Gejolak harga minyak mentah dunia dijadikan alasan oleh para operator angkutan, baik pada moda darat, laut, maupun udara, untuk menaikkan tarif. Alasan mereka, tingginya harga minyak menyebabkan beban operasional meningkat. Alasan lainnya adalah rencana pemerintah yang akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai 1 April mendatang. Berita dan artikel tentang rencana kenaikan tarif moda transportasi darat, laut dan udara sebagai dampak dari kenaikan harga BBM pada April nanti cukup banyak dimuat di media massa nasional pada pekan lalu. Hal ini terlihat dari besarnya dominasi berita dari isu tersebut, yang mencapai 12%.

Selama ini, para operator gencar melancarkan “kampanye” bahwa biaya pengoperasian angkutan (bus, pesawat, kapal,  feri, dll) sudah tidak feasible lagi dengan tarif yang berlaku (terutama tarif ekonomi), sehingga mereka mau tidak mau harus menaikkan tarif. Benarkah demikian? Kemenhub perlu menginformasikan hasil kajian tentang biaya operasional angkutan kepada masyarakat.  Harus dijelaskan bahwa tarif angkutan yang berlaku sekarang masih feasible. Hal ini diperlukan sebagai fait accompli kepada kalangan operator agar mereka tidak seenaknya menaikkan tarif  dengan berbagai alasan yang kurang masuk akal. Dengan fakta-fakta tersebut, perlu dikeluarkan imbauan kepada kalangan operator angkutan agar tidak menaikkan tarif sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi  mulai 1 April mendatang. Langkah ini perlu dilakukan karena ada indikasi para operator ingin menaikkan tarif dua kali, yakni menjelang kenaikan dan setelah kenaikan harga BBM bersubsidi, atau menaikkan tarif satu kali setelah kenaikan harga BBM, namun dengan besaran tarif yang tinggi. 

Indonesia National Air Carrier Association (INACA) mengusulkan agar pemerintah (Kemenhub) menaikkan tarif batas atas pesawat terbang  minimal 10% dengan alasan beban operasional maskapai meningkat, antara lain akibat kenaikan harga minyak dunia. Sekjen INACA Tengku Burhanuddin mengungkapkan, kenaikan harga minyak dunia yang saat ini  bergerak pada level US$ 115-122 per barel telah menaikkan harga avtur hingga 10% atau menjadi di atas Rp 10 ribu per liter. INACA menyebutkan, saat ini tarif ekonomi pesawat yang diberlakukan maskapai masih di bawah tarif batas atas penerbangan seperti diatur Keputusan Menteri Perhubungan (KM) Nomor 26 Tahun 2010 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.  Jika kenaikan tarif batas atas tidak bisa dilakukan, INACA  mengusulkan  pengenaan kembali biaya tambahan bahan bakar (fuel surcharge).

Menanggapi hal ini, otoritas penerbangan sipil nasional, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara menyatakan siap memberlakukan biaya tambahan untuk bahan bakar (fuel surcharge) pada penerbangan rute domestik. Namun, kebijakan tersebut baru akan dilakukan bila harga bahan bakar pesawat (avtur) di atas US$ 100 per barel selama tiga bulan berturut-turut. Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bakti Singayuda Gumay mengungkapkan, kenaikan harga avtur di atas level US$ 100 per barel atau sekitar Rp 10 ribu per liter sudah terjadi sebulan atau sejak awal Februari. Jika dalam dua bulan ke depan, harga avtur pada level yang sama, maka maskapai penerbangan nasional boleh memberlakukan fuel surcharge. Pengenaan fuel surcharge bisa dijadikan opsi ketimbang merevisi tarif batas atas seperti tertuang dalam KM No 26 Tahun 2010 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri karena dua hal. Pertama, jika harga minyak cenderung naik terus, tidak mungkin proses revisi dilakukan berulang kali. Kedua, pengenaan fuel surcharge berlaku umum di dunia penerbangan internasional.

Terhadap moda transportasi darat, Kemenhub sebaiknya menginformasikan kelanjutan rencana kenaikan tarif  batas atas bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) dan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) kelas ekonomi sekitar 15-20%. Perlu dijelaskan apakah rencana itu akan “disatu paketkan”  dengan kenaikan tarif  pasca kenaikan harga BBM per 1 April? Bagaimana dengan tarif angkutan umum di luar bus AKAP dan AKDP kelas ekonomi, terutama angkutan kota (angkot), metromini, kopaja, elf, bus kota, dll? 

Organda menyatakan  para operator angkutan umum sedang ancang-ancang  menaikkan tarif  hingga 35%. Menurut kalkulasi Organda, jika harga premium naik Rp 1.500 per liter, kenaikan tarif angkutan umum bisa mencapai 30-35%. Alasannya, kenaikan tarif diperlukan karena lonjakan harga BBM akan mendongkrak biaya operasional angkutan umum. Organda mengklaim  biaya operasi kendaraan (BOK) angkutan umum sudah mencapai 18,37% di atas tarif saat ini, sehingga mestinya tarif saat ini naik minimum 18,37%. Dengan adanya kenaikan harga BBM, berarti ada tambahan kenaikan 15-17%, sehingga total kenaikan tarif yang ideal adalah sekitar 35%. Kemenhub perlu  menjelaskan apakah operator angkutan umum yang bernaung di bawah Organda bisa menaikkan tarif hingga 35%  berdasarkan kalkulasi mereka sendiri. Jika tidak bisa, Kemenhub sebaiknya segera meng-counter pernyataan Organda disertai dengan pemberian penjelasan mengenai mekanisme penetapan tarif dan kebijakan tarif angkutan umum. (JAB)