Lebih lanjut Budhi menjelaskan bahwa saat ini untuk rute Jakarta – Singapura Indonesia baru 5 penerbangan sedangkan dari Singapura sudah 11 penerbangan. Itu pun maskapai penerbangan Indonesia biasa memakai Boeing 737 sementara Singapura 777 atau bahkan kadang-kadang 747. "Dilihat dari hal ini sebenarnya sudah terjadi ketimpangan dari kapasitas yang disepakati" ujar Budhi.
Oleh karena itu Budhi menegaskan bahwa setiap upaya untuk penambahan rute penerbangan antar negara dimanapun harus mengacu pada kerangka billateral service agreement yang ada secara keseluruhan. Ketentuan tersebut perlu diperhatikan dan menjadi acuan mengingat Indonesia sebagai negara anggota ICAO. "Nanti kita akan mencoba melihat secara keseluruhan, tidak hanya Singapura tetapi juga titik-titik lain apakah perlu penambahan seat atau frekwensi penerbangan," kata Budhi. Menurut Budhi untuk pengkajian ini perlu dipertimbangkan berbagai hal seperti airport competitiveness dan juga sejauhmana kemampuan maskapai penerbangan untuk bersaing dalam melayani point to point services dan juga apakah ada kepentingan-kepentingan lain selain tourism.
Terkait dengan penambahan seat atau frekwensi penerbangan Denpasar-Singapura, sebelumnya INACA melansir perlunya Pemerintah membagi rata penambahan penerbangan kepada maskapai asing tidak hanya Singapura Airlines. (BRD)