(Jakarta, 16/5/2013) Pemerintah Jepang memiliki kebijakan yang sangat baik dalam rangka mengalihkan pengguna kendaraan pribadi agar beralih ke angkutan transportasi umum massal. Dalam hal pembatasan kendaraan, sangat menarik untuk melihat langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah Jepang seperti diungkapkan Popik Montanasyah, Atase Perhubungan RI di Tokyo, Jepang kepada redaksi www.dephub.go.id, Jumat (17/5/2013).

Popik mengatakan Pemerintah Jepang pada dasarnya tidak membatasi atau melarang secara langsung kepada masyarakat untuk memiliki kendaraan bermotor baik mobil maupun sepeda motor berapapun jumlahnya. 
 
"Pembatasan jumlah kepemilikan kendaraan di Jepang dimulai dari sisi eksternal pendukung yaitu tempat parkir yang sangat terbatas, pengenaan biaya parkir, biaya Toll dan harga BBM yang tinggi serta hukuman dan denda  yang memberatkan bagi pengemudi kendaraan bermotor yang melakukan pelanggaran," ungkapnya.
 
Khusus untuk kota besar seperti Tokyo, lanjut Popik,  saat ini kapasitas parkir untuk gedung kantor pemerintah berkisar hanya untuk 20 sampai dengan 40 kendaraan setara mobil sedan. Untuk bangunan gedung perniagaan berkisar antara 50 sampai 100 kendaraan dengan biaya sebesar 600 Yen/jam atau jika di kurs ke Rupiah sekitar  60.000 Rupiah (1 yen= 100 Rupiah).
 
"Bangunan ukuran ruko untuk perkantoran swasta atau pertokoan rata-rata hampir tidak memiliki tempat parkir tersendiri," jelasnya.
 
Lebih lanjut Popik mengatakan, untuk parkir ditepi jalan diperbolehkan secara longitudinal pada ruas jalan tertentu dengan batasan parkir maksimum bervariasi antara 15 menit sampai dengan 60 menit dengan biaya bervariasi mulai dari  300 Yen sekali parkir dan setelah waktu yang ditentukan mobil harus segera keluar dari tempat parkir tersebut. 
 
Untuk tempat parkir umum kapasitas maksimumnya antara 10 sampai 30 kendaraan dan lokasi parkir ini untuk wilayah tertentu berjarak sekitar 700 meter antar tiap lokasi parkir, dengan biaya parkir mulai dari 800 Yen per jam. Sedangkan untuk biaya Toll di Jepang berlaku sama baik dikota Tokyo maupun kota lainnya yaitu sekitar 600 Yen untuk jarak terdekat dan 3.000 Yen untuk jarak terjauh.
 
Apabila terjadi pelanggaran terhadap aturan dalam berkendaraan, pemerintah Jepang memberlakukan sanksi yang sangat ketat mulai dari sanknsi teringan yaitu berupa denda sampai yang terberat yaitu hukuman kurungan.
 
Sebagai contohnya, ungkap Popik, adalah pelanggaran terhadap aturan parkir akan dikenakan denda 6.000 Yen. Menelepon pada saat mengemudikan kendaraan dikenakan denda 6.000 Yen. Pelanggaran terhadap rambu maupun lampu lalu-lintas dikenakan denda 15.000 Yen. 
 
"Apabila terjadi pelanggaran berulang akan dikenakan pencabutan Surat Ijin Mengemudi (SIM) dari pelanggar tersebut. Pencabutan Surat Ijin ini sangat dihindari oleh pengemudi mengingat proses pembuatan SIM yang sangat ketat dan diperlukan waktu jeda yang cukup lama untuk dapat memperoleh kesempatan  kembali mendapatkan SIM," tuturnya.
 
 
Disisi lain, terang Popik, tingginya harga BBM yang diberlakukan pemerintah untuk kendaraan bermotor cukup  menjadikan  alasan bagi masyarakat untuk mengurangi pemakaian kendaraan pribadi. Saat ini harga BBM di Jepang berkisar antara 140 sampai dengan 170 Yen per liter tergantung kualitas BBM nya.
 
Dari semua langkah tersebut diatas, masih ada satu langkah lagi yang dianggap paling berperan dalam membatasi jumlah kendaraan di Jepang. Popik menjelaskan, pemerintah Jepang sangat ketat dalam menerbitkan Buku Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
 
Pemilik kendaraan bermotor harus dapat menunjukkan bukti bahwa  telah memiliki tempat parkir untuk kendaraan yang akan dibelinya, atau telah melakukan sewa kontrak untuk parkir kendaraan yang lokasinya maksimum sejauh 2 km dari  kediaman pemilik dengan biaya sewa sekitar 30.000 sampai 40.000 Yen perbulan. Terhadap tempat parkir baik yang dimiliki sendiri atau kontrak sewa dapat dilakukan pembuktian atas lokasi yang diajukan pemilik oleh pejabat yang berwenang. 
 
"Dengan demikian apabila seseorang berniat membeli kendaraan bermotor baru maka mau tidak mau harus menjual kendaraan yang lama atau apabila kendaraan tersebut tidak laku untuk dijual akan dilakukan pemusnahan (scrapping) melalui jasa layanan scrapping dengan biaya resmi mulai dari 70.000 sampai 150.000 Yen tergantung ukuran kendaraannya," jelas Popik.
 
Langkah-langkah tersebut, ungkap Popik, diimbangi oleh pemerintah Jepang yang mendelegasikan wewenangnya kepada pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat  dalam bertransportasi, dan mendorong pihak swasta dalam menyediakan kendaraan angkutan umum yang memadai serta mudah ditemui dan relatif dapat menjangkau hampir seluruh arah dan tujuan. 
 
Pemerintah Jepang sangat memprioritaskan penggunaanu angkutan umum mempergunakan kereta api dan bus. Keberpihakan pemerintah Jepang terhadap Nagkutan umum terlihat dari pemberian kompensasi khusus kepada pengusaha angkutan umum melalui kemudahan dan keringanan pajak hingga pemberian subsidi agar harga tiketnya terjangkau oleh masyarakat.
 
Untuk menjaga agar kualitas sarana serta prasarana angkutan umum seperti bus dan kereta api selalu memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan, pemerintah selain menetapkan  peraturan terhadap pengoperasian kendaraan angkutan umum juga melakukan pengawasan terhadap kualitas sarana dan prasarana dari keseluruhan sistem yang ada.
 
 
Jepang Duduki Peringkat Teratas di Industri Otomotif Indonesia
 
Kepada redaksi www.dephub.go.id, Popik juga mengkungkapkan bahwa saat ini Jepang merupakan investor terbesar di bidang industri otomotif di Indonesia. Menurut Popik, saat ini Indonesia sangat menarik bagi negara-negara asing untuk menambah dan mengembangkan investasinya disebabkan promosi yang gencar dari pemerintah secara tepat didukung iklim investasi yang baik dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup bagus di Indonesia. 
 
Berdasarkan catatan yang diperoleh dari Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia di Jepang, saat ini Jepang menempati ranking teratas dalam lima besar negara asing  yang berinvestasi  di Indonesia, diikuti oleh Amerika Serikat, Singapura, Belanda dan Malaysia. Nilai investasi Jepang di Indonesia meningkat sangat tajam dimana  pada posisi triwulan pertama tahun 2013 adalah sebesar 1.151.658,3 ribu USD. Angka ini lebih kurang 25 % dari nilai investasi Jepang di Indonesia selama tahun 2012.
 
Peringkat tertinggi dari investasi Jepang adalah bidang Industri Angkutan dan Transportasi Lainnya  (otomotif) yaitu sebesar 68 % dari total investasi yang ada, meliputi kendaraan bermotor roda 4 atau lebih dan sepeda motor serta suku cadang kendaraan bermotor sebesar 783.206,5 ribu USD, diikuti bidang lain seperti industri instrumen kedokteran, presisi, optik dan jam, kemudian perikanan, perdagangan reparasi, konstruksi, mineral dan logam, properti, jasa makanan, jasa transportasi, logam, kertas tekstil, kimia, serta listrik, gas dan air. 
 
"Peningkatan investasi Jepang di Indonesia diprediksi akan semakin meningkat, terbukti dengan banyaknya calon investor yang berminat dan berkonsultasi ke KBRI Tokyo melalui fungsi perekonomian, terutama terkait sektor perindustrian, perdagangan, perhubungan dan pertanian serta kehutanan," ucapnya.
 
Khusus  dibidang Angkutan dan Transportasi lainnya, lanjut Popik, peningkatan investasi Jepang berupa perluasan kapasitas pabrik atau dalam rangka penambahan kuantitas produksi. Adanya relokasi pabrik otomotif Jepang yang semula berada di negara-negara asia tenggara lainnya ke Indonesia turut menyumbang  peningkatan angka investasi selama triwulan pertama tahun 2013. 
 
Tercatat bahwa pabrikan Toyota, Nissan, Honda serta Daihatsu dan pabrikan sepeda motor Jepang serta pabrikan suku cadang  kendaraaan bermotor telah memperluas pabriknya di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, Jawa Timur dan DKI Jakarta mengingat infrastruktur pendukung pabrik-pabrik tersebut cukup tersedia dibanding daerah-daerah lain. Penambahan kapasitas produksi tersebut dimaksudkan untuk menjadi basis produksi otomotif Jepang di Luar Negeri dengan hasil produknya sebagian besar akan di ekspor ke negara-negara asia dan australia dan sisanya akan dipasarkan didalam negeri.
 
Peningkatan investasi tersebut akan cenderung berdampak meningkatkan jumlah kendaraan bermotor dijalan-jalan raya pada kota-kota di Indonesia. Walaupun, lanjut Popik, perluasan pabrik dan penambahan hasil produksi bertujuan untuk pasar ekspor namun sangat memungkinkan terjadi perubahan tujuan yaitu hasil produk sebagian besar akan terserap dipasar dalam negeri Indonesia mengingat pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil dan peningkatan daya beli masyarakat.
 
Apabila hal ini terjadi dapat dipastikan dalam waktu dekat  rasio antara jumlah kendaraan dan kapasitas yang tersedia akan tidak seimbang. Kemacetan lalu-lintas akan terjadi dimana-mana melebihi kondisi saat ini. Cara yang paling efektif untuk mengatasi kemacetan lalu-lintas dimaksud adalah dengan melakukan penyeimbangan antara jumlah kendaraan dan kapasitas jalan yang tersedia. 
 
"Mengingat bahwa cukup sulit untuk menambah kapasitas jalan maka cara yang efektif adalah melakukan pembatasan atau bahkan mengurangi jumlah kendaraan, namun demikian di Indonesia biasanya tidak mudah dilaksanakan," tandas Popik. (RDH)