangnya kasus serupa di Indonesia. Jika hal itu terjadi, menurutnya cara anak perusahaan PTTEP di Indonesia merespons kasus itu pun akan sama dengan cara PTTEPAA menanggapi klaim Indonesia.

Kompas juga mengutip pernyataan Anggota Komisi VII DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Dewi Aryani Hilman yang menyatakan BP Migas serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus menjelaskan alasan pemberian konsesi eksplorasi kepada anak perusahaan PTTEP. Pernyataan yang diberikan Dewi secara spesifik mengarah pada Kementerian ESDM, sehingga berbeda dengan Yudha, sentimen yang diberikan Dewi menjadi cenderung netral.

Sementara berbeda dengan Kompas, harian Kontan masih melansir pemberitaan seputar upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dan PPTEP Australasia untuk membicarakan model penentuan luasan akibat tumpahan minyak kilang Montara mengingat kedua pihak belum sepakat tentang luas laut yang terkena tumpahan minyak.

Hal yang perlu dicermati dari pemberitaan yang diangkat Kontan adalah tanggapan yang dilansir pengamat bidang perminyakan Kurtubi atas pembahasan yang dilakukan pemerintah dan PPTEP Australasia untuk menentukan luas tumpahan minyak. Menurut Kurtubi perdebatan atas hal tersebut tidak berguna karena tidak akan didapatkan kondisi yang sama dengan kondisi awal pasca kejadian.

Kurtubi juga menilai pembentukan tim bersama untuk menginvestigasi bukti di lapangan juga tidak akan efektif karena kejadian itu sudah lama dan dampak secara fisik sudah terhapus sehingga pemerintah seharusnya tidak menyetujui kesepakatan itu. Untuk itu Kurtubi berpendapat pemerintah seharusnya mencari bukti rekaman video atau gambar pada waktu awal kejadian. Mengenai jumlah kerugian, Kurtubi menilai, seharusnya dihitung saja dari jumlah volume dan tekanan minyak dan gas yang tumpah.

Isu yang bergulir pekan ini selain membahas kinerja dan langkah yang diambil Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (Timnas PKDTML), juga menyoroti kebijakan pemerintah di sektor migas terkait dengan konsesi yang diberikan pemerintah terhadap sejumlah anak usaha PPTEP. Poin penting yang menjadi catatan, sentimen negatif masih mewarnai pemberitaan terkait isu ini, baik yang berasal dari opinion leader maupun media.

Mengingat isu ini bersifat lintas sektoral dan berkaitan dengan sejumlah pemangku kepentingan terkait, maka koordinasi penting untuk selalu diperhatikan. Untuk isu yang berkaitan dengan kewenangan di sektor migas, maka respon sebaiknya diberikan oleh instansi terkait, dalam hal ini Kementerian ESDM. Pun jika juru bicara berasal dari Timnas PKDTML, maka koordinasi hendaknya dikedepankan guna mengantisipasi pernyataan yang tidak sinkron yang dapat menciptakan blunder.

Sementara kritik yang disampaikan kalangan pengamat dapat menjadi masukan untuk dikaji lebih lanjut. Di sisi lain perkembangan positif yang ada hendaknya selalu dipublikasikan kepada masyarakat. (JAB)