Pekan ini sebagian besar media massa menfokuskan pada pekerjaan rumah (PR) yang sampai kini belum diselesaikan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) terkait dengan penerapan UU Penerbangan. Media menyebutkan, setidaknya ada empat PR yang harus segera diselesaikan Kemenhub selaku regulator di sektor penerbangan yaitu  pembentukan badan pengelola navigasi penerbangan tunggal (air traffic services/ATS single provider), pembentukan majelis profesi penerbangan, aturan turunan tentang kepemilikan pesawat, hingga pengambilalihan wilayah udara Kepulauan Riau yang kini masih di bawah Flight Information Region (FIR) Singapura.

 

Saat ini, Indonesia siap menjadi pusat kalibrasi atau tera ulang fasilitas penerbangan di kawasan Asia Tenggara. Tidak semua negara memiliki fasilitas kalibrasi. Kalibrasi yang kini dimiliki Indonesia sudah bertaraf internasional. Menurut Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan, Balai Kalibrasi Fasilitas Penerbangan di  Tangerang  yang baru  diresmikan pemerintah  merupakan satu-satunya di Indonesia. Balai tersebut diharapkan juga dapat melayani kalibrasi untuk negara-negara tetangga. Dengan demikian, aspek bisnisnya juga bisa dikembangkan. Di Asia Tenggara, negara yang memiliki fasilitas kalibrasi antara lain Malaysia dan Thailand, sedangkan Singapura tidak punya.  Gedung kalibrasi itu dibangun dengan menggunakan anggaran tahun 2011 senilai Rp 8,68 miliar. Gedung terdiri atas dua lantai seluas 1.500 meter persegi. Sesuai Keputusan Menhub  No. 29 Tahun 2002, balai kalibrasi bertugas menguji alat bantu navigasi udara, pendaratan, komunikasi penerbangan, serta laboratorium penerbangan.

 

Media juga menyoroti Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang tengah memproses perizinan atau sertifikasi agen pemeriksa kargo dan pos udara independen (regulated agent/RA) untuk 17 perusahaan. Sedangkan RA yang telah beroperasi di Indonesia – terutama berlingkup kerja di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) – sebanyak enam perusahaan, dengan total kapasitas pemeriksaan kargo mencapai 1.600 ton per hari dan jumlah mesin pemindai X-ray 34 unit. Direktur Keamanan Penerbangan Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub, M. Fuschad mengungkapkan, pemeriksaan kargo dan pos udara memang menjadi bagian fungsi pembinaan dari Kemenhub. Namun karena berbagai alasan, termasuk karena persoalan anggaran, maka fungsi pemeriksaan diserahkan sepenuhnya ke swasta (non pemerintah). Dengan kondisi itu pula telah terbuka peluang bagi swasta untuk menggarap bisnis baru di sektor penerbangan tersebut.

 

Ke-17 perusahaan RA yang sedang diproses sertifikasinya adalah PT Antareja Prima Antara, PT Skypak Internasional, PT Gapura Angkasa, PT Jasa Angkasa Semesta, PT Pos Indonesia, PT Restu Mitra, PT Cardig Logistic, PT Surveyor Indonesia, PT Angkasa Pura I, PT Khrisna Multi Sarana, PT Jayadara Aero Mandiri, PT Cardig Garda Utama, PT Pandu Siwi Sentosa, PT Adya Avia Prima, PT Aero Jasa Cargo, PT Buana Sarana Transindo, dan PT Wahana Senareksa. Proses ini umumnya dalam tahap evaluasi lokasi. Sedangkan keenam perusahaan RA yang sudah beroperasi adalah PT Duta Angkasa Semesta (kawasan kargo Bandara Soetta), PT Fajar Anugerah Semesta (kawasan industri Cibitung-Cikarang), PT Ghita Avia Trans (kawasan Mangga Dua, Rawa Bokor,  dan kargo Bandara Soetta), PT Birotika Semesta (kawasan Slipi dan Pancoran), PT Pajajaran Global Services (kawasan Kelapa Gading Ex Goro), dan PT Angkasa Pura II (kawasan kargo Bandara Soetta) yang baru mengantungi izin sementara dan telah habis masa berlakunya November 2011.

 

Terkait dengan pemenuhan kebutuhan pilot dalam industri penerbangan, media mengulas masalah menyangkut keterbatasan sekolah pilot di Indonesia dalam memproduksi pilot. Sekolah tinggi penerbangan di Indonesia hanya menghasilkan 240 pilot per tahun, atau cuma bisa memenuhi 40-48% dari kebutuhan maskapai nasional yang 500-600. Seiring pesatnya pertumbuhan bisnis penerbangan di Tanah Air, tenaga seperti air traffic controller (ATC) yang bertugas mengatur lalu lintas udara di bandara juga kurang. 

 

Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Herry Bakti S. Gumay mengungkapkan,  pesawat maskapai nasional terus bertambah dan kini totalnya sekitar 1.000, dengan 600 unit yang beroperasi.  Akibatnya, jumlah pilot dari dalam negeri kurang sekali. Karena itu,  perusahaan penerbangan perlu ikut mendirikan flight school (sekolah penerbangan).  Menurut Kepala Badan Pengembangan SDM Perhubungan Kemenhub, Bobby R Mamahit, biaya pendidikan pilot cukup mahal. Di sekolah swasta, biaya mencapai US$ 40 ribu (Rp 365 juta) untuk private pilot license (PPL) dan US$ 50 ribu ((Rp 456 juta) untuk commercial pilot license (CPL). Sedangkan yang milik pemerintah, Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, biayanya hanya sekitar Rp 40 juta. Namun, STPI ini baru bisa menghasilkan 120 pilot setahun. (JAB)