"Uni Eropa tidak fair. Tidak semua maskapai Indonesia buruk, tetapi kenapa harus seluruh maskapai yang dilarang terbang. Ini tidak adil," ujar Chief Executive Officer Mandala Warwick Brady, di sela penandatanganan nota kerja sama sistem pemesanan tiket dengan perusahaan operator seluler Indosat di Jakarta, Selasa (29/7).
Warwick mengungkapkan, dirinya sangat kecewa terhadap sikap Komisi UE yang secara membabi-buta dalam menerapkan larangan terbangnya tersebut. Alasannya, Warwick menyebutkan, selain mengoperasikan sejumlah pesawat baru rakitan Eropa (Airbus), Mandala juga menerapkan sistem manajemen perusahaan yang juga mengadopsi Eropa.
"Kami pakai pesawat-pesawat baru dari Eropa. Sistem keselamatan dan keamanan (safety) kami, juga mengadopsi sistemnya Uni Eropa. Bahkan, kami juga telah secara terbuka mempersilakan siapa saja untuk melakukan audit terhadap Mandala. Tetapi, kenapa kami juga ikut-ikutan dilarang terbang Uni Eropa?" tegas Warwick dengan nada tinggi.
Terlebih, lanjut dia, saat ini Mandala tengah menjalani tahap finalisasi sertifikasi audit keselamatan dari International Air Transport Association (IATA), yaitu IATA Operational Safety Audit (IOSA). "Proses auditnya sudah hampir selesai, tinggal menunggu hasilnya. Itu tergantung proses yang dilakukan IATA . Kami sudah menyerahkan semua syarat-syarat yang diminta IATA," paparnya, seraya mempertanyakan apa sesungguhnya motivasi UE dengan larangan terbangnya tersebut.
Hingga saat ini, Warwick menambahkan, Mandala sendiri tidak memiliki keinginan membuka jalur penerbangan ke kawasan Eropa. Karena itulah, Mandala tidak terkena imbas langsung dengan larangan terbang yang dikeluarkannya. "Kita tidak pernah berencana terbang ke Eropa. Konsentrasi kita adalah penerbangan regional di kawasan Asia Pasifik dan domestik. Kita tidak mau ke Eropa," ujarnya.
Namun, dia menambahkan, secara tidak langsung, larangan terbang tersebut juga turut memberikan pengaruh. Antara lain berkurangnya pemasukan perusahaan dari sisi penjualan tiket kepada turis-turis asal Eropa, serta tercemarnya reputasi Mandala di mata internasional. "Karena UE tidak hanya melarang terbang, tetapi juga melarang penduduk dan tidak mengizinkan operator-operator di sana untuk untuk mem-booking pesawat Indonesia, termasuk Mandala," katanya.
Hal senada juga disampaikan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar. Pada kesempatan terpisah, Emirsyah yang juga mengetuai Indonesia National Air Carriers Association (INACA), mempertanyakan motivasi sesungguhnya Uni Eropa di balik larangan terbangnya.
"Kita akan mengirimkan surat ke UE, mempertanyakan alasan sesungguhnya kenapa Garuda juga tetap di-ban. Pasti ada alasan yang melatarbelakangi tindakan pemerintah Uni Eropa tersebut," ujarnya, di sela peluncuran Garuda Indonesia Tenis Series 2008, Selasa.
Emirsyah menegaskan, sikap yang akan ditempuh perusahaannya itu dilakukan kendati Garuda secara langsung tidak terkena dampak atas larangan tersebut. Karena, katanya, selama ini Garuda juga belum ada pesawat yang langsung ke Eropa. "Tidak ada impact langsung ke Garuda. Kerugian juga tidak signifikan, hanya di bawah 1 persen dari total pendapatan kami yang mencapai USD 1 miliar per tahun," tegasnya, seraya menambahkan bahwa meskipun tidak ada larangan terbang, Garuda juga belum bisa membuka penerbangan langsung ke Eropa. "Kita belum punya pesawat yang mampu untuk terbang ke sana."
Kerugian yang hanya setara Rp 9 juta dari pendapatan USD 750 per bulan tersebut, papar Emirsyah, berasal dari aktivitas penjualan tiket kepada masyarakat Eropa yang mau ke Indonesia. "Tetapi, mereka sebelumnya menggunakan maskapai dari Eropa. Jadi penjualan tiket ini yang turun sebesar 50 persen," ujarnya.
Namun, lanjut dia, akibat larangan tersebut citra Garuda sebagai satu-satu maskapai Indonesia yang mempunyai sertifikat keselamatan terbang IOSA, ikut tercoreng. "IOSA itu standar keamanan terbang yang diakui dunia. Sertifikasi IATA ini lebih complicated dari ICAO," katanya.
Dengan sertifikasi IOSA tersebut, tegasnya, posisi Garuda Indonesia secara otomatis sejajar dengan maskapai-maskapai internasional lain yang tergabung dalam IATA. "Kita mempunyai hak untuk bertanya. Dalam hal ini, karena kita sudah memegang standar tersebut namun masih dilarang," imbuh Emirsyah.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal juga telah menyampaikan hal serupa yang dikeluhkan para pengelola maskapai tersebut kepada pihak Uni Eropa. Menhub menilai, UE tidak fokus dalam menerapkan larangan terbangnya. "Kalau mau nge-ban, ya sudah, yang bermasalah saja mereka ban. Jangan semuanya kena, karena belum tentu semuanya salah," ujarnya.
Menhub menegaskan, kecelakaan bisa terjadi tanpa pandang bulu. Kecelakaan juga tidak juga mengenal kondisi dan dapat memilih siapa yang harus terlibat. "Kecelakaan bisa terjadi di mana pun, kapan pun, dan terhadap siapa pun. Bisa melibatkan pesawat yang bagus, bandara yang bagus, maskapai yang menerapkan standar yang bagus, juga bisa terjadi negara yang memiliki regulasi bagus," katanya. (DIP)
Warwick mengungkapkan, dirinya sangat kecewa terhadap sikap Komisi UE yang secara membabi-buta dalam menerapkan larangan terbangnya tersebut. Alasannya, Warwick menyebutkan, selain mengoperasikan sejumlah pesawat baru rakitan Eropa (Airbus), Mandala juga menerapkan sistem manajemen perusahaan yang juga mengadopsi Eropa.
"Kami pakai pesawat-pesawat baru dari Eropa. Sistem keselamatan dan keamanan (safety) kami, juga mengadopsi sistemnya Uni Eropa. Bahkan, kami juga telah secara terbuka mempersilakan siapa saja untuk melakukan audit terhadap Mandala. Tetapi, kenapa kami juga ikut-ikutan dilarang terbang Uni Eropa?" tegas Warwick dengan nada tinggi.
Terlebih, lanjut dia, saat ini Mandala tengah menjalani tahap finalisasi sertifikasi audit keselamatan dari International Air Transport Association (IATA), yaitu IATA Operational Safety Audit (IOSA). "Proses auditnya sudah hampir selesai, tinggal menunggu hasilnya. Itu tergantung proses yang dilakukan IATA . Kami sudah menyerahkan semua syarat-syarat yang diminta IATA," paparnya, seraya mempertanyakan apa sesungguhnya motivasi UE dengan larangan terbangnya tersebut.
Hingga saat ini, Warwick menambahkan, Mandala sendiri tidak memiliki keinginan membuka jalur penerbangan ke kawasan Eropa. Karena itulah, Mandala tidak terkena imbas langsung dengan larangan terbang yang dikeluarkannya. "Kita tidak pernah berencana terbang ke Eropa. Konsentrasi kita adalah penerbangan regional di kawasan Asia Pasifik dan domestik. Kita tidak mau ke Eropa," ujarnya.
Namun, dia menambahkan, secara tidak langsung, larangan terbang tersebut juga turut memberikan pengaruh. Antara lain berkurangnya pemasukan perusahaan dari sisi penjualan tiket kepada turis-turis asal Eropa, serta tercemarnya reputasi Mandala di mata internasional. "Karena UE tidak hanya melarang terbang, tetapi juga melarang penduduk dan tidak mengizinkan operator-operator di sana untuk untuk mem-booking pesawat Indonesia, termasuk Mandala," katanya.
Hal senada juga disampaikan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar. Pada kesempatan terpisah, Emirsyah yang juga mengetuai Indonesia National Air Carriers Association (INACA), mempertanyakan motivasi sesungguhnya Uni Eropa di balik larangan terbangnya.
"Kita akan mengirimkan surat ke UE, mempertanyakan alasan sesungguhnya kenapa Garuda juga tetap di-ban. Pasti ada alasan yang melatarbelakangi tindakan pemerintah Uni Eropa tersebut," ujarnya, di sela peluncuran Garuda Indonesia Tenis Series 2008, Selasa.
Emirsyah menegaskan, sikap yang akan ditempuh perusahaannya itu dilakukan kendati Garuda secara langsung tidak terkena dampak atas larangan tersebut. Karena, katanya, selama ini Garuda juga belum ada pesawat yang langsung ke Eropa. "Tidak ada impact langsung ke Garuda. Kerugian juga tidak signifikan, hanya di bawah 1 persen dari total pendapatan kami yang mencapai USD 1 miliar per tahun," tegasnya, seraya menambahkan bahwa meskipun tidak ada larangan terbang, Garuda juga belum bisa membuka penerbangan langsung ke Eropa. "Kita belum punya pesawat yang mampu untuk terbang ke sana."
Kerugian yang hanya setara Rp 9 juta dari pendapatan USD 750 per bulan tersebut, papar Emirsyah, berasal dari aktivitas penjualan tiket kepada masyarakat Eropa yang mau ke Indonesia. "Tetapi, mereka sebelumnya menggunakan maskapai dari Eropa. Jadi penjualan tiket ini yang turun sebesar 50 persen," ujarnya.
Namun, lanjut dia, akibat larangan tersebut citra Garuda sebagai satu-satu maskapai Indonesia yang mempunyai sertifikat keselamatan terbang IOSA, ikut tercoreng. "IOSA itu standar keamanan terbang yang diakui dunia. Sertifikasi IATA ini lebih complicated dari ICAO," katanya.
Dengan sertifikasi IOSA tersebut, tegasnya, posisi Garuda Indonesia secara otomatis sejajar dengan maskapai-maskapai internasional lain yang tergabung dalam IATA. "Kita mempunyai hak untuk bertanya. Dalam hal ini, karena kita sudah memegang standar tersebut namun masih dilarang," imbuh Emirsyah.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal juga telah menyampaikan hal serupa yang dikeluhkan para pengelola maskapai tersebut kepada pihak Uni Eropa. Menhub menilai, UE tidak fokus dalam menerapkan larangan terbangnya. "Kalau mau nge-ban, ya sudah, yang bermasalah saja mereka ban. Jangan semuanya kena, karena belum tentu semuanya salah," ujarnya.
Menhub menegaskan, kecelakaan bisa terjadi tanpa pandang bulu. Kecelakaan juga tidak juga mengenal kondisi dan dapat memilih siapa yang harus terlibat. "Kecelakaan bisa terjadi di mana pun, kapan pun, dan terhadap siapa pun. Bisa melibatkan pesawat yang bagus, bandara yang bagus, maskapai yang menerapkan standar yang bagus, juga bisa terjadi negara yang memiliki regulasi bagus," katanya. (DIP)