Rancangan Undang-undang baru yang dialokasikan untuk menggantikan UU sebelumnya, No 21/1992 itu, diserahkan Departemen Perhubungan ke Komisi V DPR akhir 2005, dan disahkan DPR pada 8 April 2008. Sepuluh fraksi yang telah menyampaikan pendapat terakhir fraksinya mengenai UU Pelayaran dalam sidang paripurna DPR RI, Kamis, 8 April 2008 lalu, menyatakan menerima draft RUU Pelayaran tersebut .
Juru bicara Fraksi Partai Golkar Josef Adreanus Nae Soi menyatakan, sikap terakhir Golkar untuk mendukung disahkannya UU Pelayaran dengan beberapa catatan, salah satunya tentang pemisahan yang jelas antara fungsi regulator dan operator pelabuhan. "Ke depannya agar tidak terjadi pencampuradukkan lagi antara tugas pemerintah dan tugas pelabuhan maka kewenangan tugas pemerintah hanya dapat diserahkan kepada BUMN," ujar Josef ketika itu.
Ia juga menegaskan bahwa untuk menghindari terjadinya pencampuradukkan itu maka pemerintah harus memberi perhatian dan pembinaan kepada BUMN dengan memberikan kewenangan sebagaimana yang selama ini telah mereka miliki agar BUMN tersebut makin sehat, kuat dan berdaya saing. Josef juga menegaskan, dalam RUU tersebut pemerintah dan DPR telah menyepakati bahwa PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) akan tetap menguasai aset-aset yang selama ini dimilikinya."Misalnya, kalau Pelindo memiliki aset di Pelabuhan Tanjung Priok, aset itu tetap milik Pelindo. Namun, di pelabuhan kan ada yang disebut DLKP (Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan), yaitu perairan di pelabuhan. Itu akan diserahkan kepada otoritas pelabuhan," jelasnya.
Sementara itu, Juru Bicara Fraksi PAN Sabri Saiman, mengungkapkan bahwa fraksinya mendesak pemerintah untuk segera menata fungsi regulator dan operator yang selama ini dijalankan ganda oleh Pelindo. Sedangkan Fraksi PKS, berharap UU ini menjadi undang-undang yang menghadirkan solusi terhadap problematika angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan maritim di Indonesia. Selain itu, diharapkan pula menjadi pelopor dalam pembangunan ekonomi nasional.
Seiring dengan diresmikannya UU Pelayaran yang baru tersebut, Kepala Komunikasi Publik Dephub Bambang S Ervan mengatakan, Dephub akan sesegera mungkin menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP). "RPP yang akan diprioritaskan khususnya tentang usaha di pelabuhan. ," ujar Bambang di kantornya, Jumat (9/5).
Sepanjang pembahasanya di DPR, RUU Pelayaran memang sempat menuai kontroversi. Karyawan PT Pelindo, perusahaan yang selama ini menjadi pengelola tunggal seluruh pelabuhan di Indonesia, memprotes dan menolak pengesahan RUU Pelayaran. Mereka menilai, jika disahkan, RUU ini berpotensi pada penjualan aset negara pada pihak asing yang dikhawatirkan berdampak pemutusan hubungan kerja.
Menjawab kekhawatiran tersebut, Hatta Rajasa ketika masih menjabat sebagai Menteri Perhubungan, menegaskan bahwa RUU Pelayaran tidak akan mematikan sektor usaha jasa di pelabuhan. Justru, menurutnya, RUU ini akan mendorong usaha jasa di pelabuhan menjadi perusahaan besar. Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal, juga telah berulangkali menegaskan alasan mengapa pemerintah merasa wajib merevisi UU No 21/1992. Jusman berpendapat, UU No 21/1992 sudah terlalu "tua" dan telah saatnya mengalami pembaharuan.
"Usianya sudah belasan tahun. Jadi, waktu mendefinisikan berbagai hal tidak ada masalah desentralisasi atau otonomi daerah, serta partisipasi swasta," ujarnya, pertengahan April lalu. Dipaparkan Menhub, peran negara dalam UU pelayaran yang lama sangat kuat. Semua pembangunan pelabuhan dan konsepsi tentang pelayaran didominasi negara dan BUMN, yang kemudian lahirlah otonomi daerah, UU Penanaman Modal, dan UU Pasar Modal. "Itu sebabnya, muncul ide merivisi UU Pelayaran pada 2005," kata Menhub.
Ditegaskan Jusman, semangat UU Pelayaran yang baru, antara lain, ingin menghidupkan kompetisi didalam pengelolaan pelabuhan dari single operator menjadi multi operator. Sistem pengelolaan pelabuhan yang multioperator berpotensi menciptakan iklim pelayanan yang lebih baik, efisiensi, serta perbaikan infrastruktur.
Selain itu, lanjut Jusman, dalam konsep UU Pelayaran yang baru juga disebutkan peranan pemerintah daerah di dalam mengelola pelabuhan. "Sehingga, dalam konsepnya, ada usaha membangun hirarki pelabuhan nasional. Lalu, ada pemisahan fungsi pemerintahan dan pengusahaan di pelabuhan atau biasa disebut regulator dan operator. Semua ini yang menjiwai UU Pelayaran yang baru," papar Menhub.
Mantan Dirut PT Dirgantara Indonesia ini, meminta Pelindo tidak perlu mengkhawatirkan kehadiran swasta, terutama asing, bakal mematikan bisnis mereka. Sebab, kata dia, Pelindo merupakan pemain lama yang punya banyak pengalaman dalam ranah pelabuhan di negara ini. "Apalagi, spirit UU Pelayaran yang baru ini tetap melindungi kepentingan pengusaha lokal," tegas Menhub. (DIP)