JAKARTA – Hingga saat ini, dunia pelayaran merupakan dunia yang tidak ramah bagi perempuan. Adanya diskriminasi gender, stigmatisasi, hingga kekerasan masih mengancam perempuan yang berprofesi sebagai pelaut.

Masalah tersebut menjadi salah satu isu strategis yang dibahas dalam pertemuan Asia Pacific Heads of Maritime Safety Agencies (APHoMSA) ke-21 yang digelar pada tanggal 18 – 20 Mei 2021. Pertemuan virtual yang diikuti oleh 26 negara ini dibuka oleh CEO of Australia Maritime Safety Authority (AMSA), Mick Kinley selaku tuan rumah dan turut dihadiri Secretary General of International Maritime Organization (IMO), Mr. Kitack Lim.

Penting Bagi Indonesia

Selain membahas Women in Maritime - peran perempuan di dunia maritim, pertemuan APHoMSA 2021 juga membahas isu-isu strategis lain di bidang maritim seperti keselamatan pelayaran dan kesejahteraan pelaut, perlindungan lingkungan maritim, penanganan musibah di laut, serta kerjasama regional.

Dari sejumlah isu-isu strategis tersebut, dari Indonesia diberi kesempatan memaparkan isu seputar peran perempuan di dunia maritim dan keselamatan pelayaran terkait Port State Control Inspection.

Untuk isu mengenai keselamatan pelayaran disampaikan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut, R. Agus H. Purnomo.

"Indonesia mendukung program APHoMSA untuk mencapai visi utamanya menciptakan lingkungan maritim yang terkait aman, terjamin dan bersih di kawasan Asia-Pasifik," tukas Agus, yang dikutip dari siaran pers Ditjen Hubla, pada Selasa (18/5).

Ditjen Perhubungan Laut, jelas dia lagi, memiliki kewajiban untuk menjamin kapal-kapal berbendera Indonesia telah memenuhi persyaratan konvensi internasional serta meminimalisir kemungkinan kapal berbendera Indonesia di-detain atau ditahan di luar negeri.

Dalam pelaksanaanya, menurut Agus terdapat beberapa kendala bagi Port State Control Officer (PSCO) Indonesia karena begitu luasnya wilayah Indonesia, setidaknya memiliki 636 pelabuhan dengan 141 pelabuhan internasional, namun di sisi lain jumlah PSCO hanya 52 personel di seluruh Indonesia. "Untuk menutupi kekurangan PSCO, kami akan melatih dan mencetak lebih banyak petugas untuk melaksanakan pemeriksaan kapal di pelabuhan-pelabuhan vital di Indonesia," janji Dirjen Agus.

Woman in Maritime

Untuk isu Woman in Maritime, pada kesempatan yang sama, Kasubdit Penanggulangan Musibah dan Pekerjaan Bawah Air KPLP, Een Nuraini Saidah menyampaikan topik bahasan peranan perempuan di dunia maritim Indonesia.

Dari data Kementerian Perhubungan pada 2019, ada sebanyak 18.572 pelaut perempuan di Indonesia dalam berbagai jabatan, tingkat pendidikan, serta status aktif dan non aktif berlayar. Namun sayangnya, hingga saat ini masih banyak pelaut perempuan yang mendapat stigma bahwa perempuan sebaiknya hanya bekerja di ranah domestik. “Stigma ini seringkali membuat perusahaan pelayaran enggan mempekerjakan perempuan pelaut,” ujar Een.

Kendati demikian, perempuan yang bekerja di sektor kelautan sudah memiliki wadah yang tergabung dalam Women In Maritime (WIMA) yang merupakan salah satu organisasi di bawah naungan International Maritime Organization (IMO).

WIMA Indonesia, jelasnya lagi, didirikan pada tahun 2015 untuk mewadahi para perempuan yang berprofesi di bidang kelautan, pejabat pemerintah, praktisi perkapalan, pengacara maritim, surveyor kelautan, pengusaha kelautan, dan akademisi.

“WIMA Indonesia memiliki tujuan untuk lebih meningkatkan peran perempuan di bidang maritim untuk membangun kembali dan meningkatkan budaya maritim di Indonesia," kata Een.

Ketua Umum WIMA Indonesia Dr. Chandra Motik menambahkan, isu peran perempuan di dunia maritim disorot dalam rangka menciptakan kesetaraan gender dan pendidikan perempuan yang berkaitan dengan akses terhadap sumber daya ekonomi.

Selain itu, sorotan lainnya adalah terkait kesempatan yang sama di dunia kerja dan untuk keterwakilan serta peran perempuan dalam membangun perdamaian dan rehabilitasi.

Sekretaris Jenderal Lembaga Kajian Nawacita Komite Kartini, Kapten Lely Farida menambahkan banyaknya permasalahan serius yang dialami perempuan pelaut selama bekerja di atas kapal, tidak hanya pemasalahan kesetaraan gender dan stigmatisasi terhadap pelaut perempuan Indonesia, mereka juga kerap mengalami kekerasan dan pelecehan.

“Permasalahan tersebut, berujung pada penolakan perusahaan karena meragukan kemampuan perempuan pelaut, hingga belum adanya payung hukum yang melindungi pelaut perempuan di bidang pelayaran,” ujar Lely, pada kesempatan lain dalam diskusi memperingati Hari Perempuan Intenasional.

Untuk menangani hal ini, Lely menegaskan pentingnya melakukan optimalisasi pemberdayaan perempuan pada industri maritim melalui kebijakan afirmatif (affirmative action) yang ditindaklanjuti dengan sosialisasi dan implementasi kebijakan tersebut oleh stakeholder terkait.

“Kebijakan afirmatif ini diharapkan dapat membuka peluang lapangan pekerjaan bagi perempuan pelaut Indonesia sehingga angka pengangguran akan berkurang. Selain itu, juga meningkatkan keselamatan perempuan pelaut dari bahaya kekerasan dan pelecehan seksual saat bekerja di atas kapal,” saran Lely. .

Diskriminasi Gender di Dunia Pelayaran

Kapten Suamiati yang berkarir sebagai pelaut di perusahaan pelayaran Samudera Indonesia, membenarkan dunia pelayaran merupakan dunia yang tidak ramah bagi perempuan. Dia mengatakan diskriminasi gender masih sangat terasa bagi para pelaut wanita.

Menurut Kapten Sumiati, tidak semua pengusaha pelayaran ini menerima pelaut wanita dengan tangan terbuka, kendati negara kita mempunyai banyak pejuang wanita, salah satunya pejuang emansipasi, tetapi mengapa pelaut wanita ini masih belum diakui. Ia berharap Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan membuka lembaran baru bagi peran wanita secara leluasa untuk berkiprah secara optimal dan mendapat perlindungan dan pengakuan dari negara untuk berkiprah di sektor maritim. (IS/AS/HG/HT/JD)