Persoalan antrean yang dialami angkutan barang yang hendak menyeberang di jalur Merak-Bakauheni masih mengemuka pekan ini. Meskipun kemacetan sempat terurai, namun cuaca buruk dan gelombang tinggi kembali memicu antrean panjang. Situasi ini kembali memunculkan sentimen negatif. Disisi lain sejumlah langkah yang digulirkan Kemenhub untuk mengatasi kondisi yang beberapa waktu terakhir kerap terjadi di lintasan terpadat tersebut menuai sentimen negatif. Sentimen ini masuk dalam ranah isu yang lain, yakni isu tarif dan infrastruktur, namun disini pembahasannya akan dijadikan satu dengan isu jalur/trayek transportasi.
Antrean yang masih terjadi pekan ini mendapat sorotan dari kalangan pengamat dan pelaku usaha di sektor angkutan darat, seperti yang dilansir Suara Karya, Jumat (11/3), yakni:
1. Peneliti Laboratorium Transportasi, yang juga staf pengajar jurusan teknik sipil Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno.
2. Ketua Umum DPP Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor Jalan Raya (Organda) Eka Sari Lorena.
Djoko Setijowarno menilai kondisi Merak menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam memberikan perhatian terhadap pelayanan transportasi umum, khususnya sektor penyeberangan. Menurutnya pemerintah seharusnya serius mencari solusi yang cepat dan permanen dalam pelayanan penyeberangan truk dan kendaraan angkutan umum, seperti:
1. Menambah kapal penyeberangan sesuai kebutuhan yang optimal. Sebab, saat ini kapal yang beroperasi hanya 50 persen, sedangkan 50 persen lagi sedang dalam perbaikan (dock). Artinya, penambahan kapal roro menjadi mutlak.
2. Melakukan perbaikan terhadap lima dermaga yang ada.
3. Mengatur manajemen perbaikan kapal dengan baik. Sementara itu, kalangan pengusaha angkutan darat yang tergabung dalam Organda menyoroti kerugian yang mereka derita akibat antrean di Pelabuhan Merak sebesar Rp 1,5 miliar per hari. Kerugian itu disebabkan biaya tambahan yang harus dikeluarkan pengusaha akibat meningkatnya waktu tempuh.
Ketua Umum DPP Organda Eka Sari Lorena mengungkapkan, jumlah kerugian itu masih ditambah dengan hilangnya potensi pendapatan angkutan akibat terlambatnya pengiriman barang dan biaya tambahan yang harus dikeluarkan akibat lebih cepat rusaknya suku cadang kendaraan. Antrean juga menyebabkan inefisiensi biaya operasional jasa angkutan dan menurunnya produktivitas kendaraan. Akibatnya, harga komoditas yang dibawa pun meningkat.
Eka Sari menilai, penumpukan kendaraan di pelabuhan tersebut disebabkan tidak adanya upaya pemerintah sebagai regulator untuk mengantisipasi pertumbuhan kendaraan yang menggunakan jasa penyeberangan tersebut. Menurutnya kapasitas kapal yang melayani penyeberangan Merak-Bakauheni, nyaris tidak mengalami pertumbuhan dalam 10 tahun terakhir. Sementara dalam tiga tahun terakhir pertumbuhan kendaraan, khususnya truk, mencapai 8-10 persen. Selain itu perubahan ukuran truk dari light truck menjadi heavy truck juga menyebabkan berkurangnya kapasitas angkut kapal hingga 30 persen.
Sementara itu rencana pemerintah menetapkan tarif angkutan penyeberangan di lintasan Merak-Bakauheni berdasarkan tonase barang, dan bukan hanya biaya per kendaraan/truk sebagai rencana jangka menengah mengatasi kepadatan mendapat respon negatif dari kalangan pelaku usaha, seperti dilansir Bisnis Indonesia pada Selasa (8/3).
Harian ini mengutip pernyataan Sekretaris jenderal Dewan Pengurus Pusat Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Luthfi Syarief yang menilai pemberlakuan tarif berdasarkan tonase muatan kendaraan belum mendesak.
Menurutnya, untuk mendukung peremajaan kapal penyeberangan di Indonesia, pemerintah hanya perlu merevisi Keputusan Menteri Perhubungan nomor KM.38/2000 tentang Komponen Tarif Kapal Penyeberangan sehingga terjadi penyesuaian tarif. Salah satu komponen tarif yang perlu direvisi adalah penetapan harga kapal di dalam KM Perhubungan tersebut disesuaikan dengan harga kapal berusia muda. Luthfi menambahkan untuk mengatasi stagnasi muatan di Merak, salah satunya perlu dilakukan pemisahan ticketing antara penumpang dan kendaraan.
Disisi lain usulan memindahkan stasiun Kereta Api Merak untuk memperluas lapangan parkir di Pelabuhan Penyeberangan Merak sebagai upaya mengatasi kemacetan mengundang respon negatif dari sejumlah kalangan seperti dikutip Kompas, Rabu (9/3).
Harian ini melansir pernyataan dua opinion leader, yakni:
1. Wakil Ketua Forum Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia Aditya Dwi Laksana.
2. Juru Bicara Indonesian Railway Preservation Society (IRPS), Anzikriadi.
Aditya berpendapat ada langkah keliru dalam membenahi pelabuhan Merak. Seharusnya supaya tak lagi macet, maka jumlah kapal harus ditambah dan bukan dengan menggusur stasiun Merak. Menurutnya memperluas lapangan parkir hanya memindahkan antrean ke dalam pelabuhan. Ia bahkan mengingatkan zaman dulu stasiun kereta bahkan lebih dekat dengan bibir pantai sehingga penumpang kereta dapat langsung naik ke kapal tanpa harus berjalan kaki jauh.
Senada dengan Aditya, Anzikriadi mengingatkan pemerintah untuk tetap mempertahankan kereta api di pelabuhan. Ia mengatakan banyak pelabuhan di Indonesia yang tak terkoneksi lagi dengan jalur kereta, sehingga mengakibatkan biaya tambahan untuk double handling atau penanganan berganda.
Reaksi penolakan sejumlah kalangan atas langkah yang akan diambil Kemenhub dalam mengatasi kemacetan di lintas Merak-Bakauheni sejauh ini telah direspon. Terkait penolakan tarif berdasarkan berat muatan kapal, juru bicara Kemenhub menegaskan penerapan perhitungan tarif berdasarkan tonase itu masih memerlukan pembicaraan serius dengan pemilik kapal. Sementara terkait pemindahan Stasiun Merak, juru bicara Kemenhub membenarkan adanya revisi tata ruang di Merak sebab kemungkinan akan dibangun Dermaga VI. Dan kemungkinan stasiun Merak akan direlokasi dekat Dermaga I. Selain itu juga ditegaskan relokasi tersebut akan disusun dengan matang. (JAB)