Isu revisi UU Pelayaran kembali muncul pekan ini sejalan dengan dimulainya proses pembahasan usalan amandemen yang diajukan pemerintah di parlemen. Dan penolakan sebagian besar anggota dewan terhadap perubahan UU No 17 tahun 2008 tersebut mengemuka dalam rapat dengar pendapat antara DPR dan pemerintah. Sikap yang ditunjukkan anggota dewan tidak terlalu mengherankan mengingat dalam sejumlah pemberitaan sebelumnya penolakan sudah muncul.
Anggota dewan yang menyatakan keberatan terhadap rencana revisi itu berasal dari partai koalisi maupun non koalisi, seperti:
1. Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Riswan Tony.
2. Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS, Sigit Sosiantomo.
3. Wakil Ketua Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Muhidin M Said.
4. Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PDIP, Lazarus.
Dari keempat opinion leader tersebut, pernyataan Riswan Tony paling banyak dikutip media, bahkan ia menjadi opinion leader yang paling banyak menyumbang sentimen negatif pada pekan ini. Riswan menilai adanya muatan kepentingan asing dibalik revisi UU Pelayaran. Menurutnya, pemerintah tidak perlu merevisi UU Pelayaran, namun cukup menerbitkan keputusan menteri (Kepmen) atau peraturan pemerintah (Permen) untuk operasional kapal tipe C.
Di sisi lain Sigit menilai revisi UU Pelayaran justru akan menimbulkan kekhawatiran banyak pihak tentang tidak adanya kepastian atas batas akhir beroperasinya kapal-kapal asing di Indonesia. Karena itu usulan revisi pantas untuk ditolak. Sigit juga berpendapat jika hanya untuk membuat pengecualian, maka tidak perlu harus merevisi UU Pelayaran. Selain memakan waktu, juga untuk menjamin penerapan asas cabotage bisa mulai berjalan awal Mei nanti.
Pendapat senada diungkapkan Lazarus yang mengatakan bila UU Pelayaran direvisi, maka pelaksanaan asas cabotage akan mundur lagi. Penolakan juga diungkapkan Muhidin yang berpendapat UU Pelayaran tidak perlu direvisi karena ini demi kepentingan nasional. Menurutnya, jika industri perkapalan dalam negeri mampu, maka tidak perlu ada revisi.
Sedikit berbeda dengan media lain, Bisnis Indonesia mengutip pernyataan Riswan Tony yang lebih banyak memberikan sorotan terhadap regulator di sektor minyak dan gas bumi yang dinilai memberikan informasi yang menyesatkan kepada Presiden terkait usulan revisi UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Selain itu Bisnis Indonesia, Kontan, dan Suara Karya cenderung menggunakan sudut pandang oeprator atau DPR dalam membidik isu ini. Sebaliknya Investor Daily dan Suara Pembaruan menggunakan sudut pandang regulator, meskipun dalam pemberitaannya kedua media juga mengutip pernyataan anggota dewan yang cenderung negatif. Sementara Jakarta Post dan Kompas mengambil sudut pandang dari sisi regulator di sektor migas, sehingga pemberitaannya cenderung netral.
Bisnis Indonesia juga melansir pemberitaan yang menyoroti keberadaan asas cabotage yang dijadikan kambing hitam. Harian ini mengulas penyebab tidak tercapainya target lifting minyak yang bersumber pada kebijakan fiskal -yang mencakup perpajakan dan lemahnya dukungan pembiayaan dalam negeri- dan bukan akibat dari kebijakan di sektor pelayaran khususnya penerapan asas cabotage.
Bisnis Indonesia mengutip pernyataan Saut Gurning, Dosen Maritim Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, yang berpendapat sektor pelayaran dalam bisnis migas tidak terlalu dominan perannya, karena sifatnya hanya sebagai penunjang operasional, sehingga keliru jika sektor ini disalahkan setelah target lifting minyak tidak tercapai. Untuk itu dia mendesak pemerintah agar menyelesaikan masalah hambatan produksi minyak mentah nasional guna mendukung operator kapal berbendera asing beralih menggunakan bendera Merah Putih.
Respon awal yang ditunjukkan sebagian besar anggota dewan memberikan gambaran atas proses amandemen yang kemungkinan akan berjalan cukup alot. Sejumlah alternatif solusi yang ditawarkan anggota dewan menjadi opsi yang perlu dikaji dan dipertimbangkan. (JAB)