JAKARTA – Ketika masa Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) saat pandemi Covid-19 masih belum sepenuhnya hilang, masyarakat pengguna transportasi massal memenuhi kembali stasiun-stasiun Kereta Rel Listrik (KRL). Lonjakan penumpang tak bisa terelakkan, utamanya pada Senin pagi dan Jumat sore dan waktu-waktu tertentu. Sementara dalam ketentuan bertransportasi di masa pandemi, pelaksanaan protokol kesehatan menjadi keniscayaan dan wajib dilaksanakan.

Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ)Polana B. Pramesti mengungkapkan kepada awak media Senin (13/7) bahwa saat kapasitas penumpang KRL selama masa pandemi masih dibatasi maksimal 35-45% untuk memenuhi ketentuan physical distancing. Yang terjadi adalah seringnya terjadi penumpukan calon penumpang. Menurut Polana, keadaan ini sangat mengkhawatirkan.

Sejauh ini, menurut Polana, Pemerintah telah mengerahkan bus-bus gratis untuk mengangkut para pelaju yang tak tertampung KRL tersebut.Meski cukup mampu mengatasi penumpukan penumpang pada hari dan jam-jam tertentu tetapi penyediaan bus gratis tersebut tidak mungkin menjadi solusi tetap.

“Sejak awal kami meluncurkan bus gratis tersebut, yaitu sejak 15 Mei 2020 lalu, sudah kami informasikan, jika kebutuhan terus meningkat dan muncul demand yang konsisten, tidak menutup kemungkinan kami akan luncurkan layanan bus reguler,“ ujar Polana.

Dari evaluasi yang dilakukan oleh BPTJ, menurut Polana, potensi demand memang ada dan saat ini sedang dilakukan kajian untuk memperkuat rencana peluncuran layanan bus alternatif regular tersebut.

Bus Reguler Alternatif

Kehadiran angkutan Jabodetabek Residence Connexion (JR Connexion)awalnya diperuntukkan oleh BPTJ untuk melayani komuter di permukiman Bodetabek menuju ke Jakarta dengan angkutan bus yang nyaman dan tepat waktu. Tujuannya adalah agar moda angkutan ini dapat mengalihkan para pengguna kendaraan pribadi ke moda angkutan ini sehingga dapat mengurangi kepadatan kendaraan di jalan dan mengurani kemacetan.

Pada saat ini, menurut Polana, demand bus yang nyaman dan aman serta memenuhi kebutuhan masyarakat transportasi yang dinamis bagi masyarakat komuter Jakarta cukup tinggi. Masyarakat pelaju Bogor-Jakarta diharapkan pada bulan Agustus 2020 ini sudah dapat memanfaatkan angkutan tersebut, agar tidak lagi hanya bergantung dengan kereta rel listrik (KRL) di masa adaptasi kebiasaan baru yang sedang terjadi saat ini.

Bentuk layanannya, lanjut Polana, Bus JR Connexion dengan rute point to point. Sifat layanan Bus JR Connexion ini titik pemberangkatan bukan dari terminal bus namun diupayakan dari titik yang lebih terjangkau dari pemukiman calon penumpang (asal) menuju titik tertentu (tujuan) di Jakarta."Diharapkan tidak terjadi lagi penumpukan calon penumpang di stasiun ataupun terminal," ujarnya.

Menurut Polana, saat ini sudah ada operator yang bersedia mengisi layanan alternatif reguler ini dan sedang melakukan berbagai persiapan.Mengingat trayek yang dijalani layanan ini adalah lintas wilayah administratif di Jabodetabek maka perizinannya ada di BPTJ dan BPTJ tentunya akan mempermudah prosesnya.

Mengenai tarif, Polana menyebut tidak mungkin semurah tarif KRL karena tarif KRL disubsidi Pemerintah, namun diupayakan masih dalam batas kewajaran dan terjangkau oleh para pelaju.

Nantinya layanan Bus JR Conn ini juga akan konsisten diterapkan protokol kesehatan sehingga kapasitas penumpang dibatasi maksimal 50%, agar ketentuan jaga jarak dapat dipenuhi.”Aturan protokol kesehatan lainnya seperti pemeriksaan suhu tubuh, penggunaan masker tentu wajib tak hanya bagi pengguna namun juga awak operator, demikian pula unit armada yang digunakan secara rutin harus dibersihkan dengan disinfektan,“ ujarnya.

Respon Masyarakat

Para pekerja di Bodetabek yang berkantor di Jakarta sangat antusias terhadap langkah BPTJ mengatasi ledakan penumpang di jam-jam padat di stasiun KRL di Bodetabek dengan mengadakan Bus JR Connexion. Salah satunya Bryan Angga yang berkantor di Kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.

Hampir setiap hari pulang pergi Jakarta Bogor-Jakarta, ia menggunakan KRL. Tetapi di jam-jam padat, hari Jumat dan Senin telat sedikit saja, bisa tidak dapat KRL pagi. Mereka harus antre panjang. Staf di Instansi Lembaga Keuangan itu berharap bus JR Connexion yang menerapkan protokol kesehatan dengan disiplin ketat bisa tepat waktu sampai ke Ibukota. “Ya beda-beda sedikit jamnya nggak apa-apa, asal jangan terlambat lama, karena jalur lalu lintas lewat tol pada jam-jam padat juga kerap macet,” ujar Angga.

Lain halnya dengan Wisnu Baskoro, karyawan di divisi SDM sebuah perusahaan swasta di kawasan Palmerah, Jakarta Selatan ini. Di usianya yang sudah di atas 50 tahun memang mendapat prioritas di era PSBB. Jam masuk kerjanya siang hari, tetapi kerap juga berangkat pagi. Ketika jam padat, Baskoro kerap mengalami kesulitan untuk antri di loket stasiun KRL. “Saya setuju bila BPTJ Kemenhub ataupun Pemda Bogor mau menyediakan bus JR Connexion yang mangkal tersebar --tidak hanya di stasiun KRL tetapi di berbagai lokasi yang strategis,” tukas Baskoro.

Langkah yang diambil BPTJ menyediakan Bus JR Connexion bukan satu-satunya cara untuk mengatasi ledakan penumpang yang terjadi di jam-jam padat.

Soal adanya kemungkinan Bus JR Connexion dengan rute point to pointyang akan diluncurkan BPTJ pada bulan Agustus 2020, Angga dan Baskoro sangat mengapresiasinya. Mereka berharap, BPTJ memperhatian tingkat daya beli masyarakat dan besaran tarif yang akan diberlakukan. ‘Tarifnya jangan terlalu mahal,” ujar Angga.

Solusi Ledakan Penumpang KRL di Jam Sibuk

Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) Didiek Hartantyo mengapresiasi pemerintah pusat dan daerah yang menyediakan bus gratis dari berbagai stasiun untuk menuju ke DKI Jakarta. Namun, armada yang disediakan masih belum mampu untuk mengakomodir sebagian besar penumpang yang akan ke DKI Jakarta. “Dari data yang tercatat, tidak ada pergeseran peak hour sejak terbitnya SE Gugus Tugas Covid No. 8 Tahun 2020 tanggal 14 Juni 2020. Sampai saat ini, peak hour pagi berkisar pada rentang 06.30 s.d 07.30 dan malam pada rentang 16.30 s.d 18.30,” ujar Didiek.

Karena itu Didiek meminta seluruh stakeholder untuk patuh pada protokol kesehatan yang diterapkan pada KRL Jabodetabek khususnya pengaturan jam kerja bagi pegawai di masa AKB. Didiek meminta agar seluruh instansi pemerintah, BUMN, BUMD, dan swasta untuk mengatur jam kerja pegawainya sesuai Surat Edaran Gugus Tugas Covid-19 No. 8 Tahun 2020 tanggal 14 Juni 2020 agar kepadatan di stasiun dan di KRL dapat tetap terkendali.

“Kepadatan dapat terjadi dikarenakan dua hal, adanya pembatasan kapasitas angkut KRL dan terus bertambahnya penumpang terutama pada masa peak hour,” ujar Didiek.

Sejak diberlakuannya PSBB Transisi di DKI Jakarta pada 5 Juni 2020, jumlah penumpang KRL semakin meningkat dari waktu ke waktu. Sejak diberlakukannya PSBB transisi yaitu Senin 8 Juni, jumlah penumpang yang dilayani KRL adalah sebanyak 300.029 penumpang. Pada Senin, 29 Juni jumlah tersebut sudah mencapai 393.498 penumpang atau meningkat 31%. “Dengan adanya pembatasan kapasitas KRL sebanyak 45% atau 74 penumpang per kereta, maka antrian di stasiun pada jam sibuk tidak dapat dihindarkan,” ujar Didiek.

Didiek menjelaskan, kepadatan sebetulnya dapat dihindari jika seluruh pihak mematuhi pengaturan jam kerja sesuai SE Gugus Tugas Covid-19 No. 8 Tahun 2020. “Dengan pengaturan jam kerja, antrian penumpang yang biasanya terjadi pada jam padat setiap hari dapat melandai karena jadwal keberangkatan penumpang bergeser dan tidak bersamaan seperti saat ini.” ujarnya. (IS/AS/HG/CH)