Menurut Budhi, alasan pemerintah untuk memilih membentuk BLU lebih karena pelayanan jasa lalu lintas udara berkaitan erat dengan keselamatan dan keamanan. ”BUMN lebih berorientasi mencari keuntungan. Sementara BLU layanan, non-profit oriented,” terang Budhi. Dengan hak bisa memanfaatkan 80 persen pendapatan, imbuhnya, lembaga itu bisa secara mandiri memberbaiki layanannya. Semisal untuk melakukan perbaikan fasilitas dan meningkatkan kesejahteraan pegawai.

Budhi juga menegaskan, bentuk BLU untuk mengelola pelayanan lalu lintas udara sejalan dengan isi konvensi internasional penerbangan sipil (Chicago Convention) yang digelar Desember 1944 silam. Di mana, saat itu, pemerintah Indonesia ikut menandatanganinya. Dalam kesepakatan tersebut, paparnya, disebutkan bahwa keselamatan dan keamanan menjadi tanggungjawab regulator. ”Sehingga jika ada kekurangan dana untuk investasi fasilitas, pemerintah wajib memberikan subsidi langsung,” jelas Budhi.

Sementara itu, sambung dia, kesepakatan pertemuan International Civil Aviation Organization (ICAO) juga menekankan bahwa lembaga pengelola lalu liharus berorientasi pada layanan, bukan keuntungan. ”BLU ini nantinya bertanggung jawab langsung ke Menteri Perhubungan, sehingga tidak terjadi tumpang tindih seperti yang terjadi saat ini,” jelasnya. Saat ini, pengelolaan jasa pelayanan pemanduan lalu lintas udara masih dipegang dua BUMN, yaitu PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II. Ke depan, ketika BLU tersebut dibentuk, maka secara otomatis kewenangan kedua perusahaan itu dalam pelayanan pemanduan lalu lintas akan terhapus.

Penolakan Asosiasi
Di sisi lain, rencana pemerintah untuk lebih memilih BLU ketimbang BUMN utuk menangani pemanduan udara ditentang sejumlah pihak. Salah satu pihak yang tidak sejalan dengan sikap pemerintah terkait hal ini adalah Asosiasi Pemandu Lalu Lintas Udara Indonesia (Indonesia Air Traffic Controllers Association/IATCA).

IATCA menolak pengelolaan jasa pemanduan lalu lintas udara oleh BLU. Karena berada di bawah kontrol Departemen Perhubungan, lembaga dikhawatirkan tidak bisa bekerja secara transparan. ”Konsep BUMN kan terpisah, menurut kami akan bisa lebih transparan dari pada BLU,” ujar Sekjen IATCA Kristanto. ”Lihat Busway (TransJakarta) yang terus bermasalah hingga kini karena dikelola BLU. Konsumen rugi karena kualitas pelayananya memburuk,” imbuh dia.

IATCA, lanjut Kristanto, telah mengevaluasi keberadaan ATC selama ini yang menjadi satu dengan pengelolaan bandara. ”Pendapatan pemandu lalu lintas udara lebih banyak digunakan untuk investasi bandara dibandingkan pengembangan peralatan,” katanya, seraya meyakini bahwa keputusan pemetukan BLU pemandu udara masih bisa direvisi. ”Karena RUU Penerbangan yang membahas hal ini belum disahkan menjadi UU,” pungkasnya.

Menanggapi hal itu, Kepala Pusat komunikasi Publik Bambang S Ervan mengatakan, IATCA telah salah memahami tentang maksud dari pembentukan BLU pelayanan udara tersebut. ”Mereka salah besar. Pemikirannya terbalik. Justeru, BLU akan jauh lebih transparan dan mudah dikontrol dari pada BUMN,” ujarnya. Di sisi lain, lanjut Bambang, BLU tersebut juga akan lebih leluasa mengembangkan diri dan melakukan perbaikan kualitas pelayanan dengan kewenangan menggunakan kembali 80 persen pendapatannya. (DIP)