(Jakarta, 22/3/2012) Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan (BPSDM) akan bergerak cepat membangun sejumlah Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) maupun akademi pelayaran, untuk mengimbangi kebutuhan perwira pelaut di kapal-kapal dalam negeri maupun kapal-kapal asing.

Saat ini, akademi pelayaran maupun sekolah-sekolah pelayaran swasta yang ada hanya mampu mencetak sekitar 1.000 perwira pelaut, dan pada tahun 2014 diperkirakan akan menghasilkan 3.000 perwira pelaut. Padahal kebutuhan pada tahun 2014 mendatang adalah 18,774 perwira pelaut, atau lima kali lipat dari yang dihasilkan oleh Diklat pelaut.

Terkait dengan sekolah perwira pelaut, Saat ini BPSDM Kemenhub memiliki 4 Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP), yaitu di Surabaya, Makasar, Tangerang dan Sorong, 1 Balai Besar Pendidikan Penyegaran dan Peningkatan Ilmu Pelayaran (BP3IP) di Jakarta, 2 Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) yaitu di Semarang dan Makasar dan 1 Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) di Marunda Jakarta.

Selanjutnya akan dikembangkan sekolah-sekolah pelaut BP2IP di Nangroe Aceh Darussalam, Sorong, Sumatera Barat, Minahasa, serta menyusul kemudian Nusa Tenggara Barat dan Ambon. Dengan demikian terjadi penyebaran sekolah-sekolah pelayaran dan tidak hanya terkonsentrasi di Jawa saja.

Sementara itu sekolah pelaut milik swasta yang tercatat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ada 124 sekolah. Dari 124 sekolah tersebut hanya 24 sekolah yang sudah di approvel pendidikannya, terdiri dari sekolah tinggi, akademi dan sekolah menengah kejuruan. Untuk sekolah menengah kejuruan ini utnuk mencetak pelaut tingkat IV yaitu, yang hanya bekerja di pelayaran nusantara saja.

Adapun sisanya yang 92 sekolah tinggi, akademi dan kejuruan yang belum di approve, diminta untuk meningkatkan klafikasi kelas A untuk dapat di approval. ‘’Resiko bagi perguruan tinggi, akademi atau sekolah menengah kejuruan yang tidak di approve, kelulusannya tidak memiliki sertifikat sehingga tidak akan bisa bekerja diperusahaan pelayaran manapun,’’ jelas Sekretaris BPSDM Perhubungan, Wahyu Satrio Utomo (Tommy) pada acara press background BPSDM Kemenhub di Jakarta. Kamis (22/3).

Mengapa kita harus bergerak cepat menciptakan pelaut-pelaut yang sertifikatnya memenuhi standar International Maritim Organization (IMO), karena potensi pasar pelaut kita di luar negeri sangat besar.

Saat ini, tercatat 78.000 pelaut Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing. Gajinya bervariasi antara USD 2.000 hingga USD 7.000/bulan. Jika dirata-ratakan, mereka mendapatkan gaji sekitar USD 3500 (sekitar Rp 32 juta), maka diperkirakan sumbangan devisa dari para pelaut itu mencapai Rp 16 triliun pertahun. Bandingkan dengan devisa sumbangan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ratusan ribu orang tapi hanya menyumbang devisa sekitar Rp 3,4 triliun.

Jumlah pelaut Indonesia yang bekerja di perusahaan kapal-kapal asing masih kecil dibandingkan dengan pelaut asal Filipina yang jumlahnya sekitar 400.000 pelaut atau mengisi sekitar sepertiga pelaut dunia. ‘’Kebutuhan pelaut dunia sangat besar sekali, sementara taruna yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah pelaut kita masih kurang mampu untuk memenuhi kebutuhan perusahaan pelayaran dalam dan luar negeri.

Itulah alasan mengapa Indonesia perlu bergerak cepat menciptakan perwira-perwira untuk memenuhi kebutuhan pelaut yang begitu besar di seluruh dunia. ‘’Kita (Indonesia) harus bergerak cepat, sehingga bisa mencetak pelaut-pelaut handal lebih banyak lagi, karena permintaannya juga sangat tinggi,’’ kata Tommy. (JO)