(Surabaya, 4/2/2011) Pada prinsipnya pemerintah harus memfasilitasi mobilitas semua kalangan masyarakat, baik masyarakat kalangan menengah ke atas maupun kalangan menengah ke bawah. Untuk kalangan menengah ke atas yang membutuhkan akses cepat, pemerintah harus memfasilitasi kebutuhan tersebut misalnya dengan membangun jalan tol. Sedangkan untuk kelangan menengah ke bawah yang sangat mengandalkan transportasi umum untuk mobilitasnya, pemerintah juga harus memfasilitasi hal tersebut dengan menyediakan transportasi masal. Baik pembangunan jalan tol dan transportasi masal harus dibangun karena keduanya mempunyai peruntukannya masing-masing.
Pernyataan tersebut disampaikan Dr. Siti Aminah, seorang pengamat transportasi yang juga dosen FISIP Universitas Airlangga Surabaya yang ditemui oleh tim redaksi www.dephub.go.id di Surabaya, pekan lalu. Terkait dengan kemacetan Aminah menjelaskan, bahwa kemacetan dalam transportasi ini juga turut dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti misalnya peningkatan jumlah penduduk. “Jangan transportasi saja yang disalahkan sedangkan angka kelahiran tidak dikendalikan,” paparnya. Menurutnya kemacetan yang terjadi di perkotaan di Indonesia saat ini juga merupakan cerminan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan bahkan budaya yang tidak mungkin dipecahkan melulu dari aspek transportasinya saja.
Aminah yang juga doktor di bidang sosiologi transportasi itu bisa memahami rencana pembangunan tol tengah kota di Surabaya yang menimbulkan polemik beberapa waktu belakangan ini. Menurutnya, pembangunan jalan tol tengah merupakan bagian dari upaya untuk mengembangkan perekonomian kota Surabaya dan sekitarnya. “Pembangunan jalan tol itu jangan asal dilarang,” tegas Aminah. Secara ideologis lanjutnya, sebetulnya jalan tol itu dimaksudkan untuk membuka pergerakan orang supaya dapat mengakses sumber daya yang ada di kota. Rencana pembangunan jalan tol tengah ini diprotes keras oleh LSM-LSM di Surabaya karena terkait dengan penggusuran lahan. Padahal menurut Aminah, jalan tol tengah tersebut berada di atas tanah negara sehingga hal tersebut seharusnya tidak menjadi masalah.
Namun pada sisi lain Aminah juga menegaskan perlunya Pemerintah Kota Surabaya mulai memikirkan pembangunan angkutan massal. “BRT (Bus Rapid Transit-red) bisa saja diterapkan, tetapi perlu diperhatikan kendala cukup banyak”, kata Aminah. Kendala teknis secara kasat mata bisa terlihat dari kondisi jalan dan tata ruang yang ada di Surabaya saat ini. Akan cukup sulit untuk menerapkan BRT seperti halnya Transjakarta yang telah berjalan sekian tahun namun hingga kinipun masih banyak kendala. Permasalahan lain yang mungkin timbul adalah menyamakan pendapat dan persepsi berbagai komponen yang berhubungan dengan penyelenggaraan transportasi perkotaan mulai dari DPRD, Kepolisian, Dinas Perhubungan hingga para pengusaha angkutan dan para pengguna angkutan itu sendiri. “Ini tidak mudah, tapi memang perlu Pemerintah Kota Surabaya mulai mengenalkan konsep angkutan massal kepada masyarakat kota Surabaya,” lanjut Aminah.
Sistem transportasi masal harus dirancang apabila suatu kota ingin berkembang. Begitu transportasi masal tersedia, lebih mudah untuk mengatur perilaku masyarakatnya. “Semua angkutan umum ditata dulu. Buat angkutan umum yang nyaman, aman, dan terjangkau. Masyarakat tidak perlu dipaksa untuk pindah ke transportasi umum karena akan menyadari sendiri keunggulan transportasi umum,” tegasnya.
Aminah juga mengingatkan perlunya lebih memperhatikan sarana kereta komuter yang menghubungkan wilayah sekitar pinggiran dengan kota Surabaya. “KRD di kota Surabaya tidak sebanyak KRL di Jakarta. Oleh karena itu, jumlah KRD perlu ditambah. saya yakin apabila KRD ditambah jumlahnya dan ditambah waktu pelayanannya, pasti banyak masyarakat yang memakai KRD untuk beraktifitas,” paparnya. (RY)