(Jakarta, 10/5/2010) Kementerian Perhubungan menyerahkan sepenuhnya persoalan terkait putusan bersalah yang dikeluarkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap sembilan maskapai nasional kepada proses pengadilan. Kementerian tidak akan mencampuri hasil putusan yang telah dijatuhkan KPPU terlalu jauh, karena masalah tersebut tidak terkait langsung dengan Kemenhub sebagai lembaga teknis pemerintah.
 
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti S Gumay, menanggapi pernyataan asosiasi perusahaan maskapai penerbangan nasional, INACA, yang menolak tuduhan telah menjalankan kartel dalam menerapkan biaya tambahan atas bahan bakar (fuel surcharge) kepada penumpang sebagaimana ditetapkan KPPU.
 
”Masalah ini masuk dalam ranah hukum. Kita serahkan saja prosesnya kepada pengadilan, toh, mereka (maskapai) semua kan mau melakukan banding atas putusan KPPU. Biarkan proses ini berjalan, nanti pengadilan yang akan memutuskan,” ujar Herry Bakti di Jakarta, Senin (10/5).
 
Terlepas dari permasalahan yang terjadi pasca dikeluarkannya putusan tersebut oleh KPPU, Herry menambahkan, pihaknya tetap mencermati dan melakukan kajian terhadap kasus ini. Secara umum dia menilai, penolakan yang dilakukan oleh INACA dan anggotanya yang memutuskan untuk melakukan banding  relatif cukup masuk akal.
 
”Kita sepakat dengan apa yang dikatakan oleh INACA dan airline-airline itu. Apa yang mereka katakan bahwa tidak ada kartel, itu sangat masuk akal. Apalagi tarif batas atas itu ditentukan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan. Fuel surcharge itu ada, di mana-mana juga ada, dan KPPU juga membolehkan itu. Jadi, kita sepakat dengan apa yang dibilang airlines,” imbuhnya.
 
Terpisah, Sekretaris Jenderal INACA Tengku Burhanudin mengungkapkan, akibat denda dan ganti rugi yang ditetapkan KPPU, seluruh maskapai nasional yang dinyatakan bersalah terancam bangkrut. Karena menurutnya, denda dan ganti rugi yang sangat besar tersebut akan menghancurkan aliran dana (cash flow) di tubuh maskapai yang bersangkutan.
 
”Para pemilik persewaan pesawat (lessor) juga bisa  minta negosiasi ulang kepada maskapai nasional tersebut terkait pembayaran sewa. Bahkan, lebih jauh, mereka bisa saja menarik pesawat-pesawat mereka karena khawatir dana maskapai akan tersedot untuk membayar ganti rugi KPPU. Jika itu terjadi, ekspansi produksi akan terjadi dan memunculkan pengangguran di bisnis penerbangan nasional. Perekonomian nasional juga dipastikan akan terkena imbas,” ujarnya Senin kepada wartawan.
 
Karena itulah, dia menambahkan, seluruh maskapai bersepakat untuk mengajukan banding dan menolak menolak tudingan kartel sebagaimana yang dituduhkan oleh KPPU pada sidang beberapa waktu lalu. Maskapai-maskapai yang telah mamastikan akan melakukan banding itu antara lain Garuda Indonesia, Sriwijaya, Lion Air, Batavia, Mandala, Kartika dan Merpati Nusantara. Jumlah denda dan ganti rugi yang harus mereka tanggung sekitar  Rp500 Miliar.
 
INACA, lanjut Tengku, meminta perhatian serius dari pemerintah, dalam hal ini Kementrian Perhubungan agar menyampaikan opini terkait putusan KPPU. ”Karena Kemehub yang mengetahui duduk persoalan sesungguhnya,” ujar dia.
 
Tenngku menambahkan, di Indonesia maskapai sulit untuk melakukan tindakan kartel seperti yang dituduhkan KPPU.  Alasannya, penawaran (supply) bisnis penerbangan masih lebih banyak dari permintaan (demand). ”Jadi persaingannya sangat ketat. Tak mungkin kita melakukan kartel, dan kami yakin kartel tidak pernah terjadi,” ujarnya.
 
Tengku mengaku INACA sudah melaporkan keberatan yang kepada pemerintah, salah satunya terkait efek psikologi yang akan terjadi jika KPPU tetap merealisasikan putusannya tersebut. ”Kita tidak tahu KPPU menghitungnya bagaimana, sehingga muncul angka hukumannya,” lanjutnya. (DIP)