Salah satu isu yang paling mencuat pekan ini masih terkait dengan isu pilot yang menggunakan narkoba. Isu pilot pengguna narkoba secara langsung telah membuat kredibilitas Lion Air tercoreng. Secara tidak langsung, kasus itu pun telah menimbulkan persepsi negatif bagi profesi pilot di Tanah Air.  Bahkan, secara umum, kasus  itu  telah menimbulkan citra yang kurang baik  terhadap industri penerbangan nasional. Jika terus dibiarkan, industri penerbangan nasional bisa terpuruk. Masyarakat akan  takut menggunakan pesawat udara karena keselamatannya tidak terjamin gara-gara  pilotnya mengkonsumsi narkoba.

Di sisi lain, kasus  pilot Lion Air  juga menuntut  Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk lebih responsif dan “mengaktualkan” kembali berbagai kebijakan tentang keselamatan transportasi, khususnya  transportasi udara.  Jika dikelola dengan baik,  isu pilot  mengkonsumsi narkoba justru  bisa menjadi  “nilai  tambah” bagi Kemenhub.

Kemenhub perlu menginformasikan secara terbuka kepada media massa bahwa kasus pilot Lion Air bukan cerminan gaya hidup profesi pilot di Tanah Air secara keluruhan. Dapat ditegaskan bahwa sebagian besar pilot melaksanakan  tugasnya  secara profesional. Bahkan, pilot merupakan  profesi yang memiliki  sistem  monitoring kesehatan  lebih  disiplin karena  maskapai penerbangan melakukan cek kesehatan (fisik dan psikologis) secara berkala.

Kemenhub perlu  memberikan optimisme  bahwa masyarakat  masih menaruh kepercayaan  yang besar terhadap industri penerbangan nasional. Dengan demikian, kasus Lion Air atau kasus-kasus lainnya tak akan menurunkan minat masyarakat untuk bepergian menggunakan  pesawat terbang. Berikan pula optimisme  mengenai pencapaian target jumlah penumpang udara tahun ini dan tahun-tahun mendatang.

Kemenhub sebaiknya terus mengeluarkan pernyataan yang mengarah pada pembentukan opini publik  bahwa terbongkarnya kasus narkoba oleh pilot Lion Air  adalah berkat “inisiatif” Kemenhub yang menjalin kerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN).  Dengan kata lain, Kemenhub punya peran yang  sangat besar dalam membongkar kasus tersebut.  Pembentukan opini seperti itu perlu dilakukan karena saat ini muncul kesan seolah-olah Kemenhub kurang ketat melakukan pengawasan terhadap para pilot. Selain itu perlu pula terus ditegaskan bahwa seperti  terhadap pilot Lion Air yang dicabut lisensi terbangnya, Kemenhub akan melakukan hal serupa terhadap  pilot  dari maskapai penerbangan mana pun yang terbuka pecandu narkoba, tanpa pandang bulu.

Perlu diinformasikan bahwa Satgas Gabungan Anti-Narkotika  yang  dibentuk Kemenhub, BNN, dan institusi lain akan diperluas sasaran operasinya dan hasil operasi Satgas Gabungan Anti- Narkotika tersebut terus diupdate. Jika memungkinkan, sebaiknya yang menginformasikan kepada pers tentang hasil operasi Satgas Gabungan Anti-Narkotika tidak dari pihak BNN, melainkan dari Kemenhub sendiri, atau minimal informasi itu disampaikan dalam jumpa pers gabungan (Kemenhub dan BNN).  Masyarakat  akan memberikan  applause yang lebih besar kepada Kemenhub  jika yang menyampaikan informasi itu adalah Kemenhub. Masyarakat juga akan menganggap bahwa Kemenhub-lah yang memegang inisiatif pemberantasan narkoba di maskapai penerbangan (termasuk di moda transportasi darat dan laut).

Kemenhub sebaiknya menepis kekhawatiran sejumlah  kalangan (termasuk INACA) bahwa jika  tidak ada pemberantasan narkoba pada industri penerbangan secara maksimal, Indonesia bisa mendapatkan sanksi dari dunia internasional, seperti  larangan terbang, karena dinilai tidak  patuh  pada  aturan keselamatan. Tegaskan bahwa pemerintah sudah “memaklumatkan perang”  terhadap narkoba di sektor penerbangan,  sehingga tak ada alasan  Indonesia dijatuhi  sanksi dengan alasan tak maksimal  memerangi narkoba.

Selanjutnya, perlu dilakukan “penajaman-penajaman” terhadap isu rencana diterbitkannya  peraturan keselamatan penerbangan terbaru yang mengadopsi Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 120 tentang program pengawasan penggunaan obat terlarang dan alkohol (Drug and Alcohol Monitoring Program/DRAMP) lewat peraturan menteri yang akan terbit pada April mendatang. Jelaskan secara lebih rinci draf aturan tersebut (bukan hanya menyangkut  kewajiban  maskapai  melakukan uji narkoba minimal 50% kru pesawatnya setiap tahun untuk kurun waktu tertentu dengan metode uji narkoba yang lebih andal seperti uji rambut, dimana  persentase  jumlah kru pesawat yang diuji ditingkatkan 70-80-100% jika pada uji pertama sebagian besar positif).

Ada baiknya sosialisasi aturan baru  itu juga dititikberatkan pada soal  sanksi terhadap maskapai penerbangan yang terbukti melanggar DRAMP. (JAB)