(Jakarta, 21/6/2012) Kota-kota besar dalam menyelesaikan persoalan transportasi perkotaan tidak bisa melakukan sendiri-sendiri  melainkan harus melakukan koordinasi dengan kota-kota penyangga di sekitarnya.

"Dibutuhkan koordinasi yang intensif antara kota besar dengan kota-kota penyangga lainnya. Disamping itu juga harus sering berkomunikasi untuk mengimplementasikan kebijakan menjadi realisasi," kata Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono saat membuka  seminar Reformasi Angkutan Umum Perkotaan di Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) Bekasi, Kamis (21/6)
 
Dicontohkan oleh Wamenhub, sumber kemacetan di kota Jakarta misalnya, disebabkan pesatnya pembangunan perumahan dan pemukiman di sekitar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Mereka tinggal di kota-kota penyangga sementara bekerja di Jakarta. Persoalan yang sama terjadi di kota-kota besar lainnya.
 
Jakarta atau kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan, Makasar mulai sekarang harus merumuskan kebijakan transportasi perkotaan dengan kota-kota di sekitarnya sementara pemerintah memberikan stimulan pendanaan. "Tapi itu tadi, harus direalisasikan bukan hanya dalam tataran kebijakan dan ide saja," kata Bambang.
 
Kemenhub telah memberikan dukungan kepada pemerintah kota yang ingin mengembangkan transportasi perkotaan seperti Bus Rapid Transit (BRT). Di Jogja misalnya ada Trans Jogja, di Solo ada Batik Solo Trans, di Bali ada Sarbagita di Palembang ada Trans Musi dan di Menado ada Kawanua. Setidaknya sudah ada 17 kota yang memiliki BRT.
 
Pengembangan BRT ini menurut Wamenhub cukup mengurai kemacetan sebelum kota-kota tersebut memiliki sistem transportasi perkotaan yang lebih baik lagi. "Kita juga tidak bisa menunggu atau baru beraksi setelah punya uang yang cukup untuk mengembangkan transportasi perkotaan. Karena kemacetan semakin tidak terkendali," kata Wamenhub.
 
Sementara itu Ketua Ikatan Alumni Ahli Lalu Lintas Angkutan Jalan (IKAALL) Edi Nursalam mengatakan, banyak pemerintah kota yang tidak peduli pada perlunya mengembangkan manajemen transportasi perkotaan dan menyediakan transportasi masal yang baik.
 
Beberapa contoh kota yang tidak peduli adalah Medan, Makasar dan Surabaya. "Penyebabnya adalah tidak adanya kemauan politik kepala daerah.  Padahal jika kita sudah mengawali, bantuan dari luar negeri pasti datang dengan sendirinya," kata Edi yang juga dosen STTD.
 
Seminar ini sendiri dilandasi dari permasalahan penyelenggaraan angkutan umum dimana persentase pengguna angkutan umum khususnya perkotaan di Indonesia terus mengalami penurunan persentasi, rata-rata 1 persen per tahun bahkan di kota Jakarta diperkirakan mencapai 3 persen per tahun.
 
Kepemilikan kendaraan pribadi baik mobil maupun sepeda motor yang meningkat karena kebutuhan yang dinikmati penggunanya memberi kontribusi kenaikan jumlah tersebut. (JO)