JAKARTA - Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 100 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan memberikan perlindungan serta pelayanan penumpang angkutan udara niaga berjadwal, perlu diatur Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.
Ketentuan ini mengacu kepada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang No. 1 tentang Penerbangan, Undang-Undang No. 25 tentang Pelayanan Publik dan sejumlah Peraturan Menteri Perhubungan antara lain PM Nomor KM 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 41 Tahun 2015.
Demikian dijelaskan Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perhubungan J. A. Barata di Jakarta, Kamis, (15/10). ‘’Mengacu kepada Undang-Undang ditetapkan Peraturan Menteri (PM) tentang penanganan keterlambatan penerbangan (delay management) pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia,’’ tegasnya.
‘’Dalam PM No. 89 Tahun 2015 ini dijelaskan pula ruang lingkup keterlambatan penerbangan dan faktor penyebab keterlambatan,’’ katanya. Keterlambatan penerbangan pada badan usaha angkutan udara niaga berjadwal terdiri dari keterlambatan penerbangan, tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat dan pembatalan penerbangan.
Sedangkan keterlambatan penerbangan dikelompokkan dalam 6 kategori keterlambatan.
‘’Keterlambatan penerbangan dikelompokkan dalam 6 kategori keterlambatan, yaitu kategori 1, keterlambatan 30 menit sampai dengan 60 menit, keterlambatan kategori 2, 61 menit s/d 120 menit, keterlambatan 3, 121 menit s/d 180 menit, kategori 4, keterlambatan 181 menit s/d 240 menit, kategori 5, keterlambatan lebih dari 240 menit dan kategori 6, pembatalan penerbangan,’’paparnya.
Keterlambatan penerbangan dimaksud dihitung berdasarkan perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan yaitu pada saat pesawat block off meninggalkan tempat parkir pesawat (apron) atau pada saat pesawat block on dan parkir di apron bandara tujuan.
Selanjutnya, kata Barata, dalam PM ini juga dijelaskan faktor penyebab keterlambatan, penanganan keterlambatan penerbangan, pemberian kompensasi dan ganti rugi, asuransi, pengawasan dan penilaian, serta pemberian sanksi.
Faktor penyebab keterlambatan antara lain faktor manajemen airline, teknis operasional, faktor cuada dan faktor lain-lain. Sedangkan yang terkait dengan penanganan keterlambatan penerbangan diantaranya badan usaha angkutan udara wajib menyediakan petugas setingkat General Manager, Station Manager, staf lainnya atau pihak yang ditunjuk dan diberikan kewenangan penuh dalam mengambil keputusan di lapangan dalam menangani penumpang yang mengalami keterlambatan penerbangan.
“Petugas sebagaimana dimaksud harus memastikan bahwa dalam memberikan pelayanannya harus bersikap empati serta adanya perhatian dan kepedulian, memberikan kemudahan bagi penumpang yang akan menyusun ulang rencana perjalanan dan membantu penumpang termasuk pemesanan pulang atau melakukan pemindahan ke penerbangan atau badan usaha angkutan dalam negeri lainnya,’’demikian dijelaskan Barata. (BUN)