Tetapi, Menhub menegaskan, langkah tersebut tidak akan dilakukan Indonesia sebagai civilize nation. "Ini bukan masalah berani atau tidak berani. Kita tidak akan mengambil langkah boikot terhadap maskapai mereka, misalnya KLM, Lufthansa, dll. Itu namanya counter isolation. Kita tidak akan lakukan itu. Kita hanya mau katakan kepada mereka, apakah yang mereka lakukan itu benar-benar menciptakan keselamatan penerbangan," ujar Menhub, Senin (28/7).
Ditegaskan kembali oleh Menhub, sebagai bangsa beradab dan berbudaya (civilize nation), Indonesia menghormati keputusan UE untuk melakukan larangan terbang. Terlebih, sejauh ini Indonesia memiliki hubungan baik dengan negara-negara UE. Sementara di sisi lain pun, arus turisme Eropa ke Indonesia hingga saat ini masih terbilang tinggi.
"Karena turisme dari UE akan datang, kalau mereka menutup peluang penerbangan di udaranya, Indonesia sebenarnya open kepada banyak maskapai seperti Singapura, Malaysia, India, dll. Kita akan bekerja sama dengan negara-negara yang membuka penerbangan bagi Indonesia," ujarnya.
Presiden SBY sendiri, ujar Menhub, meminta agar Komisi Uni Eropa melihat hubungan baik tersebut dijadikan salah satu tolok ukur penilaian. UE sebagai kesatuan, diminta melihat masalah ini dengan rasa saling hormat menghormati. Presiden juga meminta Komisi Eropa tidak mengeluarkan keputusan melalui lembaga di bawahnya yang bersifat bisnis.
"Kami menilai UE itu kawan karena sering membantu Indonesia, meskipun kali ini tidak. Bahkan seperti yang dikatakan Pak Wapres, kita tidak harus sakit hati ataupun marah, juga tidak melihat larangan UE sebagai ancaman. Tetapi sebagai cambuk untuk memperbaiki tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan," papar Menhub.
Namun, Menhub kembali menegaskan, upaya memperbaiki tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan yang telah dan akan terus dilakukan ke depan, tidak ditentukan dan semata-mata untuk menyenangkan UE. "Kiblat dan acuan keselamatan penerbangan kita adalah ICAO, bukan Uni Eropa, karena kita sudah berkomitmen dengan ICAO melalui melalui penandatanganan deklarasi di Bali waktu itu, langsung bersama Presiden ICAO (Roberto Kobeh Gonzales)," kata Menhub.
"UE biarlah melakukan apa yang mereka sukai. Saya tidak mau menggunakan kata boikot. Tapi saya ingin mengatakan, kita akan memfokuskan perhatian kita dan membangun kerjasama dengan negara-negara yang juga menghormati Indonesia. Tapi, selanjutnya kita akan serahkan kepada Deplu," lanjutnya. Ke depan, lanjut Menhub, jika UE mengajukan diri untuk mengadakan audit sepeti yang dilakukan sejumlah negara seperti Australia, Indonesia tetap akan membuka diri.
Ketika dihubungi terpisah, pengamat penerbangan Kemis Martono mengatakan, Indonesia memiliki kemampuan untuk menyerang balik Uni Eropa dengan memboikot pesawat-pesawatnya yang melintas dan mendarat di bandara-bandara Indonesia. Selain itu, Indonesia juga berkemampuan memutus perjanjian kerja sama penerbangan bilateral dengan negara-negara anggota UE.
"Dalam perjanjian disebutkan, salah satu pihak bisa mengundurkan diri secara sepihak," ujarnya. Bahkan, ketika menutup wilayah udara pun, menurut Martono, Indonesia pun tidak akan kena penalti. Karena kita tidak ikut menandatangani international air service transit agreement atau perjanjian pelayanan lintas udara internasional.
"Tahun 50-an, kita pernah tegas melarang KLM (Belanda) yang mau ke Australia melintasi udara kita. Jadi, dia harus lewat kutub utara dulu. Selisih waktunya jadi lebih panjang sekitar 6 jam. Kita rugi, tetapi mreka juga rugi. Tetapi, semua tergantung pemerintah. (Boikot) itu opsi terakhir. Karena harus dipertimbangkan sisi ekonomi, politik, hukum, dsb," ungkapnya.
Martono sendiri mengaku aneh melihat sikap inkonsistensi yang ditunjukkan Uni Eropa terkait larangan terbangnya terhadap Indonesia. "Mereka larang pesawat kita ke sana karena nggak percaya dan mengangap penerbangan kita nggak aman. Tetapi mereka membiarkan pesawat-pesawatnya melintas di wilayah udara dan malah mendarat di bandara-bandara yang kita kelola. Ini kan aneh," imbuhnya.
Untuk menyikapi inkonsistensi Uni Eropa, Menhub sendiri telah mengambil kebijakan untuk tidak menyetujui kerja sama unilateral (horizontal agreement) di bidang perdagangan dengan Uni Eropa, selama larangan terbang belum dicabut. "Selama ini kan bilateral, dengan tiap-tiap negara. Tapi kalau horziontal, maka itu atas nama seluruh negara anggota, kita tidak mau tandatangani. Selama mereka tidak memberikan kesempatan yang sama kepada maskapai Indonesia untuk dihormati, maka kita tidak akan menandatangani horziontal agreement itu," ujarnya. (DIP)
Ditegaskan kembali oleh Menhub, sebagai bangsa beradab dan berbudaya (civilize nation), Indonesia menghormati keputusan UE untuk melakukan larangan terbang. Terlebih, sejauh ini Indonesia memiliki hubungan baik dengan negara-negara UE. Sementara di sisi lain pun, arus turisme Eropa ke Indonesia hingga saat ini masih terbilang tinggi.
"Karena turisme dari UE akan datang, kalau mereka menutup peluang penerbangan di udaranya, Indonesia sebenarnya open kepada banyak maskapai seperti Singapura, Malaysia, India, dll. Kita akan bekerja sama dengan negara-negara yang membuka penerbangan bagi Indonesia," ujarnya.
Presiden SBY sendiri, ujar Menhub, meminta agar Komisi Uni Eropa melihat hubungan baik tersebut dijadikan salah satu tolok ukur penilaian. UE sebagai kesatuan, diminta melihat masalah ini dengan rasa saling hormat menghormati. Presiden juga meminta Komisi Eropa tidak mengeluarkan keputusan melalui lembaga di bawahnya yang bersifat bisnis.
"Kami menilai UE itu kawan karena sering membantu Indonesia, meskipun kali ini tidak. Bahkan seperti yang dikatakan Pak Wapres, kita tidak harus sakit hati ataupun marah, juga tidak melihat larangan UE sebagai ancaman. Tetapi sebagai cambuk untuk memperbaiki tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan," papar Menhub.
Namun, Menhub kembali menegaskan, upaya memperbaiki tingkat keselamatan dan keamanan penerbangan yang telah dan akan terus dilakukan ke depan, tidak ditentukan dan semata-mata untuk menyenangkan UE. "Kiblat dan acuan keselamatan penerbangan kita adalah ICAO, bukan Uni Eropa, karena kita sudah berkomitmen dengan ICAO melalui melalui penandatanganan deklarasi di Bali waktu itu, langsung bersama Presiden ICAO (Roberto Kobeh Gonzales)," kata Menhub.
"UE biarlah melakukan apa yang mereka sukai. Saya tidak mau menggunakan kata boikot. Tapi saya ingin mengatakan, kita akan memfokuskan perhatian kita dan membangun kerjasama dengan negara-negara yang juga menghormati Indonesia. Tapi, selanjutnya kita akan serahkan kepada Deplu," lanjutnya. Ke depan, lanjut Menhub, jika UE mengajukan diri untuk mengadakan audit sepeti yang dilakukan sejumlah negara seperti Australia, Indonesia tetap akan membuka diri.
Ketika dihubungi terpisah, pengamat penerbangan Kemis Martono mengatakan, Indonesia memiliki kemampuan untuk menyerang balik Uni Eropa dengan memboikot pesawat-pesawatnya yang melintas dan mendarat di bandara-bandara Indonesia. Selain itu, Indonesia juga berkemampuan memutus perjanjian kerja sama penerbangan bilateral dengan negara-negara anggota UE.
"Dalam perjanjian disebutkan, salah satu pihak bisa mengundurkan diri secara sepihak," ujarnya. Bahkan, ketika menutup wilayah udara pun, menurut Martono, Indonesia pun tidak akan kena penalti. Karena kita tidak ikut menandatangani international air service transit agreement atau perjanjian pelayanan lintas udara internasional.
"Tahun 50-an, kita pernah tegas melarang KLM (Belanda) yang mau ke Australia melintasi udara kita. Jadi, dia harus lewat kutub utara dulu. Selisih waktunya jadi lebih panjang sekitar 6 jam. Kita rugi, tetapi mreka juga rugi. Tetapi, semua tergantung pemerintah. (Boikot) itu opsi terakhir. Karena harus dipertimbangkan sisi ekonomi, politik, hukum, dsb," ungkapnya.
Martono sendiri mengaku aneh melihat sikap inkonsistensi yang ditunjukkan Uni Eropa terkait larangan terbangnya terhadap Indonesia. "Mereka larang pesawat kita ke sana karena nggak percaya dan mengangap penerbangan kita nggak aman. Tetapi mereka membiarkan pesawat-pesawatnya melintas di wilayah udara dan malah mendarat di bandara-bandara yang kita kelola. Ini kan aneh," imbuhnya.
Untuk menyikapi inkonsistensi Uni Eropa, Menhub sendiri telah mengambil kebijakan untuk tidak menyetujui kerja sama unilateral (horizontal agreement) di bidang perdagangan dengan Uni Eropa, selama larangan terbang belum dicabut. "Selama ini kan bilateral, dengan tiap-tiap negara. Tapi kalau horziontal, maka itu atas nama seluruh negara anggota, kita tidak mau tandatangani. Selama mereka tidak memberikan kesempatan yang sama kepada maskapai Indonesia untuk dihormati, maka kita tidak akan menandatangani horziontal agreement itu," ujarnya. (DIP)