(Jakarta, 14/11/2011) Meski belum separah kota-kota metropolitan lainnya di Indonesia, kemacetan mulai menghiasi kota Semarang ibu kota Propinsi Jawa Tengah. Hasil pantauan tim redaksi pemberitaan www.dephub.go.id pekan lalu di kota tersebut menunjukkan, pada jam – jam sibuk seperti pagi hari pukul 07.30 WIB – 08.30 WIB kemacetan hampir merata terjadi di bagian barat, timur dan selatan kota. Kemacetan terjadi akibat arus kendaraan yang masuk dari daerah-daerah penyangga kota Semarang seperti Demak/Kudus di sebelah timur, Kendal di sebelah barat, Ungaran/Salatiga di sebelah selatan.

Pada jam – jam tersebut sebagian akses jalan masuk ke kota Semarang dari semua arah terdapat pengaturan menjadi satu arah. Situasinya tidak jauh berbeda seperti yang terjadi di Jakarta pada waktu pagi hari dimana, ruas-ruas jalan dari  arah Bekasi, Depok/Bogor, Tangerang berjubel dengan kendaraan bermotor, hanya bedanya akses masuk kota Semarang relatif terbatas sehingga pengaturan satu arah tidak terhindarkan.

Menghadapi kondisi seperti ini Pemerintah Kota Semarang telah berupaya untuk melakukan pembenahan, diantaranya dengan fly over Kalibanteng yang telah dimulai pembangunannya pada bulan November ini. Pembangunan fly over ini sejatinya sudah direncanakan sejak akhir tahun 1990-an namun karena adanya krisis ekonomi yang berdampak luas tidak kunjung terealisasi dan baru tahun ini pembangunannya dapat dimulai. Pembangunan fly over tersebut diharapkan dapat memecah kemacetan lalu lintas masuk kota Semarang dari arah barat.  Saat ini kemacetan hampir sepanjang waktu terjadi mulai dari Krapyak hingga bundaran Kalibanteng, akibat ruas jalan dipenuhi oleh lalu lintas  kendaraan luar kota yang sebagian besar berupa truk-truk barang dan bus penumpang dan sekaligus lalu lintas kendaraan dalam kota berupa mobil pribadi dan sepeda motor serta angkutan umum perkotaan.

Namun Djoko Setijowarno, pemerhati transportasi dari Fakultas Teknik UNIKA Soegijapranata Semarang mengingatkan, pembenahan transportasi kota Semarang tidak cukup dengan penambahan jalan ataupun fly over. Penambahan jalan seberapapun menurut dia tidak akan mampu mengejar pertambahan jumlah kendaraan. “Sebetulnya yang harus dilakukan adalah penataan transportasi perkotaan secara menyeluruh,” kata Djoko. Menurut Djoko sudah seharusnya Kota Semarang meniru langkah yang dilakukan Kota Surakarta yang secara bertahap telah membenahi tarnsportasi perkotaannya dengan terlebih dahulu menyusun perencanaan yang komprehensif.

Djoko yang pada hari Selasa 8/11/2011 bertindak sebagai narasumber utama kegiatan diskusi “Intermoda, Transportasi Umum dan Transportasi Tak Bermotor” di Kampus UNIKA Soegijapranata Semarang, menambahkan rata-rata laju kendaraan bermotor di kota semarang saat ini 27,00 km/jam dengan rasio jalan dan luas wilayah 7,30 % , masih cukup baik dibandingkan kota lain yang setara yaitu Bandung yang memiliki catatan rata-rata laju kendaraan hanya 14,30 km/jam atau Surabaya yang tercatat 21,00 km/jam. Namun menurutnya Semarang tidak perlu menunggu kemacetan lebih parah untuk melakukan pembenahan transportasi perkotaannya, justru pembenahan yang dilakukan secara dini relatif akan tidak banyak permasalahan yang dihadapi.

Pembenahan transportasi yang harus dilakukan kota Semarang menurut Djoko hendaknya lebih berpihak pada kepentingan rakyat dan masa depan dengan penyediaan angkutan umum massal yang handal. Program Bus Rapid Transit (BRT) Kota Semarang yang lebih dikenal dengan Trans Semarang harus terus dikembangkan dari kondisi yang sada saat ini yang baru memiliki 1 koridor dengan 20 armada bus.  Pada sisi lain perlu dilakukan pembatasan kendaraan pribadi, tarif parkir tinggi, membenahi kondisi pedestrian dan menyediakan jalur kendaraan tak bermotor. “Intermoda (keterhubungan antar moda) di kota Semarang juga masih belum baik, di pelabuhan, bandara dan terminal sangat minim ketersediaan transportasi yang sesuai konsep intermoda,” ujar Djoko. Saat ini menurut Djoko pelayanan angkutan lanjutan di Bandara Ahmad Yani Semarang dimonopoli hanya oleh taksi bandara yang tidak berargo sehingga penumpang tidak punya pilihan lain. Sementara itu kondisi lebih parah terjadi di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang yang sama sekali tidak ada pelayanan angkutan umum reguler yang dapat diakses para penumpang kapal dari terminal penumpang pelabuhan, sehingga menyebabkan pelabuhan terkesan sebagai wilayah yang jauh dari aman dan nyaman bagi masyarakat,

Ketua Organda Kota Semarang Dedi Sudayadi yang hadir dalam kegiatan diskusi tersebut mengakui masih buruknya layanan transportasi umum perkotaan di Semarang. Untuk itu pihaknya meminta Pemkot Semarang untuk melakukan kajian tentang berapa sebenarnya kebutuhan angkutan kota yang layak untuk kota Semarang. Organda menurutnya tidak berkeberatan dengan penerapan sistem angkutan massal perkotaan berbasis bus. Namun tentunya Pemerintah juga harus memperhatikan nasib para pengusaha angkot beserta semua orang yang menggantungkan hidupnya dari usaha angkutan kota ini apabila konsep transportasi massal diterapkan.

Dinas Perhubungan Kota Semarang yang diwakili oleh Kabid Keselamatan Sarana dan Prasarana Triwibowo pada diskusi tersebut tidak banyak memberikan pendapatnya mengenai bagaimana perencanaan ke depan transportasi perkotaan di Kota Semarang. Namun Triwibowo menegaskan bahwa Kota Semarang akan segera memiliki perangkat teknologi sistem pengaturan lalu lintas berupa Area Trafffic Control System (ATCS) seperti halnya yang dimiliki Kota Surakarta saat ini. (BRD)