Sekitar 106 tahun silam dia terlahir. Namun, suaranya tetap keras dan lantang terdengar. Tak terselip sedikitpun parau di antaranya. Jeritannya terdengar begitu nyaring.



Tubuhnya tegap. Kaki-kakinya yang tetap kokoh dan kekar, tampak begitu bersemangat untuk berlari menapaki jalan mendaki sepanjang sekitar 9 kilometer itu. Tak ada keluh dan kesah, meski sesekali bentangan besi licin yang ditapakinya itu nyaris membuat kaki-kakinya terkilir. Mendengar teriakannya yang lantang, jelas dia ingin berkata kepada seluruh penduduk di setiap desa yang dilaluinya, Wahai penduduk desa, lihatlah aku... Aku memang tua, tetapi aku  tetap gagah, bukan..? Lihatlah, lihatlah aku...!!!  Tuuut tuuut!!! Tuuut tuuut tuuut!!!



Tak hanya para penduduk desa, sekitar lima puluh pria dan wanita yang berada dalam gerbong kayu yang ditariknya pun tampak begitu terkagum-kagum. Asyik ya naik kereta ini, kita terasa seperti di film-film saja. Seru...! ujar salah seorang anggota rombongan.



Apa yang dikatakan pria itu memang benar adanya. Kereta api memang mampu memberikan sensasi tersendiri kepada para penumpangnya. Sensasi yang tidak dimiliki oleh moda angkutan jenis lain. Terlebih, kereta api yang mereka tumpangi itu turut mengisi lembaran sejarah bangsa ini.



Ya, kereta api yang ditumpangi rombongan pegawai Departemen Perindustrian yang tengah berwisata tersebut, merupakan satu dari sekian banyak aset kebanggaan  Museum Kereta Api Ambarawa yang masih laik untuk difungsikan. Kereta api bermesin lokomotif uap rakitan ke 3243 perusahaan asal Jerman, Emil Kessler, tersebut, merupakan salah satu pelaku sejarah di zaman pra kemerdekaan Indonesia.



Pada masa penjajahan Belanda, kereta uap berbahan bakar kayu jati ini digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk mengangkut pasukannya menuju Semarang, Jawa Tengah. Pasukan-pasukan itulah yang dalam perjalannya kemudian, berkontribusi terhadap peristiwa bersejarah Palagan Ambarawa.



Tetapi saat ini, kereta api dengan lokomotof bernomor B 2503 itu, hanya digunakan untuk mengangkut para turis yang ingin melakukan napak tilas sejarah, ataupun mereka yang sekadar ingin melihat aksi si kereta tua tersebut. Rute wisata yang harus ditempuh kereta ini relatif pendek, hanya sekitar 9 kilometer (18 km pp). Kendati demikian, dengan kondisi rute yang terjal mendaki, waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak tersebut berkisar antara 45 menit hingga 1 jam per perjalanan.



Untuk menempuh pejalanan itu pulang-pergi, KA ini membutuhkan sedikitnya 2,5 meter kubik kayu jati sebagai bahan bakar pemanas tungku uap. Sebelum dioperasikan, lokomotif harus dipanasi dulu sekitar 3 jam, terang Pujiono, Kepala Depo Traksi (KDT) Ambarawa yang juga merangkap sebagai masinis KA tersebut.



Pemanasan itu sendiri, imbuh dia, wajib dilakukan agar suhu tungku mencapai puncak pemanasan yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda, sekitar 235 derajat celcius.



Dijelaskan Pujiono, dengan suhu setinggi itu, pada posisi datar lokomotif berdapur pacu empat silinder ini mampu menghasilkan tenaga sebesar 4-5 kg/cm3 pada posisi datar, dan 6-9 kg/cm3 saat merangkak di jalan menanjak.



Dalam perjalanannya, kereta api ini menyinggahi tiga stasiun: Stasiun Ambarawa, Jambu, dan Bedono. Jarak dari Stasiun Ambarawa menuju Stasiun Jambu sekitar 4 kilometer. Di stasiun ini, lokomotif bertukar posisi, dari posisi menarik (di depan) menjadi mendorong (di belakang) gerbong.



Karena, sisanya, sekitar 5 kilometer terakhir dari Stasiun Jambu ke Bedono merupakan jalur menanjak yang ketinggiannya mencapai sekitar 40 derajat. Posisi lokomotif di belakang untuk menambah keamanan, ungkap Pujiono.



RODA BERGERIGI



Nah, saat menempuh perjalanan menanjak inilah perangkat tambahan yang menjadi nilai lebih kereta api tersebut digunakan: roda bergerigi. Posisi roda bergerigi ini berada di tengah, di antara roda-roda KA lain yang berbentuk normal. Keberadaan komponen yang satu ini di kereta api tersebut sangatlah vital.



Roda gerigi ini betugas mengait rel bergerigi di bawahnya, untuk menarik lokomotif dan kedua gerbong kayunya dari Stasiun Jambu menuju Stasiun Bedono. Sedangkan dari Ambarawa menuju Jambu, kondisi rel masih normal. Kalau tidak ada roda gerigi ini, kereta ndak akan bisa menanjak, ujar Pujiono.

 

Melihat kondisinya yang tebilang uzur, kendati bisa berlari hingga 60 km/jam, sang masinis hanya menggenjot roda-roda KA unik itu untuk melaju dengan kecepatan rata-rata 10-15 km/jam. Toh buat apa cepat-cepat, wong namanya juga kereta wisata. Kalau cepat, nanti malahan ndak bisa lihat pemandangannya, seloroh Rakiman, sang kondektur.



Pernyataan Rakiman tersebut tidaklah mengada-ada. Atau pula sengaja dilontarkannya untuk menutupi kelemahan kereta api tersebut untuk melaju kencang. Pemandangan di sepanjang rute dari Ambarawa yang berjarak 411 meter dari permukaan air laut, menuju Bedono (749 dpl) memang terlalu mahal untuk dilewatkan. Rute berkelok di lingkungan pegununungan Ungaran, menjadi nilai lebih perjalanan ini.



Karena itulah, terlepas dari keunikan roda gerigi yang dimiliki kereta tersebut, musisi Katon Bagaskara memilih untuk mendokumentasikan video klip salah satu tembang hitnya, Negeri di Awan, di atas kereta ini. Saat ini pun, kereta wisata pernah beberapa kali disewa untuk pembuatan film atau sinetron, jelas Kepala Stasiun Ambarawa Suhardjono.



Tak hanya turis lokal, wisatawan mancanegara juga banyak yang sengaja datang dari negaranya untuk menyambangi Museum Ambarawa dan menjajal KA wisata bergerigi. Kebanyakan dari mereka adalah warga Belanda yang ingin ber-rendezvous, menggali kenangan dari peninggalan nenek moyang mereka. E Westhoff, adalah satu di antara sekian banyak bule penjelajah tersebut.



Lelaki kelahiran 1942 ini mengaku sengaja datang jauh-jauh dari Belanda untuk menjelajahi pulau Jawa bersama istrinya, Rini. Museum Ambarawa berada pada urutan pertama dari daftar lokasi yang harus dikunjunginya selama berada di Indonesia. Pada kunjungannya ke Indonesia untuk kali ke 19 ini, baru pertama kali itu dia mengunjungi Museum Ambarawa.



Westhoff mengaku bahwa Indonesia adalah tanah kelahirannya. Dia lahir dan besar di Semarang hingga mencapai usia 15 tahun. Saya orang Indonesia. Kalau istri saya, dia asli Belanda, ujarnya dengan bahasa Indonesia yang fasih, namun kental degan logat Belanda. Sebentar lagi, anak-anak perempuan saya datang ikut kita ke sini, imbuhnya.



Rini menambahkan, kunjungannya ke Jawa merupakan permintaan anak-anaknya yang gemar travel itu. Kalau diajak ke Indonesia, mereka tidak mau ke Bali. Mereka pilih datang ke Jawa. Bali tempat turis, tetapi Jawa berbeda. Masih orisinil, jelasnya.



PENGEMBANGAN MUSEUM



Untuk diketahui, Museum Ambarawa tak hanya memiliki KA wisata untuk dibanggakan. Masih ada koleksi lainnya yang juga memiliki nilai jual tinggi. Antara lain lokomotif bernomor B 2502, yang sejenis dengan lokomotif B 2503. Lokomotif B 2502 dan B 2503 yang dioperasikan Belanda sejak 1904 itu, merupakan bagian dari 25 lokomotif koleksi Museum Ambarawa saat ini. Lokomotif B 2502 juga masih berfungsi baik dan kita gunakan untuk melayani perjalanan wisata, bergantian dengan B 2503, imbuh Suhardjono.



Museum Kereta Api Ambarawa pada awalnya merupakan sebuah stasiun bernama Willem I, yang dibangun pada 21 Mei 1873. Untuk mendirikan bangunan stasiun impiannya ini, Raja Willem I memerintahkan untuk membuka lahan di kawasan perbukitan seluas 127.500 m2.



Dari pusat Kota Semarang yang berada di sisi sebelah utaranya, stasiun ini berjarak sekitar 30 kilometer. Sementara dari arah Jogjakarta yang berada di sisi selatan, berjarak sekitar 75 kilometer. Sedangkan dari Kota Solo (Surakarta), stasiun yang berada di jalur utama Semarang-Jogjakarta ini, berjarak sekitar 70 kilometer.



Beberapa tahun membangun Stasiun Ambara, Belanda lebih dahulu membangun Stasiun Kemijen di Desa Kemijen pada 1864. Ini adalah stasiun KA pertama yang dibuat Belanda saat menjajah Indonesia. Rel perdana sepanjang 25 kilometer dibangun untuk menghubungkan Kemijen dan Desa Tanggung. Hingga akhirnya, pada 1870, Belanda sukses menghubungkan Surakarta dan Semarang dengan rel sepanjang 110 kilometer. Dan, tiga tahun setelahnya, berdirilah Stasiun Ambarawa.



Jika melihat kondisinya, Museum Ambarawa memang belum layak disebut sebagai museum. Terlepas dari jumlah koleksi yang dimiliki, penataan aset-aset yang ada pun tampaknya belum melibatkan peranan kurator seni untuk memunculkan aura museum yang sesungguhnya. Hal inilah yang membuat tempat tersebut lebih tampak sebagai stasiun tua yang menampung sejumlah barang-barang peninggalan-peninggalan zaman penjajahan dahulu. Memang, saat ini Ambarawa masih tampak seperti stasiun tua, belum menjadi museum sungguhan, ujar Kepala Humas PT Kereta Api Daerah Operasi 4 Semarang Warsono.



Karena itulah, menurut dia, pihaknya saat ini tengah menggandeng pemerintah daerah setempat dan sejumlah aktivis pecinta kereta api untuk memoles Museum Ambarawa. Mulai dari penataan hingga penambahan koleksi tengah kami upayakan. Ada satuan kerja yang dibentuk khusus untuk berkonsentrasi membangun Ambarawa menjadi museum sungguhan, imbuhnya. (DIP/YFA)