Industri penerbangan dan pelayaran nasional menghadapi masalah yang sangat serius, yakni bandara dan pelabuhan yang ada sudah  kelebihan kapasitas (over capacity). Tak mengherankan jika banyak yang menganggap bandara dan pelabuhan di Indonesia sebetulnya sudah tidak layak.

Namun,  pemberitaan tentang pelabuhan dan bandara  juga kalah kencang dibanding isu-isu lain di bidang transportasi, misalnya tentang  penanganan sistem  transportasi. Padahal, mengingat bandara dan pelabuhan  merupakan urat nadi  perekonomian nasional, isu pembangunan atau pengembangan  bandara dan pelabuhan perlu terus digencarkan. 

Sebagai contoh, sebanyak 10 dari 12 bandara di wilayah Indonesia bagian barat yang dikelola PT Angkasa Pura II sudah  over capacity, yakni Polonia (Medan), Minangkabau (Padang), Sultan Thaha (Jambi), Depati Amir (Pangkal Pinang), Soekarno-Hatta (Jakarta), Supadio (Pontianak), Sultan Mahmud Badaruddin II (Palembang), Sultan Syarif Kasim II (Pekanbaru), Husein Sastranegara (Bandung), dan Raja Haji Fisabililah (Tanjung Pinang). 
 
Kemenhub mendukung upaya-upaya yang dilakukan pihak pengelola bandara (PT Angkasa Pura) dan pengelola pelabuhan (Pelindo) dalam mengatasi over capacity,  baik dengan cara  menggenjot pengembangan bandara/pelabuhan,  maupun dengan membangun  bandara/pelabuhan baru.

Isu ini perlu  dikaitkan dengan  kebijakan pemerintah yang akan  membatasi porsi pembiayaan APBN untuk pengembangan sisi udara (air side) bandara komersial. Di samping itu perlu pula penjelasan mengenai kebijakan pemerintah dari sisi  pembangunan dan pengembangan pelabuhan dan dukungan Kemenhub mengenai perlunya BUMN-BUMN  pengelola bandara/pelabuhan mengkaji ulang pengembangan bandara/pelabuhan yang dikelolanya secara cermat  agar tetap feasible secara finansial.

Selanjutnya, perlu disosialisasikan rencana pemerintah menerapkan skema bisnis baru dalam industri kebandarudaraan mulai Januari 2013. Berdasarkan skema ini, pengembangan  air side di 25 bandara komersial yang dilakukan PT AP I dan II tak lagi mendapatkan dana APBN, namun harus dibiayai sendiri oleh dua BUMN tersebut. Ketentuan itu  diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 40 Tahun 2012 tentang Pembangunan dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bandar Udara, yang diteken Presiden SBY  dan diberlakukan mulai 5 Maret 2012, namun  baru berlaku efektif mulai Januari 2013.

Rencana pembatasan  porsi pembiayaan APBN untuk pengembangan  air side bandara komersial atau pelabuhan laut (jika pelabuhan juga terkena ketentuan tersebut)  dapat mengancam pengembangan bandara/pelabuhan  bila para pengelolanya tidak pro-aktif menggandeng investor atau mencari pembiayaan sendiri.  Untuk pelabuhan,  perlu diberikan dukungan  kepada  Pelindo II yang sedang gencar membangun/mengembangkan  Pelabuhan Tanjung Priok  (New Priok Port) lewat skema kerja sama dengan swasta dan pembiayaan sendiri. Sangat besar peluang para pengelola bandara dan pelabuhan bisa mencari  dana dari sumber-sumber pembiayaan  alternatif,  misalnya melalui penerbitan obligasi.

Perlu disadari bahwa  rencana pembatasan  porsi pembiayaan APBN tersebut  justru bisa berdampak positif karena BUMN-BUMN pengelola bandara/pelabuhan dapat lebih fleksibel  mengembangkan bandara/pelabuhannya, baik melalui pembiayaan sendiri  maupun secara kemitraan dengan pihak lain (swasta).   Hal ini juga akan berdampak positif bagi industri penerbangan/pelayaran nasional, karena  ketentuan itu  akan membuat pembangunan dan pengembangan bandara/pelabuhan  lebih merata ke daerah-daerah terpencil (remote area). (JAB)