(Jakarta, 5/3/2013) Permasalahan aset masih menjadi kendala Kementerian Perhubungan meraih opini laporan keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal tersebut disampaikan Menteri Perhubungan E. E. Mangindaan pada Rapat Kerja dengan Komisi V DPR RI di Senayan Jakarta, Selasa (5/3).
Selain permasalahan aset, Menhub juga mengatakan bahwa untuk mencapai WTP, ada suatu ukuran dari BPK dimana dalam laporan tersebut permasalahan keuangan yang ditemukan tidak lebih dari 1 persen dari keseluruhan anggaran. “Laporan keuangan itu sendiri memang ada semacam satu ukuran. Dari anggaran Kemenhub yang diputusankan pada tahun 2012 sekitar Rp. 31 triliun, apabila ditemukan masalah lebih 1 persen atau sekitar Rp 250 miliar, jangan harap akan WTP,” kata Menhub.
Menhub menegaskan permasalahan yang ditemukan itu bukan penyimpangan, tetapi masih kacaunya pertanggungjawaban keuangan yang diberikan. Hal ini disebabkan karena SDM masih banyak yang belum memahami audit keuangan. “Permasalahan bukan penyimpangan, tapi memang pertanggungjawabannya yang masih kacau. Anggaran itu tidak hilang tapi masih dipermasalahkan. Karena kita punya SDM masih banyak yang belum memahami audit keuangan, dan itu kelemahan kami. Hal ini akan kita perbaiki dan saya tidak main-main,” tutur Menhub.
Pada Laporan Keuangan Kementerian Perhubungan Tahun 2012, BPK memberikan opini “Wajar Dengan Pengecualian” (surat nomor 204/S/III-XIV.3/05/2013 tanggal 24 Mei 2013), dengan pengecualian pada Piutang Bukan Pajak, Persediaan, Aset Tetap Peralatan dan Mesin, Aset Tetap Konstruksi Dalam Pengerjaan serta Utang Kepada Pihak Ketiga. Sedangkan di tahun 2013 semester 1, Laporan keuangan masih dalam proses pemeriksaan oleh BPK.
Hasil pemeriksaan BPK meliputi temuan atas Sistem Pengendalian Intern sebanyak 3 temuan yakni 1) Aset yang Diserahkan kepada Masyarakat/Pemda Belum Dilakukan Penetapan Status Hibah dan/atau Penghapusan; 2) Penatausahaan Aset Tetap pada Kementerian Perhubungan Belum Memadai; 3) Penatausahaan Persediaan pada Kementerian Perhubungan Belum Memadai. Sedangkan temuan BPK terkait Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan sebanyak 4 temuan yaitu 1) Terdapat Kelemahan dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa; 2) Pekerjaan Dilaksanakan Tidak Sesuai Dengan Kontrak yang telah disepakati; 3) Aset Tanah yang diperoleh dari hibah belum dilakukan registrasi hibah dan pengesahannya di Ditjen Pengelolaan Utang (DJPU); dan 4) Terdapat Proses Lelang Tidak Sesuai Dengan Ketentuan.
Terhadap temuan-temuan BPK tersebut, Menhub mengatakan Kementerian Perhubungan tidak berdiam diri, namun melakukan upaya-upaya untuk menindaklanjuti temuan-temuan tersebut, yaitu menyelesaikan temuan yang menjadi pengecualian dan menindaklanjuti temuan terkait Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan Terhadap Peraturan Perundang-undangan. Upaya-upaya tindak lanjut untuk menyelesaikan temuan yang menjadi pengecualian adalah :
1) Piutang Bukan Pajak merupakan piutang PT. Pelni dan PT. Pertamina pada tahun 2005, 2006, dan 2008 namun menjadi temuan BPK sejak tahun 2008. Piutang Bukan Pajak yang tidak memadai pencatatannya senilai Rp.3,08 miliar pada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut ditindak lanjuti dengan melakukan koreksi penyajian dalam Neraca Kementerian Perhubungan tahun 2013 sesuai Surat Direktur Jenderal Perbendaharaan nomor: S-8136/PB/2013 tanggal 31 Desember 2013 perihal Perlakuan Akuntansi atas Piutang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kepada PT Pertamina dan PT Pelni.
2) Temuan Persediaan pada Ditjen Perhubungan Darat merupakan aset-aset yang akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah yang merupakan pengadaan sejak Tahun 2004 sampai dengan tahun 2012. Aset yang diserahkan ke Pemerintah Daerah yang dicatat dalam persediaan pada neraca Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, sedang dilakukan inventarisasi dan telah dibuat Standar Operasional Prosedur (SOP)/Petunjuk Teknis yang ditetapkan Dirjen Perhubungan Darat yang mengatur mekanisme proses serah terima operasional dan penetapan status hibah atas aset yang diserahkan ke Pemerintah Daerah.
3) Temuan pada Satker Pengembangan Prasarana Perkeretaapian Jawa Barat merupakan hasil pemeriksaan BPK Tahun 2012 atas pelaksanaan anggaran kegiatan Tahun Anggaran 2011. Pelaporan dan Pencatatan Aset Tetap senilai Rp 141,38 miliar pada Satker Pengembangan Prasarana Perkeretaapian Jawa Barat, dimana dari nilai tersebut terjadi indikasi kerugian negara sekurang-sekurangnya Rp. 51,87 miliar, saat ini posisinya dalam proses Aparat Penegak Hukum namun sudah dilakukan penyempurnaan penyelesaian pekerjaan dan sudah dilakukan reviu oleh BPKP. Selanjutnya telah dilakukan koreksi pencatatan Aset Tetap (Peralatan Mesin, Jalan, Irigasi, Jaringan dan KDP) berdasarkan bukti penyetoran ke kas negara atas pengembalian pemahalan harga.
4) Temuan terkait Aset Tetap Konstruksi Dalam Pengerjaan merupakan temuan atas pengadaan tanah Tahun 2006 pada Satker Double-Double Track (DDT), namun merupakan temuan pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Tahun 2010. Aset Tetap Konstruksi Dalam Pengerjaan pada satker Double-Double Track (DDT) senilai Rp. 21,37 miliar, saat ini posisinya sedang dalam tahap penyelidikan Aparat Penegak Hukum. Pencatatan KDP tersebut akan dilakukan konversi menjadi piutang TGR dan selanjutnya akan ditindaklanjuti koreksi/penghapusan pencatatannya dari neraca setelah mendapatkan rekomendasi dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan.
5) Utang Kepada Pihak Ketiga senilai Rp 76,88 miliar pada Satuan Kerja Pengembangan Perkeretaapian Jawa Barat yang pencatatannya tidak sesuai kondisi yang sebenarnya, merupakan temuan BPK Tahun 2011. Posisi saat ini sudah selesai dan sudah dibayarkan sesuai laporan hasil reviu dari BPKP sekurang-kurangnya senilai Rp 36 miliar dan sudah dilakukan koreksi pencatatannya di neraca.
Upaya-upaya yang telah, sedang dan akan dilakukan Kementerian Perhubungan terkait Sistem Pengendalian Intern meliputi:
1) Menteri Perhubungan telah mengeluarkan Instruksi Menteri Perhubungan Nomor : 4 Tahun 2013 tentang Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Kementerian Perhubungan Tahun 2012.
2) Direktorat Jenderal Perhubungan Darat telah membuat Standar Operasional Prosedur yang mengatur secara rinci tentang mekanisme per tahapan proses serah terima operasional Nomor SK.3340/PL.301/DRJD/2013 dan prosedur operasi standar penetapan status hibah atas aset yang diserahkan ke Pemda Nomor SK.3401/PL.301/ DRJD/2013 serta telah menerbitkan Keputusan Dirjen Perhubungan Darat Nomor SK.3341/KP.801/DRJD/2013 tentang Tim Penyelesaian Aset Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor: SK.3409/PL.301/DRJD/2013 tentang Standar Operasional dan Prosedur Penetapan Status Barang Milik Negara sebagai Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN di Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.
3) Berkoordinasi dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, Kementerian Keuangan untuk menyelesaikan masalah aset dan telah melakukan koreksi atas kesalahan pencatatan aset di Laporan Keuangan.
Terhadap temuan atas Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-undangan, upaya-upaya yang telah, sedang dan akan dilakukan Kementerian Perhubungan adalah sebagai berikut:
1) Memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Panitia Pengadaan Barang dan Jasa yang lalai sesuai dengan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
2) Pembentukan Tim Supervisi Pelaksanaan Kegiatan Belanja Modal di Lingkungan Kementerian Perhubungan berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KP. 937 Tahun 2013.
3) Mengajukan proses registrasi hibah atas tanah yang diperoleh dari hibah. Dari 5 (lima) lokasi, 4 (empat) lokasi yaitu di Aceh, Tegal, Madiun, Pontianak telah diregistrasi, sedangkan 1 (satu) lokasi yaitu di Sorong sedang dalam proses registrasi karena belum ada nilai NJOP (Nilai Jual Objek Pajak)nya.
4) Mempercepat penyelesaian kerugian negara terkait kelebihan pembayaran volume dan bukti pembayaran yang tidak diyakini kebenarannya serta denda yang belum dikenakan ke Kas Negara, dengan melakukan penyetoran ke kas negara atas Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTJM) yang telah diterbitkan. (HH)