Terkait ancaman terhambatnya produksi minyak nasional sebagai dampak implementasi asas cabotage, pemerintah dalam hal ini Kemenhub berencana untuk memberikan perlakuan khusus bagi kapal asing yang digunakan untuk kegiatan pengeboran minyak dan gas bumi lepas pantai (offshore) dari ketentuan asas cabotage. Hal ini direalisasikan dalam sejumlah langkah, yakni:
1. Menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan No 73 Tahun 2010 yang mengizinkan kapal asing yang melakukan kegiatan pengangkutan penunjang usaha hulu dan hilir minyak dan gas bumi untuk tetap beroperasi di dalam negeri hingga 7 Mei 2011.
2. Mengajukan amandemen UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang akan memberikan hak istimewa (privilege) bagi kapal asing jenis tertentu. Pemerintah akan merevisi Pasal 341 UU No 17 Tahun 2008 tersebut, terutama pasal yang mengatur soal peralihan kapal.
Rencana ini mengundang reaksi penolakan dari sejumlah kalangan, reaksi paling banyak disuarakan oleh pelaku usaha di sektor pelayaran mengingat kebijakan ini berimplikasi terhadap kepentingan mereka, yakni:
1. Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat INSA, Johnson W Sutjipto.
2. Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan INSA, Paulis Djohan.
3. Ketua Bidang Angkutan Lepas Pantai INSA, Sugiman Layanto.
4. Ketua Bidang Pengembangan Industri Pelayaran INSA, Ibnu Wibowo.
5. Ketua Umum Masyarakat Pemerhati Pelayaran, Pelabuhan dan Lingkungan Maritim (Mappel), Oentoro Surya.
6. Sekretaris Mappel, Maman Permana.
Selain dari pelaku usaha, penolakan juga disuarakan pengamat terutama menyikapi rencana pemerintah untuk mengajukan amandemen UU Pelayaran, seperti ditunjukkan oleh Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Danang Parikesit. Disisi lain meski Kemenhub menyatakan telah mendapat dukungan DPR terkait rencana revisi UU tersebut, namun tetap terdapat anggota dewan yang menentang langkah tersebut, yakni Anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKS, Abdul Hakim.
Pelaku usaha menilai langkah yang diambil pemerintah bukan merupakan solusi. Mereka membantah tudingan pelayaran nasional tidak mampu menyediakan kapal untuk mendukung kegiatan angkutan migas. Sebaliknya banyak perusahaan pelayaran yang ingin ekspansi dengan membeli kapal-kapal berskala besar baik yang berada di kelompok B maupun C. Namun terdapat beberapa poin yang menjadi sorotan mereka, antara lain:
1. Selama ini sektor usaha migas tidak memberikan kesempatan yang setara kepada operator pelayaran nasional untuk menjadi penyedia kapal eksplorasi dan eksploitasi migas, baik kelompok B maupun C.
2. Pemerintah tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan kontrak jangka panjang bagi investasi kapal offshore.
Keluarnya Permenhub tersebut oleh pelaku usaha dinilai merupakan bentuk ketidakpahaman regulator atas konteks masalah yang sebenarnya. Selain itu juga mencerminkan pemerintah telah keluar dari jiwa UU Pelayaran yang menginginkan kedaulatan ekonomi dan wilayah Indonesia.
Sementara terkait rencana revisi UU Pelayaran, poin yang menjadi keberatan Danang Parikesit dan Abdul Hakim adalah:
1. Amendemen UU hanya akan memicu konotasi bahwa pemerintah Indonesia tidak konsisten dengan peraturan yang dibuatnya sendiri. Sehingga akan memberi citra buruk bagi dunia internasional, terutama bagi investor asing.
2. Usulan itu dinilai terlalu dini, apalagi jika dikaitkan dengan kegagalan pemerintah dalam mencapai target lifting migas pada tahun depan. Untuk itu pemerintah disarankan mencari cara lain yang lebih cerdas tanpa mengorbankan kebijakan nasional asas cabotage dengan merevisi UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Abdul Hakim juga mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak pada lobi-lobi yang tidak berpihak kepada sektor pelayaran nasional. Sebaliknya, pemerintah didesak agar melaksanakan UU tersebut secara konsisten supaya memberikan kepastian hukum dalam berusaha kepada pengusaha nasional.
Media menunjukkan kecenderungan yang beragam, seperti tampak pada angle pemberitaan yang digunakan, sehingga isu ini menyumbang sentimen positif sekaligus negatif. Bisnis Indonesia dan Investor Daily yang tercatat paling banyak melansir isu ini menggunakan angle yang beragam, baik dari sudut pandang pelaku usaha yang cenderung negatif, maupun dari sisi regulator yang cenderung positif, juga dari sudut pandang pengambil
kebijakan di sektor perminyakan yang cenderung netral, serta dari sisi pemangku kepentingan terkait seperti anggota dewan yang cenderung negatif.
Sementara Media Indonesia dan Seputar Indonesia lebih menitikberatkan pemberitaannya pada sisi pelaku usaha sehingga sentimen yang dihasilkan cenderung negatif. Sebaliknya Kontan dan Koran Tempo menggunakan sudut pandang dari sisi regulator sehingga pemberitaannya cenderung positif.
Mencermati dinamika isu yang berkembang selama sepekan terakhir, maka kedepan isu ini kemungkinan masih akan muncul. Jika keputusan untuk melakukan revisi UU sudah final, maka pendekatan terhadap pemangku kepentingan terkait seperti pelaku usaha dan DPR perlu diupayakan mengingat suara penolakan sudah muncul. Hal lain yang tak kalah penting adalah memberikan penjelasan secara komprehensif alasan pemerintah mengambil keputusan tersebut berikut langkah operasional yang akan diambil. Upaya ini perlu dilakukan secara intensif mengingat isu sejenis (berkaitan dengan masuknya kepemilikan asing ke sejumlah sektor) sedang mendapat sorotan akhir-akhir ini. (JAB)