(Jakarta, 12/05/2011) Kebijakan tripartit dalam pembinaan tenaga kerja bongkar muat (TKBM) harus tetap disesuaikan dengan kondisi masing-masing pelabuhan konvensional di Indonesia. Demikian salah satu kesimpulan Round Table Discussion dengan tema “Kebijakan Penataan Penyediaan Tenaga Kerja Bongkar Muat dan Tarif Bongkar Muat Di Terminal Konvensional Dalam Rangka Meningkatkan Kinerja Dan Efisiensi pelayanan Bongkar Muat Sesuai Dengan Jiwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran” di Ruang Rapat Utama Kantor Badan Litbang perhubungan Jakarta, Kamis (12/5).

Dalam sambutannya, Kepala Badan Litbang Perhubungan Denny Siahaan menyampaikan kegiatan bongkar muat di pelabuhan merupakan faktor penting dalam penentuan kinerja pelayanan kapal dan barang terutama dalam pelayanan bongkar muat barang dari dan ke kapal (stevedoring), kegiatan pemindahan barang dari dermaga di lambung kapal ke gudang atau lapangan penumpukan atau sebaliknya (cargodoring), dan kegiatan pengambilan barang dari gudang atau lapangan penumpukan untuk dimuat di atas truk atau sebaliknya (receiving dan delivery). Denny menambahkan indeks kompetitif logistik di terminal konvensional pelabuhan Indonesia termasuk rendah dibanding pelabuhan negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand. Salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas bongkar muat di pelabuhan yaitu TKBM yang bisa terkontribusi 60% dari cost untuk pelabuhan konvensional.

Drs. Syafril KA, MM (Peneliti Madya Badan Litbang Perhubungan) menyebutkan beberapa hasil studi Pengkajian Pola Pembinaan TKBM di Pelabuhan dalam Antisipasi AFTA 2003. Kesimpulan tersebut adalah masih rendahnya mutu kualitas TKBM, tidak sebandingnya jumlah TKBM dengan jumlah arus barang di pelabuhan, banyak TKBM yang berada pada usia kurang/tidak produktif, Koperasi TKBM sebagai wadah tunggal pemasok TKBM bersifat monopolistik, dan Koperasi TKBM kurang mempunyai kepentingan langsung dalam upaya peningkatan produktivitas sehingga kurang mempunyai motivasi dalam meningkatkan kualitas TKBM. Ia menambahkan legalitas yang mendasari TKBM adalah UU No. 17 tahun 2008, UU No. 5 tahun 1999, UU No. 12 Tahun 1967 jo No. 25 Tahun 1992, PP No. 20 Tahun 2010 dan Keputusan bersama (tripartit) Dirjen Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi TKBM.

Slamet Widoyo (Kasubdit Angkutan Laut Khusus dan Penunjang Angkutan Laut, Direktur Jenderal Perhubungan Laut) dalam paparannya menyebutkan dalam implementasi di lapangan koperasi TKBM merupakan mata rantai PBM (Perusahaan Bongkar Muat). Sesuai permintaan kebutuhan yang diperlukan sesuai SPK adalah jenis barang, volume barang dan lama kegiatan. Formulasi tarif ditetapkan dalam KM 35 tahun 2007 Tentang Pedoman perhitungan Tarif. Kekuatan TKBM adalah perekrutan tenaga kerja melalui prinsip dan azas koperasi TKBM sangat sederhana, profesional managemen didasari faktor emosional/panutan ketokohan pengurus, anggota TKBM mudah dimobilisasi. Kelemahan TKBM adalah prinsip dan azas koperasi TKBM yang sederhana dan mudah sering menimbulkan dampak negatif (sospol) karena over supply tenaga kerja, kurang mempertimbangkan aspek rasionalitas dalam mengurus koperasi TKBM sehingga tidak ada kriteria yang jelas dalam merekrut anggota, dan sering menimbulkan kerugian material bagi anggota maupun pemilik barang. Penerapan SKB 3 Dirjen didalam implementasinya di lapangan mengalami beberapa kendala.

Moderator berkesimpulan kebijakan tripartit perlu disempurnakan dengan menyesuaikan kondisi dan keadaan yang ada pada masing-masing pelabuhan. Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk merevisi KM 35 Tahun 2007 Tentang Pedoman perhitungan tarif dan KM 14/2002 dengan diskusi unit terkait.  Kesimpulan lainnya terkait dengan adanya koperasi TKBM yang dirasa masih harus tetap dipertahankan tentunya dengan melihat kebijakan SKB tripartit dan UU terkait dengan penyempurnaan monopoli dan koperasi. Tiga komponen terkait harus mendukung kegiatan pelabuhan.

Hasil kesimpulan lain yang disampaikan oleh moderator mengenai tema tersebut adalah produktivitas bongkar muat di pelabuhan masih rendah khususnya pada pelabuhan konvensional yang sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas TKBM. Karena itulah dirasa perlu pemahaman bersama secara positif antara lembaga terkait dengan jasa TKBM untuk mencapai tujuan percepatan arus bongkar muat di pelabuhan dengan produktivitasnya. Berdasarkan hasil diskusi pembinaan TKBM dapat ditempuh dengan cara yang ditawarkan yaitu monopoli maupun kompetisi pasar. Penerapan monopoli tentunya dilakukan dengan instrumen pengawasan yang tegas dengan menghindarkan prinsip seolah-olah permintaan pasar. Kompetisi pasar dilakukan dengan penerapan multi operator untuk kompetitif pasar melalui evaluasi kebijakan operasional SDM secara teliti dengan beberapa kiat seperti membentuk BHK (Badan Hukum Koperasi), unit usaha kerja dari koperasi PKBM yg bisa kerja di beberapa tempat, dan membentuk usaha kerja per wilayah sehingga koperasi tetap memberikan pelayanan namun pengguna tetap memberikan penilaian terakhir dan menunjuk satu lembaga pemerintahan untuk mengawasi.

Pembicara dalam diskusi ini menghadirkan Drs. Syafril KA, MM (Peneliti Madya Badan Litbang) dan Slamet Widoyo (Kasubdit Angkutan Laut Khusus dan Penunjang Angkutan Laut, Ditjen Hubla Kemenhub). Para pembahas dalam diskusi ini adalah Ahmad Junaidi (KPPU), Arlien Sitompul (DPP APBMI), Suparmin (Koperasi TKBM Tanjung Priok), PT Pelindo II, dan DPP INSA. Diskusi ini dimoderatori oleh Willem Nikson Sitompul (Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Laut, Kemenhub). (ARI)