Bulan Januari 2010 ini, perjanjian pasar bebas ASEAN–Cina (Asean-China Free Trade Agreement) secara resmi diimplementasikan. Dengan berlakunya perjanjian ini maka diberlakukan pos tarif nol terhadap produk barang dan jasa dari Cina ke negara Asean termasuk Indonesia, begitu pula sebaliknya. Mengutip pemberitaan Antara sampai dengan tahun 2010 ini nantinya kurang lebih sekitar 8.000-an pos tarif produk barang dan jasa Cina-Asean akan diberlakukan nol , meliputi sektor industri manufaktur, sektor pertanian serta pertambangan, sehingga terjadi persaingan bebas antara produk cina dengan produk negara-negara Asean yang mengikuti perjanjian tersebut termasuk indonesia.

Dengan adanya pasar bebas tersebut konsumen akan mendapatkan keuntungan yaitu mereka akan mendapatkan produk-produk murah mengingat sejauh ini Cina sudah menjelma menjadi raksasa produsen yang sangat efisien sehingga mampu menghasilkan produk-produk yang sangat kompetitif. Namun sebaliknya pada sisi lain implementasi AC-FTA ini juga dipandang sebagai ancaman langsung terhadap keberadaan industri nasional. Pemberitaan berbagai media nasional beberapa waktu belakangan ini bahkan menunjukkan bahwa negeri ini tidak siap menghadap implementasi AC-FTA, sehingga berbagai pihak mengkhawatirkan akan dampak negatifnya terhadap perekonomian nasional.

Kekhawatiran tidak hanya tentang akan semakin minusnya neraca perdagangan Indonesia-Cina, namun juga kekhawatiran akan ambruknya beberapa sektor industri yang selama ini masih bisa menjadi andalan seperti industri tekstil/garment dan baja.  Asosasi Pertekstilan Indonesia (API) telah menyatakan bahwa industri tekstil dan produk tekstil (TPT) akan menjadi sektor strategis yang paling terpukul menghadapi implementasi AC-FTA terutama di subsektor industri garmen, pemintalan dan serat sintetis. Hal ini pantas diprediksikan mengingat harga produk TPT asal China bisa lebih murah 15% - 25% dibandingkan dengan produk lokal. Jika harga sudah tak sepadan, diperkirakan akan ada investasi sekitar US$ 3 miliar pada 5 tahun ke depan yang akan menghilang.

Kondisi seperti tersebut di atas diperburuk dengan adanya kecenderungan deindustrialisasi yang tengah melanda iklim industri nasional. Data 3 tahun terakhir (2006-2009) menunjukkan bahwa kontribusi sektor industri terhadap PDB rata-rata hanya sekitar 26 %. Sementara itu agar bisa disebut sebagai negara industri sektor industri seharusnya mempunyai kontribusi minimal sepertiga dari PDB. Dus...deindustrialisasi plus ketidaksiapan menghadap implementasi AC-FTA telah mendatangkan ancaman serius ambruknya industri andalan yang berujung pada lonjakan pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja.

Agar kondisi suram dan menyeramkan akibat pelaksanaan AC-FTA tersebut tidak terjadi di negeri ini Pemerintah telah mengambil langkah. Hingga tulisan ini disusun Pemerintah telah mengupayakan negoisasi untuk menunda pemberlakuan tarif bea masuk nol pada 228 pos tarif yang dianggap Indonesia belum siap. Langkah Pemerintah ini sudah barang tentu perlu didukung semua pihak karena proses negoisasi yang akan dilakukan sangatlah tidak ringan. Banyak pihak bahkan meragukan akan kemungkinan keberhasilan langkah ini, Pemerintah Cina tentu tidak akan mudah memberikan persetujuan dalam negoisasi mengingat sebenarnya perjanjian ACFTA ini sudah diteken sejak 2002. Pertanyaannya apa yang sudah dilakukan Indonesia dalam kurun waktu delapan tahun untuk menyiapkan diri...????

Sungguh pahit memang kenyataan ini harus kita terima....., sekaligus juga merupakan kasus yang sangat berharga untuk pembelajaran bagi sektor transportasi. Seperti kita ketahui bersama sektor transportasi khususnya transportasi udara dalam lingkup ASEAN secara bertahap sejak 2008 tengah melakukan proses liberalisasi. Sejauh ini Indonesia masih sangat membatasi untuk menyetujui tahapan-tahapan liberalisasi tersebut, namun pada tahun 2015 siap tidak siap semua negara ASEAN wajib untuk  mengimplementasikan liberalisasi penerbangan tersebut.

Menteri Perhubungan Freddy Numberi beberapa waktu lalu telah mengistruksikan jajaran perhubungan untuk melakukan evaluasi terlebih dulu terhadap seluruh sarana dan prasarana penerbangan di Indonesia. Menhub meminta agar implementasi liberalisasi penerbangan nantinya tidak merugikan negara. Selama enam bulan terhitung Januari 2010 akan dilakukan evaluasi terhadap 26 bandara di Indonesia, untuk menentukan mana yang layak untuk dijadikan bandara terbuka untuk seluruh maskapai se ASEAN. Begitu pula mengenai kesiapan armada yang dimiliki maskapai nasional, apakah perencanaan yang telah dibuat segenap maskapai penerbangan nasional ke depan mampu mengantisipasi kebutuhan sarana pada saat liberalisasi penerbangan ASEAN dilaksanakan tahun 2015.

Dampak rentetan akibat ketidaksiapan dalam liberaliasi penerbangan mungkin tidak sedahsyat dibandingan akibat ketidaksiapan sektor industri riil dalam perdagangan bebas. Ledakan pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja serta kehancuran serius instrumen perekonomian sebagaimana halnya dikhawatirkan terjadi di sektor industri manufaktur mungkin tidak akan serta merta dikhawatirkan terjadi di industri penerbangan nasional jika tidak siap menghadapi liberaliasi. Tetapi yang jelas kita tidak akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.....langit-langit negeri ini akan dipenuhi oleh berbagai maskapai penerbangan negeri tetangga yang ke sana-kemari mengangkut penumpang kita. Di langit itulah juga berterbangan devisa yang seharusnya kita raih untuk pendapatan nasional...menjadi milik negara asing. Indonesia dengan penduduk 250 juta orang dan wilayah kepulauan yang terbesar di dunia...jelas pasar yang sangat luar biasa bagi dunia bisnis transportasi udara. Akankah kita menyerahkan pasar yang demikian besar ini kepada asing??? Belum lagi potensi dampaknya dari sisi politik dan ketahanan nasional...jika terjadi dominasi maskapai asing di Indonesia.

Masih tersisa waktu 5 tahun, dan tidak ada kata lain selain melakukan kerja keras dengan perencanaan yang jelas dan matang, target-target pencapaian yang terukur harus dapat dicapai dengan disiplin. Ini semua melibatkan semua komponen tidak hanya Pemerintah selaku regulator tetapi juga operator, baik prasarana dan sarana, serta industri-industri jasa pendukungnya. Tidak ada kata bekerja secara business as usual...semua harus dilakukan dan dikerjakan dengan dorongan semangat ekstra serta inovasi dan kreasi untuk memecah berbagai permasalahan yang dihadapi.

Untuk membangkitkan semangat dan daya juang ekstra tersebut para pengambil kebijakan, perencana dan pelaksana kebijakan di sektor transportasi mungkin perlu membekali diri dengan pengetahuan atau pemahaman tentang perkembangan politik ekonomi internasional. Dengan mempelajari perkembangan politik ekonomi internasional akan timbul kesadaran bahwa liberalisasi perekonomian sebenarnya merupakan sebuah bentuk “penjajahan baru” dari kekuatan internasional seperti halnya penjajahan jaman kolonial dulu. Sejarah mencatat penjajahan kolonial pada akhirnya dapat terusir dengan perlawanan yang dijiwai semangat juang yang luar biasa dan tiada henti. Nilai-nilai itu nampaknya masih relevan...jika dulu perlawanan dilakukan melalui perang secara fisik, maka sekarang dilakukan dengan disiplin, kerja yang dan gigih serta terus memupuk pengetahuan kreasi dan inovasi....... (BRD)