Tarakan - Pemerintah Malaysia mulai bulan Juni 2018 berencana untuk melarang kapal-kapal kayu menuju Tawau. Sementara itu banyak komoditi asal Indonesia dari Tarakan dan Nunukan yang dibeli oleh Filipina via Tawau. Karenanya kapal-kapal kayu tersebut didorong untuk langsung melakukan perdagangan ke Filipina, tidak perlu melalui Tawau, Malaysia. Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Sugihardjo pada saat meninjau Pelabuhan Malundung, Tarakan, Kamis (1/3).
“Dengan adanya pelarangan ini, di satu sisi menjadi hambatan, tapi di sisi yang lain juga merupakan suatu peluang sehingga kita mungkin bisa melakukan pelayaran langsung dari Kaltara ke Filipina. Itu yang didorong,” sebut Sugihardjo.
Saat ini kapal-kapal kayu yang menuju Filipina adalah kapal yang skalanya masih kecil yakni 1 kali pelayaran dalam sebulan. Hal ini karena masih tergantung demand yang ada. Ditambahkan Sugihardjo untuk meningkatkan volume, maka bisa didorong dengan penggunaan kapal-kapal yang lebih besar dan lebih terjamin dari sisi aspek keselamatan pelayarannya.
Terkait dengan pengaturan yang dilakukan oleh Malaysia, Sugihardjo mengatakan Malaysia mengambil langkah ini, pertimbangannya dari aspek keselamatan. “Walaupun memang dari segi keselamatan yang paling bagus itu kan kapal dengan plat besi. Kemudian di kita masih ada operasi kapal dengan plat kayu dan kapal dengan plat fiber. Sebetulnya kalau dari sisi keselamatan, relatif kayu itu lebih safe daripada fiber. Karena kalau fiber, jika terkena hempasan ombak cukup tinggi itu mudah pecah, sementara kayu tidak, hanya perlu dikontrol agar tidak mudah bocor,” jelasnya.
Lebih lanjut Sugiharjo menuturkan pasti kalau diarahkan dari aspek keselamatan maka yang terpilih adalah kapal besi. Namun demikian, tentu dilihat juga dari skala ekonomi. Sehingga secara bertahap diharapkan penggunaan kapal fiber khususnya semakin dikurangi. Demikian pula kapal kayu, karena ini menyangkut pelayaran rakyat.
“Tetap kalau belum bisa dihilangkan harus dikontrol, dalam hal ini Dinas Perhubungan karena rata-rata kapal ini di bawah 30 GT itu harus tetap ditingkatkan termasuk juga untuk sertifikasi dari nahkodanya. Untuk dilihat sertifikasi pelatihan-pelatihan untuk aspek keselamatan, juga kepada masyarakat hendaknya walaupun naik kapal rakyat harus agak kritis. Jadi naik kapal tidak ada pelampungnya ya harus agak cerewet. Minta harus ada pelampung baru naik. Kalau masyrakatnya kritis otomatis yang punya kapal akan menyediakan,” pungkas Sugihardjo. (HH/TH/LL/BI)