(Jakarta, 13/4/2010) Perbandingan jumlah armada kapal dengan tenaga pelaut tingkat perwira yang sangat tidak berimbang, rentan memunculkan "nakhoda terbang”, yaitu perwira kapal yang tidak hanya mengabdi pada satu kapal. Krisis tenaga pelaut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Terkait hal ini, perusahaan pelayaran  nasional diimbau untuk ikut berperan aktif dalam mengembangkan tenaga pelaut di dalam negeri.

Kepala  Badan Diklat Kementerian Perhubungan Dedi Darmawan mengatakan, keberadaan para ”nakhoda terbang” di industri pelayaran nasional bukanlah sekadar isu yang berembus bebas. Keberadaan mereka, salah satunya, dipicu oleh krisis tenaga pelaut yang lantas membuat banyak perwira pelaut berani melakukan manufer dalam menjalani profesinya.

”Seorang kapten kapal dengan leluasa  meninggalkan kapal dari satu pelabuhan dan ’terbang’ ke pelabuhan lain untuk membawa kapal yang berbeda. Saya sanat miris mendengar cerita ini. Tetapi ini fakta yang terjadi di Indonesia,” katanya di Jakarta, Senin (12/4).

Dedi Darmawan mengaku prihatin dengan kondisi  itu. Karena menurutnya, seorang nakhoda sangat tidak dibenarkan meningggalkan kapal, meskipun kapal sandar lebih dari dua hari di satu pelabuhan. Seorang nakhoda memiliki tanggung jawab yang penuh terhadap kapal yang dinakhodai beserta seluruh isinya. ”Kalau tiba-tiba  di kapal itu ada insiden atau kecelakaan, siapa yang akan bertanggungjawab kalau nakhodanya sedang tidak ada di tempat? Nakhoda di sebuah kapal itu layaknya presiden di sebuah negara,” imbuhnya.

Menurutnya, saat ini perbandingan jumlah armada kapal dengan tenaga pelaut tingkat perwira sangat tidak berimbang. Padahal populasi kapal baru dalam lima tahun terakhir tergolong tinggi, yaitu lebih dari 3000 unit per tahun. Bila pada 2005 jumlah armada kapal hanya 16.000 unit, maka saat ini sudah mencapai lebih dari 19 ribu unit. ”Seharusnya pertumbuhan armada ini  diikuti pertumbuhan sumber daya manusia (SDM) pelaut tingkat perwira sehingga kekhawatiran kekurangan bisa diantisipasi,” ujar dia.

Dikatakan, krisis tenaga pelaut di tingkat perwira ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Tetapi juga ikut dirasakan sejumlah negara di dunia. Bahkan International Maritime Organization (IMO)  telah  berulangkali  mengingatkan negara-negara anggotanya yang menghadapi krisis tersebut untuk lebih aktif  mejalankan  program  ”Go to Sea” di negaranya masing-masing.

Peran aktif seperti yang instruksikan IMO tersebut, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi semua pemangku kepentingan di negeri ini pun ikut bertanggungjawab. ”Perusahaan pelayaran  harus ikut berperan aktif  mempromosikan  program IMO. Perusahaan pelayaran bukan hanya menunggu  hasil  lulusan dari  sebuah akademik kemaritiman, tapi  menciptakan  SDM  di bidang itu sesuai  kebutuhannya masing-masing,” sambung Dedi.

Menurutnya, perusahaan pelayaran  tidak harus membangun sekolah  khusus kemaritiman. Namun perusahaan cukup berkontribusi dengan memberikan dukungan, di antaranya dengan menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan terkait yang sifatnya mengikat para lulusan (beasiswa). Tujuannya, agar pelaut yang dikontrak tersebut tidak lantas meninggalkan negaranya untuk bekerja di kapal-kapal asing seperti yang terjadi dalam 10 tahun belakangan ini.

”Memang, pemerintah tidak bisa membuat larangan bagi para tenaga perwira laut atau taruna laut di sebuah akademik untuk bekerja di kapal asing. Ini  soal pilihan. Tetapi itu bisa diantisipasi dari awal, jika tawaran yang bisa diberikan perusahaan dalam negeri bisa memberikan daya tarik dan mengikat mereka untuk tidak pergi,” katanya.

Pilihan untuk melakukan program ikatan dinas pendidikan bagi taruna/calon perwira laut dinilai sangat efektif  untuk mengatasi krisis  tenaga pelaut di dalam negeri. Dedi mengaku optimistis bila program beasiswa itu dijalankan oleh perusahaan pelayaran akan memberikan kontribusi yang besar terhadap krisis yang terjadi industri pelayaran nasional.

Dedi mengatakan, para pemilik perusahaan pelayaran mengaku sangat mendukung pola beasiswa yan ditawarkannya tersebut. Salah satu dukungan itu datang dari asosiasi pemilik kapal nasional, INSA. Ketua INSA Jhonson W. Sucipto, menurutnya, sudah mengemukakan langsung dukungan itu kepada dirinya.

”Katanya, dia dan anggota INSA yang lain sangat mendukung ide program beasiswa ikatan dinas ini. INSA siap untuk membantu, tidak hanya sekadar memberikan beasiswa  bagi taruna, tetapi juga siap memfasilitasi sekolah-sekolah kemaritiman yang kekurangan alat praktek seperti simulator, dll. Meski belum terlaksana, saya kira  ini ide  bagus untuk ditindaklanjuti,  sehingga kekhawatiran kita terhadap tenaga pelaut  bisa  diminimalisasi,” pungkasnya. (DIP)