Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 tahun 2008 yang ditetapkan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal 25 Juni 2008. Aturan itu sendiri menjadi bagian dari pokok-pokok substansi yang dimuat dalam keputusan baru tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara tersebut.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Budhi Mulyawan Suyitno, dalam sosialisasi KM 25 tahun 2008, di kantor Departemen Perhubungan, Rabu (23/7), menegaskan, pemberian kompensasi terbang tanpa pesaing di rute penerbangan baru itu merupakan salah satu bentuk dari fleksibilitas dan relaksasi izin rute penerbangan yang terapkan pemerintah.
"Berbasis efisiensi dan dan efektivitas, pola (pemberian kompensasi) ini juga akan mendorong dan merangsang perusahaan penerbangan untuk mengoperasikan pesawat besar, sedang maupun kecil, menyesuaikan daerah operasi, jarak/waktu tempuh, karekterisitik geografis dan kemampuan infrastrukturnya," papar Budhi.
Dengan adanya kebijakan tersebut, Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Dephub Tri Sunoko menambahkan, maskapai memeroleh "masa ekstra" selama dua tahun untuk menikmati keuntungan dari jalur yang dibukanya itu. "Karena biasanya keuntungan dari pembukaan rute baru, baru dipetik dalam waktu 6 bulan hingga setahun," jelasnya.
Tri Sunoko memaparkan, dalam KM tersebut, rute penerbangan di Indonesia dibagi tiga kelompok. Antara lain rute utama, rute pengumpan, dan perintis. Pengelompokkan itu sendiri untuk menerapkan pola jaringan penerbangan terintegrasi (hub and spoke) yang diprogramkan pemerintah.
Pada kesempatan sama, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Indonesia (INACA) Tengku Burhanudin mengapresiasi kebijakan itu. Biaya pembukaan rute itu, kata dia, tidak dapat langsung ditutup dengan cepat. "Ya tiga tahun cukup lah," katanya.
Kepemilikan Pesawat
\Di sisi lain, ketentuan baru ini juga mengatur tentang kepemilikan pesawat bagi maskapai. Untuk perusahaan penerbangan terjadwal misalnya, diwajibkan menguasai sedikitnya lima unit pesawat di mana dua di antaranya merupakan milik sendiri. "Tiga pesawat sisanya, boleh dari hasil sewa. Kalau tidak sanggup, bisa merger dengan maskapai lain," jelas Budhi Mulyawan.
Sementara maskapai charter diharuskan untuk menguasai minimal tiga unit pesawat, di mana salah satu di antaranya merupakan hak milik. Sedangkan untuk maskapai kargo, diberikan keleluasaan dalam hal aturan penguasaan pesawat. "Minimal ada dua pesawat untuk dioperasikan. Bisa punya sendiri, atau kedua-duanya hasil sewa," lanjutnya.
Khusus kepada maskapai baru yang telah memeroleh izin usaha maupun maskapai yang telah beroperasi sebelum aturan baru ini ditetapkan (incumbent), namun belum memenuhi persyaratan perihal kepemilikan pesawat seperti yang telah diatur, diberikan fleksibilitas untuk menyesuaikan diri.
Bagi perusahaan penerbangan baru yang telah memiliki izin namun tak kunjung mengoperasikan pesawatnya setelah 12 bulan sejak izin diberikan, maka izin usaha perusahaan tersebut akan gugur secara otomatis. Sedangkan bagi maskapai berizin yang telah beroperasi, tetapi jumlah pesawat dan status penguasaannya tidak sesuai dengan ketentuan, diberikan tenggat waktu selama tiga tahun (36 bulan). "Jika selama kurun waktu tiga tahun itu persyaratan penguasaan pesawat tidak dapat dipenuhi, sanksinya adalah pencabutan izin usaha," sambungnya.
Untuk angkutan udara dalam negeri, pemerintah melalui ketentuan baru ini akan mengembangkan kerja sama antarperusahaan domestik. Bentuk kerja sama yang dimaksud antara lain kerja sama operasi (KSO) maupun code sharing. "Sejak 90-an code sharing penjualan tiket di dalam negeri belum pernah ada yang berhasil. Ke depan, kita akan mencoba fokuskan itu," jelas Budhi.
Sementara untuk jenis penerbangan luar negeri, pengaturan akan tetap mengedepankan kepentingan nasional yang dicerminkan dalam azas cabotage, resiprokal dam keseimbangan manfaat komprehensif yang dikaitkan dengan keunggulan geografis dan potensi demand di Indonesia.
Tak hanya itu, KM 25/2008 juga mengatur tentang kewajiban pemberian kompensasi oleh maskapai kepada penumpang ketika mengalami keterlambatan (delay). Sementara untuk pembatalan penerbangan karena kesalahan pihak maskapai, penumpang penumpang dimungkinkan mengambil akomodasi hinga hari berikutnya. Selain itu, penumpang juga berhak memilih kompensasi dengan meminta kembali harga tiket secara penuh (refund).
Untuk keterlambatan selama 30-90 menit, papar Budhi, maskapai wajib memberikan makanan dan minuman ringan (snack) kepada penumpang. Kemudian untuk keterlambatan 90-180 menit, kompensasina adalah makan besar, snack, dan memindahkan penumpang ke penerbangan berikutnya apabila diminta. Sedangkan untuk delay di atas 180 menit, kompensasi yang wajib diberikan maskapai adalah fasilitas akomodasi hingga penumpang diangkut penerbangan hari berikutnya.
"Meski tidak dibubuhi bentuk sanksi, aturan ini bersifat mengikat dan dapat digunakan penumpang sebagai landasan hukum untuk meminta tanggung jawab kepada maskapai. Atau pula dijadikan sebagai dasar melakukan gugatan kerugian," sambung Budhi.
Namun, dia menegaskan, aturan tentang kompensasi ini tidak berlaku apabila keterlambatan mapun pembatalan penerbangan terjadi bukan disebabkan kesalahan pihak maskapai atau faktor eksternal. "Misalnya delay akibat banjir, cuaca buruk, atau masalah lainnya pada fasilitas infrastruktur," katanya. (DIP)
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Budhi Mulyawan Suyitno, dalam sosialisasi KM 25 tahun 2008, di kantor Departemen Perhubungan, Rabu (23/7), menegaskan, pemberian kompensasi terbang tanpa pesaing di rute penerbangan baru itu merupakan salah satu bentuk dari fleksibilitas dan relaksasi izin rute penerbangan yang terapkan pemerintah.
"Berbasis efisiensi dan dan efektivitas, pola (pemberian kompensasi) ini juga akan mendorong dan merangsang perusahaan penerbangan untuk mengoperasikan pesawat besar, sedang maupun kecil, menyesuaikan daerah operasi, jarak/waktu tempuh, karekterisitik geografis dan kemampuan infrastrukturnya," papar Budhi.
Dengan adanya kebijakan tersebut, Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Dephub Tri Sunoko menambahkan, maskapai memeroleh "masa ekstra" selama dua tahun untuk menikmati keuntungan dari jalur yang dibukanya itu. "Karena biasanya keuntungan dari pembukaan rute baru, baru dipetik dalam waktu 6 bulan hingga setahun," jelasnya.
Tri Sunoko memaparkan, dalam KM tersebut, rute penerbangan di Indonesia dibagi tiga kelompok. Antara lain rute utama, rute pengumpan, dan perintis. Pengelompokkan itu sendiri untuk menerapkan pola jaringan penerbangan terintegrasi (hub and spoke) yang diprogramkan pemerintah.
Pada kesempatan sama, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Indonesia (INACA) Tengku Burhanudin mengapresiasi kebijakan itu. Biaya pembukaan rute itu, kata dia, tidak dapat langsung ditutup dengan cepat. "Ya tiga tahun cukup lah," katanya.
Kepemilikan Pesawat
\Di sisi lain, ketentuan baru ini juga mengatur tentang kepemilikan pesawat bagi maskapai. Untuk perusahaan penerbangan terjadwal misalnya, diwajibkan menguasai sedikitnya lima unit pesawat di mana dua di antaranya merupakan milik sendiri. "Tiga pesawat sisanya, boleh dari hasil sewa. Kalau tidak sanggup, bisa merger dengan maskapai lain," jelas Budhi Mulyawan.
Sementara maskapai charter diharuskan untuk menguasai minimal tiga unit pesawat, di mana salah satu di antaranya merupakan hak milik. Sedangkan untuk maskapai kargo, diberikan keleluasaan dalam hal aturan penguasaan pesawat. "Minimal ada dua pesawat untuk dioperasikan. Bisa punya sendiri, atau kedua-duanya hasil sewa," lanjutnya.
Khusus kepada maskapai baru yang telah memeroleh izin usaha maupun maskapai yang telah beroperasi sebelum aturan baru ini ditetapkan (incumbent), namun belum memenuhi persyaratan perihal kepemilikan pesawat seperti yang telah diatur, diberikan fleksibilitas untuk menyesuaikan diri.
Bagi perusahaan penerbangan baru yang telah memiliki izin namun tak kunjung mengoperasikan pesawatnya setelah 12 bulan sejak izin diberikan, maka izin usaha perusahaan tersebut akan gugur secara otomatis. Sedangkan bagi maskapai berizin yang telah beroperasi, tetapi jumlah pesawat dan status penguasaannya tidak sesuai dengan ketentuan, diberikan tenggat waktu selama tiga tahun (36 bulan). "Jika selama kurun waktu tiga tahun itu persyaratan penguasaan pesawat tidak dapat dipenuhi, sanksinya adalah pencabutan izin usaha," sambungnya.
Untuk angkutan udara dalam negeri, pemerintah melalui ketentuan baru ini akan mengembangkan kerja sama antarperusahaan domestik. Bentuk kerja sama yang dimaksud antara lain kerja sama operasi (KSO) maupun code sharing. "Sejak 90-an code sharing penjualan tiket di dalam negeri belum pernah ada yang berhasil. Ke depan, kita akan mencoba fokuskan itu," jelas Budhi.
Sementara untuk jenis penerbangan luar negeri, pengaturan akan tetap mengedepankan kepentingan nasional yang dicerminkan dalam azas cabotage, resiprokal dam keseimbangan manfaat komprehensif yang dikaitkan dengan keunggulan geografis dan potensi demand di Indonesia.
Tak hanya itu, KM 25/2008 juga mengatur tentang kewajiban pemberian kompensasi oleh maskapai kepada penumpang ketika mengalami keterlambatan (delay). Sementara untuk pembatalan penerbangan karena kesalahan pihak maskapai, penumpang penumpang dimungkinkan mengambil akomodasi hinga hari berikutnya. Selain itu, penumpang juga berhak memilih kompensasi dengan meminta kembali harga tiket secara penuh (refund).
Untuk keterlambatan selama 30-90 menit, papar Budhi, maskapai wajib memberikan makanan dan minuman ringan (snack) kepada penumpang. Kemudian untuk keterlambatan 90-180 menit, kompensasina adalah makan besar, snack, dan memindahkan penumpang ke penerbangan berikutnya apabila diminta. Sedangkan untuk delay di atas 180 menit, kompensasi yang wajib diberikan maskapai adalah fasilitas akomodasi hingga penumpang diangkut penerbangan hari berikutnya.
"Meski tidak dibubuhi bentuk sanksi, aturan ini bersifat mengikat dan dapat digunakan penumpang sebagai landasan hukum untuk meminta tanggung jawab kepada maskapai. Atau pula dijadikan sebagai dasar melakukan gugatan kerugian," sambung Budhi.
Namun, dia menegaskan, aturan tentang kompensasi ini tidak berlaku apabila keterlambatan mapun pembatalan penerbangan terjadi bukan disebabkan kesalahan pihak maskapai atau faktor eksternal. "Misalnya delay akibat banjir, cuaca buruk, atau masalah lainnya pada fasilitas infrastruktur," katanya. (DIP)