Parahnya lagi, Kalitta Air, perusahaan penerbangan kargo Amerika yang mengalami kecelakaan parah saat melakukan take off di bandara Brussels, Belgia, 25 Mei 2008 lalu, tidak terkena sanksi apa pun. Akibat kecelakaan tersebut, pesawat jenis Boeing 747-200 milik maskapai yang bermarkas di Ypsilanti, Michigan, itu terbelah menjadi dua bagian (foto terlampir).
"Kecelakaan itu jelas-jelas terjadi di depan mata mereka, tempat yang menjadi jantungnya UE, tetapi mengapa mereka diam saja? Sedangkan maskapai Indonesia yang sedang tidak ada jadwal terbang ke negara-negara Eropa, malah di-banned," keluh Bambang.
Bambang juga me-review, hanya selang beberapa hari setelah larangan terbang dikeluarkan, keluarga kerajaan Belgia malah pergi ke Indonesia dan dua kali menumpang pesawat Garuda Indonesia. "Pertama dari Denpasar, Bali, ke Makassar, Ujung Pandang (11/08/2007) dan dari Makassar ke Denpasar (15/08/2007). Tapi kok mereka santai-santai saja? Kalau dibilang tidak aman, kenapa mereka berani naik Garuda?" ujarnya.
Mencla-Mencle
Bambang kemudian mengkritik isi siaran pers yang dikeluarkan Kedutaan UE di Jakarta, Jumat. Dikatakannya, UE dinilai tidak punya pendirian terkait dengan alasan pelarangan yang selalu membawa-bawa nama organisasi penerbangan sipil internasional (International Civil Aviation Organization/ICAO) sebagai alasan pelarangan, dinilai tidak punya pendirian.
"Sikap UE mencla-mencle (tidak konsisten). Selalu bawa-bawa ICAO sebagai alasan. Isi dalam siaran persnya, dari waktu ke waktu sejak larangan terbang keluar, selalu sama. Selalu mengatakan bahwa kita tidak pernah melakukan upaya-upaya perbaikan seperti yang diminta ICAO. Apa mereka tidak melihat bahwa kita sudah melakukan banyak perubahan selama ini?" katanya.
"Ketentuan ICAO, kalau diminta untuk dijadikan standar, oke, itu betul. Kita sendiri kan anggota ICAO. Jadi, apa pun yang kita lakukan, pasti akan selalu mengacu pada standar ICAO", kata Bambang. Seperti telah diberitakan Dephub melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebenarnya telah memenuhi aturan-aturan teknis yang direkomendasikan ICAO berdasarkan auditnya tersebut. Dari 69 temuan ICAO itu, 61 persen lebih (sebanyak 43 temuan) yang terkait masalah teknis dengan maskapai, sudah di laksanakan sesuai rekomendasi, sedangkan yang 38 persen lebih rekomendasi sisanya atau sebanyak 18 temuan, bukan lagi terkait dengan masalah teknis penerbangan seperti yang dipermasalahkan (semula) oleh Uni Eropa tetapi terkait aspek-aspek yang menjadi domain regulator (Pemerintah). Rekomendasi itu telah dimasukkan dalam draf Rancangan Undang-undang Penerbangan yang saat ini tengah menunggu persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk disahkan menjadi Undang-undang Penerbangan baru. ICAO sendiri tidak mempermasalahkan hal ini, tetapi Uni Eropa sebaliknya justru mempermasalahkan hal ini. "ICAO memahami dan bisa menerima upaya-upaya yang kita lakukan," demikian dikatakan Menhub.
Uni Eropa juga menjadikan FAA sebagai alasan, tapi FAA sendiri tidak pernah melarang terbang maskapai Indonesia ke Amerika. Perusahaan carter Indonesia masih ada yang terbang ke sana. "UE, seperti yang Pak Menteri bilang, memang semata-mata hanya ingin menyalahkan dan mempermalukan Indonesia di mata dunia," papar Bambang. Selain itu sebagaimana dipaparkan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, pada jumpa pers Kamis 24/7/08, ICAO sendiri secara tegas dalam surat resminya kepada otoritas penerbangan Indonesia menyebutkan bahwa laporan hasil audit yang dilakukannya tidak boleh digunakan untuk menghukum maskapai karena semata-mata untuk kepentingan peningkatan keselamatan penerbangan.
"Pernyataan resmi tersebut disampaikan ICAO secara tertulis, menjawab pertanyaan kita, Januari 2008 lalu, apakah dibenarkan hasil audit ICAO bisa digunakan untuk memberikan sanksi maskapai negara lain. ICAO menjawab, tidak boleh," kata Bambang.
Sikap tersebut, menurutnya, tak jauh berbeda dengan sikap Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang juga tidak mengizinkan laporan hasil auditnya dijadikan bukti dalam persidangan di pengadilan.
Tentang permintaan UE agar otoritas penerbangan Indonesia, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, untuk menjadi lembaga yang independen terpisah dari Dephub, mustahil untuk dipenuhi. "Negara kita tidak mengenal itu. Semua lembaga direktorat jenderal merupakan bagian dari lembaga departemen. Kalau yang dipermasalahkan independensi, kan tidak berarti harus pisah," kata Bambang. "Kalau terus menuntut Ditjen Perhubungan Udara pisah dari Dephub, itu sudah terlalu jauh mencampuri urusan negara orang," ungkapnya.
Terkait pemisahan itu, lanjut Bambang, Menhub pun pernah mengungkapkannya langsung kepada Perwakilan Komisi Keselamatan Penerbangan Uni Eropa untuk Indonesia, Jean Pierre Ambrosini. "Pak Menteri bilang, kita akan turuti permintaan (pemisahan) itu, nanti kalau Indonesia jadi anggota Uni Eropa," ujarnya.
Sebagaimana diberitakan, tujuan UE mengutus Jean Pierre Ambrosini waktu itu adalah untuk memfasilitasi komunikasi Indonesia dengan UE dalam hal percepatan pencabutan larangan terbang. "Tetapi apa hasilnya? Ambrosini malah kasih kita info-info yang menyusahkan, yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan itu. Jadi, Ambrosini yang mereka kirim sama sekali tidak berguna buat kita, cuma bikin repot," tegas Bambang. (DIP)
Foto-Foto Kecelakaan Pesawat Kalitta Air di Brussels, Belgia, 25 Mei 2008