"Selama air-ban belum dicabut, horizontal agreement dengan Uni Eropa tidak akan pernah mendapatkan tanda tangan Menteri Perhubungan. Kita akan fokus untuk menjalin kerja sama dengan negara-negara lain yang mau menghormati negara lain," tegasnya dalam jumpa pers terpisah, beberapa saat setelah melepas tamu-tamunya itu meninggalkan ruang kerjanya. Pernyataan tersebut disampaikan Menhub menyusul perpanjang larangan terbang yang dilakukan Uni Eropa terhadap 51 maskapai penerbangan RI yang sudah berlangsung sejak 6 Juli 2007.
Keputusan perpanjangan larang terbang oleh EU tersebut disampaikan oleh Kuasa Usaha Ad Interim UE di Indonesia Pierre Phillipe kepada Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal di kantor Dephub, Kamis (24/7). Kepada pers usai pertemuan itu, Pierre yang didampingi Pelaksana Duta Besar Kedutaan Perancis Jean-Yves Roux dan Duta Besar Republik Ceko Pavel Rezac serta Menhub dan Dirjen Perhubungan Udara Budhi Mulyawan Suyitno, mengungkapkan, keputusan untuk tetap memasukkan seluruh maskapai Indonesia dalam daftar larangan terbang merupakan keputusan bersama 27 negara anggota UE pada sidang komisi di Brussles, Belgia, 9-11 Juli 2008 lalu.
Pierre menegaskan bahwa keputusan UE tersebut bersifat objektif dan tidak dilatarbelakangi oleh kepetingan-kepentingan politis maupun bisnis. "Tidak ada alasan politik maupun komersial. (Pelarangan) ini murni hanya mengacu kepada standar-standar teknis yang ditetapkan ICAO (organisasi penerbangan sipil internasional)," ujarnya. Otoritas penerbangan Indonesia, menurutnya, dianggap masih belum mampu melakukan perbaikan terhadap standar keselamatan (safety improvements) sebagaimana yang direkomendasikan ICAO berdasarkan hasil audit yang dilakukan pada 2004 hingga 2007. Berdasarkan audit itu sendiri, ICAO merekomendasikan 69 temuan terkait keselamatan yang harus diperbaiki otoritas penerbangan Indonesia.
Sementara itu Menhub yang disampingi Dirjen Perhubungan Udara Budhi M Sujitno menegaskan jika Uni Eropa selalu menggunakan standar ICAO sebagai ukuran untuk menilai tingkat keselamatan, maka keputusan untuk memperpanjang larangan terbang itu patut dipertanyakan. Menhub menambahkan, Dephub melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebenarnya telah memenuhi aturan-aturan teknis yang direkomendasikan ICAO berdasarkan auditnya tersebut.
"Kalau itu yang diminta, sudah kita penuhi. Dari 69 temuan ICAO itu, 61 persen lebih (sebanyak 43 temuan) yang terkait masalah teknis dengan maskapai, sudah kita laksanakan sesuai rekomendasi. Seluruh dokumennya sudah kita sampaikan kepada mereka," ujar Menhub di hadapan seluruh perwakilan UE, menjawab pertanyaan wartawan.
Sedangkan yang 38 persen lebih rekomendasi sisanya atau sebanyak 18 temuan, sambung Menhub, terkait dengan kebijakan pemerintah. Rekomendasi itu telah dimasukkan dalam draf Rancangan Undang-undang Penerbangan yang saat ini tengah menunggu persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk disahkan menjadi Undang-undang Penerbangan baru.
"Hal ini sudah kita sampaikan kepada mereka, juga kepada ICAO, sebagai bukti bahwa kita tetap berkomitmen penuh dalam melakukan upaya-upaya perbaikan," jelas Menhub. Namun, menurut Menhub, ketika ICAO yang selalu dijadikan dasar untuk memperpanjang larangan terbang bisa melihat hal tersebut sebagai sebuah langkah positif, UE malah berpandangan terbalik dengan ICAO. "ICAO bisa menerima, tetapi UE tidak. Menurut mereka, kita harus menunjukkan bukti terlebih dahulu. Mereka akan menunggu sampai UU Penerbangan yang baru selesai," papar Menhub.
Menhub melanjutkan, Uni Eropa boleh saja melakukan perpanjangan terhadap larangan terbangnya kepada 51 maskapai Indonesia. Namun, bukan berarti pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Perhubungan, berputus asa dan menghentikan upaya perbaikan sistem keselamatan penerbangan dengan mengacu pada aturan yang ditetapkan ICAO.
"Biarkan Uni Eropa melakukan apa yang disukai, kita tetap akan melakukan improvement-improvement terus ke depan," ujar Menhub. Ditegaskannya, upaya tersebut bukan dalam rangka untuk menyenangkan Uni Eropa. "Karena standar keselamatan yang menjadi acuan kita bukan mereka. Standar kita adalah ICAO, yang selalu mereka jadikan referensi untuk mengeluarkan larangan terbang," lanjutnya.
Dijelaskan, sebelum air-ban dikeluarkan Uni Eropa, Indonesia sudah menggelar deklarasi bersama dengan ICAO untuk melakukan improvement keselamatan penerbangan. Deklarasi bersama yang berisi berisi kesepakatan mengenai komitmen pemerintah Indonesia untuk meningkatkan keselamatan penerbangan itu digelar di Denpasar, Bali, pada 2 Juli 2007.
Penandatanganan deklarasi dilakukan Menhub Jusman Syafii Djamal atas nama Pemerintah Indonesia dan Presiden ICAO, Roberto Kobeh Gonzales. Bersamaan dengan itu, di tempat yang sama Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal membuka Strategic Summit on Aviation Safety yang berlangsung pada 2-3 Juli. Turut hadir dalam kesempatan itu, Regional Director for Asia Pasific Office, Lalit B. Shah dan pihak terkait di Indonesia serta sejumlah perwakilan dari lembaga dan negara asing.
Menhub memaparkan, melihat dari sejarahnya, larangan terbang tersebut dikeluarkan karena permasalahan komunikasi yang didasari pada asumsi-asumsi (sepihak) negara anggotanya. "Pertama, katanya mereka selalu berkirim surat ke Indonesia, tapi mereka menganggap tidak mendapat jawaban yang pas secara administratif," jelasnya.
Kedua, lanjut Menhub, UE merasa Indonesia tidak merespons hasil audit dan temuan-temuan ICAO sepanjang 2004-2007. "Tidak ada tindaklanjut yang baik, katanya," ujar Menhub.
Sedangkan alasan terakhir yang digunakan UE adalah dengan merujuk pada pengkategorisasian maskapai versi otoritas penerbangan Amerika, FAA, yang menurunkan status Indonesia pada kategori II. Dengan status tersebut, FAA membatasi jangkauan terbang pesawat Indonesia ke Amerika hanya melalui satu pintu masuk.
"Kita tidak dilarang terbang. Tetapi, kalau sudah singgah di satu bandara, tidak boleh singgah atau meneruskan penerbangan ke bandara lain di Amerika. Misalnya, kalau sudah mendarat di LA, harus balik lagi ke Indonesia," paparnya.
Amerika, kata Menhub, dalam menetapkan statusnya tersebut didasari pada audit yang dilakukan FAA terhadap maskapai Indonesia yang terbang ke sana. Namun, audit itu tidak pernah dilakukan Uni Eropa sebelumnya untuk menentukan larangan terbang.
"Mereka hanya mengutip asumsi dan laporan-laporan anggotanya, untuk kemudian disimpulkan untuk menetapkan larangan terbang. Karena mereka kurang informasi, saat itu seluruh airlines Indonesia dikategorikan unknown airlines (maskapai tidak dikenal)," papar Menhub, seraya mengatakan tidak akan melakukan tindakan balasan dengan mengeluarkan larangan terbang terhadap maskapai-maskapai negara-negara anggota UE.
"Karena kita tidak bermasalah dengan maskapai maupun negara-negara anggota Uni Eropa. Seperti dengan Belanda dan maskapainya, kita punya hubungan baik. Kerja sama terus kita jalin sampai saat ini," lanjutnya. (DIP)
Keputusan perpanjangan larang terbang oleh EU tersebut disampaikan oleh Kuasa Usaha Ad Interim UE di Indonesia Pierre Phillipe kepada Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal di kantor Dephub, Kamis (24/7). Kepada pers usai pertemuan itu, Pierre yang didampingi Pelaksana Duta Besar Kedutaan Perancis Jean-Yves Roux dan Duta Besar Republik Ceko Pavel Rezac serta Menhub dan Dirjen Perhubungan Udara Budhi Mulyawan Suyitno, mengungkapkan, keputusan untuk tetap memasukkan seluruh maskapai Indonesia dalam daftar larangan terbang merupakan keputusan bersama 27 negara anggota UE pada sidang komisi di Brussles, Belgia, 9-11 Juli 2008 lalu.
Pierre menegaskan bahwa keputusan UE tersebut bersifat objektif dan tidak dilatarbelakangi oleh kepetingan-kepentingan politis maupun bisnis. "Tidak ada alasan politik maupun komersial. (Pelarangan) ini murni hanya mengacu kepada standar-standar teknis yang ditetapkan ICAO (organisasi penerbangan sipil internasional)," ujarnya. Otoritas penerbangan Indonesia, menurutnya, dianggap masih belum mampu melakukan perbaikan terhadap standar keselamatan (safety improvements) sebagaimana yang direkomendasikan ICAO berdasarkan hasil audit yang dilakukan pada 2004 hingga 2007. Berdasarkan audit itu sendiri, ICAO merekomendasikan 69 temuan terkait keselamatan yang harus diperbaiki otoritas penerbangan Indonesia.
Sementara itu Menhub yang disampingi Dirjen Perhubungan Udara Budhi M Sujitno menegaskan jika Uni Eropa selalu menggunakan standar ICAO sebagai ukuran untuk menilai tingkat keselamatan, maka keputusan untuk memperpanjang larangan terbang itu patut dipertanyakan. Menhub menambahkan, Dephub melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebenarnya telah memenuhi aturan-aturan teknis yang direkomendasikan ICAO berdasarkan auditnya tersebut.
"Kalau itu yang diminta, sudah kita penuhi. Dari 69 temuan ICAO itu, 61 persen lebih (sebanyak 43 temuan) yang terkait masalah teknis dengan maskapai, sudah kita laksanakan sesuai rekomendasi. Seluruh dokumennya sudah kita sampaikan kepada mereka," ujar Menhub di hadapan seluruh perwakilan UE, menjawab pertanyaan wartawan.
Sedangkan yang 38 persen lebih rekomendasi sisanya atau sebanyak 18 temuan, sambung Menhub, terkait dengan kebijakan pemerintah. Rekomendasi itu telah dimasukkan dalam draf Rancangan Undang-undang Penerbangan yang saat ini tengah menunggu persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk disahkan menjadi Undang-undang Penerbangan baru.
"Hal ini sudah kita sampaikan kepada mereka, juga kepada ICAO, sebagai bukti bahwa kita tetap berkomitmen penuh dalam melakukan upaya-upaya perbaikan," jelas Menhub. Namun, menurut Menhub, ketika ICAO yang selalu dijadikan dasar untuk memperpanjang larangan terbang bisa melihat hal tersebut sebagai sebuah langkah positif, UE malah berpandangan terbalik dengan ICAO. "ICAO bisa menerima, tetapi UE tidak. Menurut mereka, kita harus menunjukkan bukti terlebih dahulu. Mereka akan menunggu sampai UU Penerbangan yang baru selesai," papar Menhub.
Menhub melanjutkan, Uni Eropa boleh saja melakukan perpanjangan terhadap larangan terbangnya kepada 51 maskapai Indonesia. Namun, bukan berarti pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Perhubungan, berputus asa dan menghentikan upaya perbaikan sistem keselamatan penerbangan dengan mengacu pada aturan yang ditetapkan ICAO.
"Biarkan Uni Eropa melakukan apa yang disukai, kita tetap akan melakukan improvement-improvement terus ke depan," ujar Menhub. Ditegaskannya, upaya tersebut bukan dalam rangka untuk menyenangkan Uni Eropa. "Karena standar keselamatan yang menjadi acuan kita bukan mereka. Standar kita adalah ICAO, yang selalu mereka jadikan referensi untuk mengeluarkan larangan terbang," lanjutnya.
Dijelaskan, sebelum air-ban dikeluarkan Uni Eropa, Indonesia sudah menggelar deklarasi bersama dengan ICAO untuk melakukan improvement keselamatan penerbangan. Deklarasi bersama yang berisi berisi kesepakatan mengenai komitmen pemerintah Indonesia untuk meningkatkan keselamatan penerbangan itu digelar di Denpasar, Bali, pada 2 Juli 2007.
Penandatanganan deklarasi dilakukan Menhub Jusman Syafii Djamal atas nama Pemerintah Indonesia dan Presiden ICAO, Roberto Kobeh Gonzales. Bersamaan dengan itu, di tempat yang sama Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal membuka Strategic Summit on Aviation Safety yang berlangsung pada 2-3 Juli. Turut hadir dalam kesempatan itu, Regional Director for Asia Pasific Office, Lalit B. Shah dan pihak terkait di Indonesia serta sejumlah perwakilan dari lembaga dan negara asing.
Menhub memaparkan, melihat dari sejarahnya, larangan terbang tersebut dikeluarkan karena permasalahan komunikasi yang didasari pada asumsi-asumsi (sepihak) negara anggotanya. "Pertama, katanya mereka selalu berkirim surat ke Indonesia, tapi mereka menganggap tidak mendapat jawaban yang pas secara administratif," jelasnya.
Kedua, lanjut Menhub, UE merasa Indonesia tidak merespons hasil audit dan temuan-temuan ICAO sepanjang 2004-2007. "Tidak ada tindaklanjut yang baik, katanya," ujar Menhub.
Sedangkan alasan terakhir yang digunakan UE adalah dengan merujuk pada pengkategorisasian maskapai versi otoritas penerbangan Amerika, FAA, yang menurunkan status Indonesia pada kategori II. Dengan status tersebut, FAA membatasi jangkauan terbang pesawat Indonesia ke Amerika hanya melalui satu pintu masuk.
"Kita tidak dilarang terbang. Tetapi, kalau sudah singgah di satu bandara, tidak boleh singgah atau meneruskan penerbangan ke bandara lain di Amerika. Misalnya, kalau sudah mendarat di LA, harus balik lagi ke Indonesia," paparnya.
Amerika, kata Menhub, dalam menetapkan statusnya tersebut didasari pada audit yang dilakukan FAA terhadap maskapai Indonesia yang terbang ke sana. Namun, audit itu tidak pernah dilakukan Uni Eropa sebelumnya untuk menentukan larangan terbang.
"Mereka hanya mengutip asumsi dan laporan-laporan anggotanya, untuk kemudian disimpulkan untuk menetapkan larangan terbang. Karena mereka kurang informasi, saat itu seluruh airlines Indonesia dikategorikan unknown airlines (maskapai tidak dikenal)," papar Menhub, seraya mengatakan tidak akan melakukan tindakan balasan dengan mengeluarkan larangan terbang terhadap maskapai-maskapai negara-negara anggota UE.
"Karena kita tidak bermasalah dengan maskapai maupun negara-negara anggota Uni Eropa. Seperti dengan Belanda dan maskapainya, kita punya hubungan baik. Kerja sama terus kita jalin sampai saat ini," lanjutnya. (DIP)