Baru kali ini aku termangu lama dalam keadaan antara percaya dan tidak. Masih dalam diam, sambil duduk dibawah halte dan mengamati sesekali ibu pemilik starling yang berebut duduk disampingku.Meskipun tidak layak dianggap sebagai tempat menanti kedatangan bus, tapi setidaknya ada ruanguntuk berhenti sejenak mengatur langkah dan menghabiskan dua puluh menit memandang gedungyang berdiri didepanku dengan kokohnya. Posisi yang strategis pada waktu itu cukup untukmengamati keseluruhan fasad arsitektur yang cukup terbilang unik.Jarak antara kami hanyaberkisar 100m sehingga tidak sulit untuk mengamati bagaimana aktivitas didalamnya termasukpenjaga keamanan yang terlihat sangat tua namun tetap gagah langkahnya. Entah apa fungsinya mereka, sekedar mensinkronkan dengan penampakan gedung, mengamankan area parkir atau menghargai mereka karena dulu ikut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebagai gedung perkantoran, tempat ini tidak seperti tempat mencari nafkah pada umumnya.Tingginya hanya tiga lantai dengan gaya art deco yang dibangun pada tahun 1917 oleh Ir. F.J.LGhijsels, Ir. Heins von Essen dan Ir. Stoltz dari sebuah kontraktor kenamaan AIA (AlgemeenIngenieur en Architecten). Delapan puluh delapan tahun lalu, kantor ini ditempati oleh KoninklijkePaketvaart Maatschappij (KPM) atau dalam bahasa Inggris disebut Royal Packet NavigationCompany. Pada masa pendudukan Jepang pernah dipakai untuk Kantor Urusan Laut pemerintahJepang. Namun pada tanggal 21 Agustus 1945 diserbu oleh beberapa tokoh Indonesia darikalangan pelabuhan dan pelayaran di Jakarta, yang memaksa orang-orang Jepang untukmenyerahkan kekuasaannya kepada bangsa Indonesia. Dan saat ini ditetapkan sebagai salah satu gedung cagar budaya di wilayah Jakarta Pusat.
Tanpa terasa ini adalah menit ke duapuluh satu dan aku masih belum melihat ada pergerakanmanusia disana. Sejujurnya, agak sanksi jika harus bekerja disini dengan sekelumit pertanyaanyang bergerak dari satu metamorfosa satu ke lainnya. Namun akhirnya Aku memutuskan untukmelangkah dan mulai mendekat kedalamnya. Bukan tanpa maksud, hari itu adalah hari pertamakumulai bergabung sebagai abdi negara setelah mengikuti test uji masuk yang lembar pengumumannya masih tersimpan rapi di sudut gubukku hingga saat ini. Sebenarnya kami para CPNS darilulusan formasi putih abu-abu diundang untuk bertemu dengan pucuk pimpinan. Inti pertemuan itusederhana, sebelum benar-benar menyelam ke realita sulitnya membedakan antara dangkal dandalam pekerjaan, kami perlu mendapat pencerahan apa dan bagaimana pekerjaan yang akandiemban. Pemegang kasta teratas pada divisi ku berpesan pada waktu itu bahwa bekerja itu adalah sesuatu yang berat, namun semua akan indah pada waktunya jika dikerjakan dengan keikhlasan.
Pernyataan itu terbilang penuh intrik untuk meyakinkan kami para umbi-umbian yang hanya lulusdari derajat sekolah menengah atas untuk bekerja secara ikhlas. Aku yakin bahwa tupoksi kamihanyalah sebagai pelengkap dan bukan think tank organisasi. Betul saja, lima tahun pertama tugasutamaku hanya menginput daftar hadir pegawai untuk disetorkan kepada pemegang uang danselanjutnya dicairkan. Pekerjaan lainnya adalah mengatur appointment sang pimpinan dengankolega, kawan, kerabat bahkan peminta sumbangan dari organisasi-organisasi sosial dankeagamaan. Tidak hanya itu, aku punya kewajiban mengoreksi setiap laporan yang keliru titik koma,salah pengejaan dan ketidaksesuaian dengan kamus besar tata bahasa kenegaraan.Hasilnya?
Tentu selain lebih pandai mencoret-coret bagian yang dianggap tidak sesuai namun aku jugadianggap sebagai hambatan olehbeberapa kawan dan pimpinan karena konsep surat yang tidak berkesudahan perbaikannya.
Bahkan sampai tiga tahun mengabdi belum ada perubahan yang berarti selain menyelesaikan tugasakhir danmendapatgelar sarjana.Alhamdulillah, setidaknyacukupmembanggakan keduaorangtua. Tapi tetap saja kesibukan ku masih sama dan rutinitas yang tak berbeda dengan tahun sebelumnya. Rasanya berat dan sulit untuk mengaktualisasi diri,membuktikan keberadaan dan menunjukkan bahwa kaum bawah tanah seperti aku adalah nyata dan bernyawa. Wajar saja jika para pendahulu terlihat asik membaca koran lusuh ditemani secangkir kopi dan beberapa batangrokok yang memenuhi pojok-pojok ruangan di pagi hari sehingga menggantikan peran embun yangsemestinya. Tak bergerak, tak bersikap dan tak terarah bagaikan remahan rengginang yang tak bisa berkembang.
Ah aku tak perlu menjadi seperti itu. Aku hanya perlu mengeksalasi dan belajar lebih percaya diri bahwa mengabdi kepada negeri bisa direalisasi dengan aksi. Aku berupaya menjadi seorang fungsional peneliti, belajar dan menyelami apa sebenarnya transportasi dari berbagai dimensi.
Hasilnya lumayan, beberapa ikut dalam proyek penelitian baik kelompok maupun individual.Menyenangkan ketika bisa mengeskplorasi diri, berkelanan ke beberapa pulau dalam peta, mencariapa yang sebenarnya dibutuhkan untuk membangun transportasi. Namun, sayangnya itu belumcukup melepaskan rasa keingintahuan ku mengenai transportasi. Masih ada yang kurang, mungkinlebih tepatnya butuh ruang yang lebih luas. Lepas Dua belas tahun setelah mendapatkan SK sebagai ASN, dengan ijin sang pemilik langit dan bumi aku diterima sebagai mahasiswi pada sebuah perguruan tinggi negeri di kota Paris Pan Java dan negeri Sakura. Rehat sejenak, mencoba bertukar pikiran dengan negeri tetangga dan teman-teman yang punya permasalahan sama, tentang bumi yang perlu diperbaiki termasuk didalamnya transportasi. Itulah pembuktian bahwa rengginang perlu wadah untuk berkembang. Perlu perjuangan berat untuk bisa sampai pada titik itu, karena semua harus dilakukan dengan mandiri, tekad yang kuat dan semangat tanpa batas meskipun harus menjalankan peran sebagai ibu dengan empat anak.
Bisa melanjutkan pendidikan pada jenjang setingkat lebih tinggi tentu bukan sebuah kebanggaan apalagi pada akhirnya berhenti hanya dengan telah tergapainya sebuah pencapaian. ASN bukankah harus tetap berkarya meskipun dianggap tak terlihat dan tak bisa apa-apa. Semoga apa yang disampaikan sang pimpinan kala itu benar-benar akan terasa indah pada waktunya. Bahwa kita tak perlu menutup diri karena dianggap tidak memiliki eksistensi dan tetap berkarya meski dianggap tak ada. Karena ASN pada hakikatnya punya peran hebat untuk masyarakat. Tak mengapa berawal darilulusan putih abu-abu, tapi umbi-umbian harus berkontribusi, terbuka untuk bekerja sama danmenghasilkan nilai tambah serta menggerakkan pemanfaatan berbagai sumber daya untuk tujuan bersama, Indonesia.