Memanusiakan manusia. Ucapan itu disampaikan oleh Menteri Perhubungan EE Mangindaan, saat meresmikan KM Sabuk Nusantara 29 dan menyerahkan kapal tersebut kepada Pemerintah Daerah Propinsi Papua pada 7 Februari 2012 lalu.

Ungkapan tersebut merupakan bentuk keprihatinan Menteri Perhubungan terhadap kondisi kapal penyebrangan maupun kapal-kapal perintis yang dipergunakan untuk mengantar atau memindahkan orang dari satu daerah ke daerah lain atau dari satu pulau ke pulau lain di kawasan wilayah timur Indonesia.

Data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementrian Perhubungan, armada kapal perintis yang ada saat ini mencakup 67 trayek, yang dilayani oleh 32 kapal perintis milik pemerintah dan 35 kapal barang milik swasta yang diberi dispensasi mengangkut penumpang dengan akomodasi penumpang secukupnya.

Namun kualitas pelayanan angkutan laut perintis yang menggunakan kapal-kapal milik swasta sangat memprihatinkan, dimana penumpang berbaur dengan barang (muatan) yang membuat dirinya merasa tidak nyaman selama dalam perjalanan. Belum lagi fasilitas yang sangat terbatas, baik itu fasilitas untuk tidur maupun fasilitas air bersih.

Bisa dibayangkan betapa sengsaranya para penumpang ini. Mereka melakukan perjalanan belasan jam tanpa ke kamar mandi, karena WC macet dan air bersih tidak tersedia. Untuk tidur harus beralasan dek kayu. Kalau mau sedikit nyaman, mereka harus menyewa kasur gulung atau kasur busa, itu pun harus mengeluarkan lagi biaya untuk fasilitas tersebut. 

Kadang, barang-barang bawaan milik penumpang lebih banyak dari jumlah penumpangnya itu sendiri. Akibatnya, ruangan yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh penumpang justru dipadati dengan tumpukan barang sembako dan hewan.  Nyaris tidak tersisa ruang untuk berbaring, penumpang hanya bisa duduk berdempetan. 

Dikala terik panas matahari mereka kepanasan dan dikala hujan penumpang pun harus rela kehujanan. Kadang harus berdesak-desakan untuk menghindari siraman air hujan yang menerpa sebagian tubuhnya. Padahal kapal barang yang dijadikan kapal perintis dengan fasilitas serba terbatas itu, menjadi andalan masyarakat untuk bergerak dari satu daerah ke daerah lain di wilayah timur Indonesia. 

Jangan bicara kenyamanan, keselamatan pun terkadang diabaikan oleh pemilik kapal. Tidak tersedianya sarana navigasi yang memadai. Jangankan alat navigasi canggih seperti GPS, terkadang radio komunikasi sederhana pun lebih sering tidak berfungsi. Belum lagi keterbatasan alat-alat keselamatan seperti live jacket atau sekoci yang amat dibutuhkan bilamana terjadi kecelakaan di laut. Biasanya jumlah live jacket di kapal perintis swasta ini lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penumpang yang diangkutnya. 

Karenanya ketika terjadi kecelakaan akibat hempasan gelombang saat berlayar, hanya ungkapan duka cita yang terdengar. Dengan minimnya alat-alat keselamatan yang tersedia di kapal tersebut, membuat penumpang hanya bisa pasrah pada kebesaran sang Pencipta. Nama-nama mereka pun semakin memperpanjang daftar korban kecelakaan di laut.

Kondisi ini lah yang membuat Menteri Perhubungan prihatin. Karena kapal-kapal barang milik swasta yang kemudian di berikan disepensasi menjadi kapal perintis sesunguhnya jauh dari yang dinamakan layak. 

Menambah Kapal Perintis

Berkaca dari kondisi yang ada itulah, Kementerian Perhubungan bertekad untuk memanusiakan manusia. Secara bertahap dengan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan ke Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut membangun kapal-kapal perintis. Demikian juga Direktorat Jenderal Perhubungan Darat membangun kapal-kapal penyeberangan, termasuk dalam bentuk kapal Rol On Rol Off (RoRo).

Sejauh ini Direktorat Jenderal Perhubungan Laut telah menyerahkan kapal-kapal perintis untuk dioperasikan oleh pemerintah daerah maupun swasta. KM Sabuk Nusantara 27 dan KM Sabuk Nusantara 28 yang diserahkan oleh Wamenhub Bambang Susantono di Pelabuhan Tanjung Wangi, Kabupaten Banyuwangi pada 7 Maret 2011 lalu.

KM Sabuk Nusantara 27 dengan bobot 500 DWT melayani rute: Tanjung Wangi-Sapekan-Pagerungan Besar-Kangean-Sapudi-Kalianget-Masalembo-Keramaian-Masalembo dan Surabaya. Kemudian KM Sabuk Nusantara 28 dengan bobot 750 DWT mengarungi rute R-58 yaitu: Merauke-Bade-Agats-Pomako-Dobo-Tual-Kaimana-Fak fak-Kokas-Babo-Bintuni dan berakhir di Sorong.

KM Sabuk Nusantara 30 KM yang diserahkan pada 9 Januari 2012 lalu di Pelabuhan Sri Bintan Tanjungpinang, melayani rute R-5, yaitu Pelabuhan Tanjung Pinang-Tambelan-Sintete-Serasan-Subi-Ranai-Pulau Laut-Sedanau-Midai-Tarempa-Letung-Tanjung Pinang.  KM Sabuk Nusantara 29 yang baru diserahkan di Pelabuhan Jayapura 7 Febrauari 2012 dengan bobot 500 DWT akan melayani rute R-49, yaitu Jayapura-Sarmi-Kurudu-Puiwai-Waren-Serui-Ansus-Wooi-Poom-Biak-Saribi-Manokwari.

Sementara itu KM Sabuk Nusantara 32 dengan bobot GT 1200 yang diserahkan sehari sebelumnya di Pelabuhan Manokwari akan melayani rute R-64 yaitu: Sorong-Yellu-Bula-Geser-Kesui-Fak Fak-Kaimana-Teluk Etna dan Pomako.  

Secara bertahap, Kementerian Perhubungan membangun kapal perintis untuk menggantikan kapal swasta yang beroperasi di trayek keperintisan di Indonesia, guna memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan angkutan laut. Kapal-kapal perintis ini prioritasnya akan ditempatkan di pulau terluar dan daerah tertinggal.  Tahun 2012 ini saja  telah dianggarkan sekitar Rp150 miliar untuk membangun beberapa kapal perintis lagi.

Semakin banyak kapal perintis yang beroperasi, maka jarak tempuh satu putaran (round trip) semakin pendek. Saat ini rata-rata untuk satu trip membutuhkan waktu antara 16-18 hari. Dengan semakin banyaknya kapal maka untuk satu trip bisa ditempuh dalam waktu 8-12 hari saja.

Bukan hanya kapal perintis yang dibutuhkan di kawasan Indonesia Timur. Kapal-kapal Ro-Ro sepertinya jauh lebih penting. Karena selain berfungsi sebagai kapal penumpang, kapal jenis ini dapat mengangkut sepeda motor, kendaraan pribadi hingga truk-truk dalam ukuran tertentu. Salah satu kapal Ro Ro yang beroperasi di propinsi Papua Barat adalah KMP Napan Wainami yang melayani lintas Manokwari-Wasior-Nabire.

KMP Napan Wainami mampu mengangkut 12 truk, 7 mobil pribadi, dan belasan motor. Dengan keterbatasan crane atau alat untuk memindahkan barang di pelabuhan-pelabuhan kecil, kapal jenis ini lebih cocok. Barang yang ada di truk-truk tidak perlu dipindahkan, tapi truk-truk itu yang langsung bergerak, berpindah dari satu daerah ke daerah lain menurunkan barang-barang bawaannya.

Selama ini yang menjadi persoalan di pelabuhan-pelabuhan kecil adalah memindahkan barang dalam jumlah banyak, sementara fasilitas untuk memindahkan barang-barang tersebut seperti crane tidak tersedia dan kalaupun tersedia jumlahnya sangat minimal. Inilah salah satu penyebab inefisiensi di kawasan timur Indonesia. Untuk memindahkan beras, terigu, gula, pupuk maupun semen, membutuhkan waktu hingga 2 minggu. Akibatnya beban biaya pelayaran pun menjadi membengkak.

Tidak mengherankan jika disparitas harga antara pulau Jawa dengan propinsi di kawasan Indonesia Timur begitu jauh. Belum lagi di daerah-daerah pedalaman seperti di kabupaten Yahukimo, dimana harga 1 sak semen di daerah itu bisa diatas Rp 300.000/sak padahal di Jawa hanya Rp 50.000/sak.

Dengan kapal Ro-Ro, semen yang diproduksi oleh PT Semen Tonasa di Sulawesi Selatan maupun PT Semen Bosowa di Maros Sulawesi Selatan bisa langsung dinaikkan ke dalam truk dan setibanya di pelabuhan di kawasan Maluku atau tanah Papua, tidak perlu diturunkan di pelabuhan, melainkan bisa langsung di distribusikan ke agen-agen di daerah tersebut. Hal ini tentunya bisa lebih menekan harga, karena biayanya juga dapat ditekan.

Untuk itu pembenahan dan pengembangan pelabuhan-pelabuhan juga mutlak dilakukan untuk menyesuaikan dengan kapal-kapal yang akan singgah oleh kapal-kapal tersebut.

Singgahi Pulau Terpencil dan Terluar

Selama ini, kapal-kapal perintis hanya singgah di pelabuhan-pelabuhan kota Kabupaten seperti Maluku, Ambon, Jayapura, Manokwari, Sorong, Nabire. Kalaupun ada pulau-pulau yang disinggahi, pulau tersebut memang cukup layak untuk disinggahi karena penduduknya yang lumayan besar.

Bagaimana dengan nasib warga yang tinggal di pulau terpencil dengan penduduk hanya sekitar 100 kepala keluarga? Di kawasan timur Indonesia, khususnya di daerah tanah Papua, masih banyak daerah-daerah yang belum disinggahi. Padahal mereka juga bagian dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Singgah di pulau yang mereka tempati, merupakan biaya, padahal secara ekonomi singgah ke pulau tersebut tidak menguntungkan. Bayangkan, untuk singgah ke pulau tersebut selain membutuhkan tambahan waktu juga membutuhkan bahan bakar tambahan, yang artinya tambahan biaya operasional. Bagi pemerintah ini akan menjadi tambahan subsidi.

Padahal, ketika kapal ini singgah ke pulau tersebut, belum tentu ada penghuni yang akan bepergian. Kalaupun ada, jumlahnya mungkin hanya 1-3 orang saja. Jika dihitung dalam pendapatan mungkin tidak lebih dari Rp 100.000- Rp 200.000. Bayangkan dengan bahan bakar yang digunakan dan waktu yang terbuang untuk mencapai satu pulau tersebut.

Kondisi transportasi laut yang menjadi andalan utama masyarakat Maluku Utara, Papua, dan Sulawesi memprihatinkan. Kondisi kapal tidak memadai dari sisi jumlah, daya angkut, keamanan, kenyamanan, dan kapasitas dermaga. Hal itu menghambat mobilitas manusia sehingga pergerakan ekonomi masyarakat menjadi lamban.

Selama mereka tidak tersentuh pembangunan, selama itu pula mereka tidak bisa maju secara ekonomi maupun kehidupan ekonomi sosial dan politiknya. Selama tidak ada kegiatan ekonomi, selama itu pula mereka akan menjadi orang yang tertinggal dibandingkan dengan saudara-saudara mereka di wilayah Indonesia bagian Barat. Kementerian Perhubungan sebagai kementerian yang bertangung jawab dalam bidang transportasi, mempunyai tanggung moral untuk ikut memajukan pembangunan daerah-daerah terpencil tersebut.

Istilah Sabuk Nusantara yang disematkan pada nama-nama kapal perintis mempunyai makna yang mendalam, yaitu mengikat erat atau mempersatukan daerah-daerah di seluruh nusantara dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Oleh karenanya, rute-rute yang disinggahi oleh kapal-kapal perintis Sabuk Nusantara akan terhubung atau konektivitas antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, pulau satu dengan pulau lainnya.

Menteri Perhubungan sendiri sudah menyerahkan masalah pulau-pulau yang akan disinggahi kepada masing-masing kepala daerah. Menteri Perhubungan sudah memberikan kewenangan kepada masing-masing Gubernur untuk menentukan pulau-pualu mana yang harus disinggahi oleh kapal perintis. Karena Gubernur dan Bupatilah yang tahu soal itu, selanjutnya laporkan ke pusat.

Mengapa pemerintah pusat perlu mengetahui? Karena pemerintah lah yang akan menanggung subsidi biaya pelayaran kapal-kapal perintis. Dengan mengetahui pulau-pulau mana yang akan disinggahi, pemerintah pusat nantinya dapat mengatur konektivitas satu kapal perintis dengan kapal perintis lainnya, atau dengan kapal milik Pelni yang akan mengantar mereka ke pulau-pulau lainnya.

Berapa pun besarnya subsidi yang di keluarkan oleh pemerintah untuk biaya operasional maupun untuk pembangunan kapal, bukanlah menjadi persoalan karena subsidi yang di keluarkan jelas-jelas untuk kepentingan rakyat banyak yang selama ini termarjinalkan. Tugas Kementerian Perhubungan untuk merangkul dan mendekatkan mereka dengan saudara-saudaranya. (Poeji Raharjo)