Sekretaris Jenderal Departemen Perhubungan H Harjogi mengungkapkan, hingga saat ini penetapan tarif ekonomi angkutan laut yang ditetapkan belum mencapai cost recovery. "Karena itu, secara bertahap selalu dipertimbangkan," ujarnya, di sela Rakornas Perhubungan Kadin, Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (12/5).
Menurutnya, ada dua hal yang menjadi dasar pertimbangan. Salah satunya adalah terkait daya jangkau masyarakat. Sementara di lain sisi, petimbangan juga meliputi keberlangsungan perusahaan pelayaran yang menyelenggarakan itu. "Kecuali (penyelenggaraan angkutan) itu memang dilakukan pemerintah," kata Harijogi.
Namun, lanjut Harijogi, pemerintah akan tetap mempertahankan tarif untuk rute-rute perintis yang masih dinilai perlu diberikan subsidi, termasuk untuk daerah-daerah terpencil. Sementara tarif untuk rute-rute yang bersifat komersial, kenaikan akan dirancang perlahan. "Dengan tetap memperhatikan daya beli masyarakat," ungkapnya. Harijogi menegaskan, jika penyeberangan laut tersebut masih berada di wilayah provinsi yang sama, maka pertimbangan soal penyesuaian tarif menjadi kewenangan provinsi terkait. "Tetapi ketika sudah antarprovinsi, maka akan menjadi kewenangan Departemen Perhubungan," tegasnya.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) menilai, tarif menjadi kendala pada angkutan penyeberangan. Anggota Bidang Usaha dan Tarif DPP Gapasdap Rahmatika Ardianto mengatakan, jumlah kapal ferry di Indonesia saat ini baru 210 armada, sedangkan sementara jumlah lintasan yang ada mencapai lebih dari 200 lintasan. "Kapal ferry sangat dibutuhkan di negara kepulauan seperti Indonesia, Jepang, dan Filipina," ujarnya dalam Rakornas.
Rahmatika mengatakan, tarif diatur secara ketat oleh pemerintah sehingga mengakibatkan ongkos angkutan penyeberangan di Indonesia sangat rendah jika dibandingkan dengan biaya operasional dan moda transportasi lainnya. Selain itu, menurutnya, industri angkutan penyeberangan juga dibatasi oleh aturan internasional mengenai kepengawakan, kepelabuhanan, survei dan pengedokan. "Ketiga aturan tersebut menimbulkan komponen biaya tinggi namun tidak diimbangi dengan penyesuaian tarif," pungkasnya. (DIP)
Menurutnya, ada dua hal yang menjadi dasar pertimbangan. Salah satunya adalah terkait daya jangkau masyarakat. Sementara di lain sisi, petimbangan juga meliputi keberlangsungan perusahaan pelayaran yang menyelenggarakan itu. "Kecuali (penyelenggaraan angkutan) itu memang dilakukan pemerintah," kata Harijogi.
Namun, lanjut Harijogi, pemerintah akan tetap mempertahankan tarif untuk rute-rute perintis yang masih dinilai perlu diberikan subsidi, termasuk untuk daerah-daerah terpencil. Sementara tarif untuk rute-rute yang bersifat komersial, kenaikan akan dirancang perlahan. "Dengan tetap memperhatikan daya beli masyarakat," ungkapnya. Harijogi menegaskan, jika penyeberangan laut tersebut masih berada di wilayah provinsi yang sama, maka pertimbangan soal penyesuaian tarif menjadi kewenangan provinsi terkait. "Tetapi ketika sudah antarprovinsi, maka akan menjadi kewenangan Departemen Perhubungan," tegasnya.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) menilai, tarif menjadi kendala pada angkutan penyeberangan. Anggota Bidang Usaha dan Tarif DPP Gapasdap Rahmatika Ardianto mengatakan, jumlah kapal ferry di Indonesia saat ini baru 210 armada, sedangkan sementara jumlah lintasan yang ada mencapai lebih dari 200 lintasan. "Kapal ferry sangat dibutuhkan di negara kepulauan seperti Indonesia, Jepang, dan Filipina," ujarnya dalam Rakornas.
Rahmatika mengatakan, tarif diatur secara ketat oleh pemerintah sehingga mengakibatkan ongkos angkutan penyeberangan di Indonesia sangat rendah jika dibandingkan dengan biaya operasional dan moda transportasi lainnya. Selain itu, menurutnya, industri angkutan penyeberangan juga dibatasi oleh aturan internasional mengenai kepengawakan, kepelabuhanan, survei dan pengedokan. "Ketiga aturan tersebut menimbulkan komponen biaya tinggi namun tidak diimbangi dengan penyesuaian tarif," pungkasnya. (DIP)