Menurut Budhi, kendati harga bahan bakar pesawat meningkat, kerugian yang diderita industri penerbangan nasional tidak akan terlalu besar. Dia beralasan, biaya operasional penerbangan Indonesia relatif rendah. " Landing fee, parkir, dan akses di sini (Indonesia) lebih murah," ujarnya.
Alasan lainnya, Budhi menambahkan, mekanisme penyesuaian kenaikan biaya bahan bakar dengan mekanisme penyesuaian biaya (fuel surcharge) pesawat juga diterima pasar.

Apa yang diungkapkan Budhi tersebut sedikit berbeda dengan yang disampaikan International Air Transport Association (IATA). Asosiasi Perusahaan Penerbangan Internasional itu memprediksi, akibat kenaikan biaya bahan bakar pesawat, kerugian yang diderita industri penerbangan pada tahun ini bisa mencapai USD 2,3 miliar. Asumsi tersebut didasari pada kenaikan rata-rata harga minyak sebesar USD 106,5 per barrel.

Sebelumnya, Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal juga optimistis jumlah isian (load factor) penumpang pesawat tidak akan mengalami penurunan yang signifikan akibat melonjaknya harga bahan bakar pesawat. Diprediksi, pertumbuhan penumpang pesawat tahun ini akan mengalami peningkatan hingga mencapai 18 persen dari tahun 2007 lalu, yang mencapai 37 juta orang. Pertumbuhan penumpang rata-rata per tahun sendiri, diprediksi berkisar antara 15-16 persen.

Namun, Menhub tak memungkiri bahwa akan ada maskapai yang mengalami kerugian akibat tingginya harga bahan bakar. "Yaitu maskapai yang masih mengoperasikan pesawat-pesawat yang boros, seperti Boeing 737-200," ujarnya. (DIP)